Edwin Sutherland, seorang sosiolog dan kriminolog terkenal, dikenal dengan teori differential association yang menjelaskan bahwa perilaku kriminal, termasuk kejahatan korupsi, dipelajari melalui interaksi sosial dalam kelompok. Sutherland berpendapat bahwa individu tidak dilahirkan dengan kecenderungan untuk melakukan kejahatan, melainkan belajar untuk melakukan kejahatan melalui hubungan sosial dengan orang-orang yang memiliki nilai atau norma yang mendukung perilaku tersebut. Dalam konteks korupsi di Indonesia, teori ini memberikan perspektif penting tentang bagaimana korupsi berkembang dan menyebar dalam masyarakat, baik pada level individu maupun kelompok.Â
Menurut teori differential association Sutherland, perilaku kriminal (termasuk korupsi) dipelajari dalam interaksi dengan orang lain. Dalam konteks korupsi di Indonesia, individu yang terlibat dalam praktek-praktek koruptif seringkali berasal dari kelompok atau lingkungan yang sudah terbiasa dengan kebiasaan tersebut. Dalam banyak kasus, individu yang bekerja dalam birokrasi atau pemerintahan belajar dari rekan-rekan atau atasan mereka bagaimana melakukan korupsi---baik itu dalam bentuk suap, pemerasan, penggelembungan anggaran, ataupun penyalahgunaan wewenang.
Korupsi di Indonesia sering kali dipahami sebagai bagian dari "budaya" atau norma yang diterima dalam banyak sektor, terutama dalam pemerintahan dan sektor swasta. Oleh karena itu, Sutherland berpendapat bahwa korupsi tidak hanya disebabkan oleh individu dengan karakter buruk, tetapi juga oleh struktur sosial dan norma-norma yang ada dalam kelompok atau lingkungan tersebut. Individu yang terlibat dalam korupsi, baik di tingkat rendah maupun tinggi, cenderung belajar bahwa korupsi adalah cara yang sah untuk mendapatkan keuntungan atau kekuasaan.
Korupsi  dalam perspektif Edwin Sutherland dapat dipahami melalui teori differential association yang dikemukakan oleh Sutherland. Teori ini menyatakan bahwa perilaku kriminal, termasuk korupsi, dapat dipelajari melalui interaksi dengan individu lain dalam kelompok sosial. Sutherland berpendapat bahwa individu tidak dilahirkan dengan kecenderungan untuk melakukan tindakan kriminal, tetapi perilaku tersebut dipelajari melalui hubungan sosial dengan orang-orang yang memiliki norma atau nilai yang mendukung tindakan tersebut.
Dalam konteks korupsi, Sutherland menjelaskan bahwa individu atau kelompok yang terlibat dalam praktik korupsi sering kali berada dalam lingkungan di mana perilaku tersebut dianggap normal atau bahkan diinginkan. Mereka mempelajari cara-cara untuk melakukan tindakan tersebut dari orang-orang di sekitar mereka yang memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan pelanggaran hukum atau etika.
Sutherland juga memperkenalkan konsep white-collar crime (kejahatan kerah putih), yang merujuk pada kejahatan yang dilakukan oleh individu dengan status sosial atau ekonomi yang lebih tinggi, sering kali di lingkungan kerja atau profesional, yang mencakup korupsi di kalangan pejabat atau eksekutif. Dalam hal ini, korupsi dapat dipandang sebagai kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki akses atau kekuasaan untuk memanipulasi sistem demi keuntungan pribadi.
Jadi, menurut Sutherland, korupsi bukanlah hanya masalah individu, tetapi lebih merupakan hasil dari proses sosial di mana nilai-nilai dan norma-norma yang mendukung perilaku koruptif dipelajari dalam interaksi sosial.
Korupsi menjadi masalah utama di Indonesia karena beberapa faktor yang saling terkait, baik dari sisi struktural, budaya, politik, maupun ekonomi. Berikut adalah beberapa alasan utama mengapa korupsi terus menjadi tantangan besar di Indonesia:
- Kelemahan dalam Sistem Hukum dan Penegakan Hukum
Meskipun Indonesia memiliki undang-undang anti-korupsi, penerapan hukum yang konsisten dan adil masih sering kali terkendala. Beberapa faktor yang memengaruhi hal ini adalah:
- Kelemahan lembaga penegak hukum: Beberapa instansi yang seharusnya menanggulangi korupsi, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, seringkali terpapar oleh masalah internal, termasuk praktek korupsi yang terjadi di dalamnya.
- Kurangnya independensi: Kadang-kadang, pejabat negara atau lembaga penegak hukum dipengaruhi oleh tekanan politik atau ekonomi yang menghambat penyelesaian kasus korupsi dengan adil.
- Birokrasi yang Besar dan Kompleks
Indonesia memiliki birokrasi yang sangat besar dan kompleks. Hal ini membuka peluang untuk praktik korupsi dalam berbagai aspek pemerintahan, terutama dalam proses perizinan, pengadaan barang dan jasa, serta penyaluran dana bantuan. Prosedur yang rumit dan tidak transparan sering kali dimanfaatkan oleh pejabat untuk menerima suap atau melakukan penyalahgunaan kekuasaan.
- Â Kultur dan Norma Sosial
Korupsi dalam beberapa kasus telah menjadi bagian dari budaya politik dan sosial di Indonesia. Dalam banyak situasi, korupsi dianggap sebagai sesuatu yang biasa atau bahkan sebagai cara untuk bertahan hidup, terutama di tengah tingkat penghasilan yang rendah dan ketidakpastian ekonomi. Oleh karena itu, beberapa orang mungkin merasa bahwa mereka tidak bisa maju atau berhasil tanpa terlibat dalam praktik koruptif.
- Politik Uang dan Pengaruh Ekonomi
Korupsi juga seringkali berakar pada politik uang. Dalam pemilihan umum, misalnya, calon pejabat seringkali membutuhkan dana yang besar untuk kampanye politik, yang kemudian dapat mengarah pada praktik korupsi setelah mereka terpilih. Dalam hal ini, pejabat yang terpilih merasa berkewajiban untuk "mengembalikan" biaya kampanye mereka melalui korupsi, seperti memberikan proyek atau kontrak yang menguntungkan kepada pihak-pihak yang mendukung mereka.
- Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas
Transparansi dan akuntabilitas yang rendah dalam pengelolaan keuangan negara atau pemerintahan seringkali menciptakan ruang bagi praktik korupsi. Tanpa pengawasan yang ketat, dana publik dapat disalahgunakan dengan mudah, dan masyarakat tidak memiliki cukup akses atau informasi untuk memantau bagaimana dana tersebut dikelola.
- Ketimpangan Sosial dan Ekonomi
Ketimpangan sosial dan ekonomi yang tinggi juga menjadi pendorong bagi korupsi. Ketika sebagian besar masyarakat hidup dalam kemiskinan, sementara segelintir orang menikmati kekayaan yang berlimpah, ini menciptakan ketidakpuasan yang bisa memunculkan perilaku koruptif sebagai jalan keluar. Dalam beberapa kasus, ketidaksetaraan ini juga mendorong perilaku nepotisme dan favoritisme.
- Minimnya Pendidikan Anti-Korupsi
Pendidikan mengenai bahaya dan dampak korupsi di Indonesia masih belum cukup merata dan mendalam. Meskipun ada upaya dari pemerintah dan beberapa organisasi untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya pemberantasan korupsi, kesadaran tentang dampak negatif korupsi belum sepenuhnya terinternalisasi oleh sebagian besar masyarakat.
- Kurangnya Pemimpin yang Berintegritas
Meskipun Indonesia memiliki pemimpin yang baik dan berintegritas, masih ada beberapa pejabat yang terlibat dalam praktik korupsi, baik pada level lokal maupun nasional. Ketika pemimpin tidak menunjukkan teladan yang baik, ini memperburuk keadaan dan mempengaruhi upaya untuk memberantas korupsi secara menyeluruh.
- Keterbatasan Sumber Daya untuk Pengawasan
Meskipun ada lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berperan penting dalam pemberantasan korupsi, mereka sering kali menghadapi keterbatasan sumber daya, baik dalam hal dana, personel, maupun dukungan politik. Hal ini menyebabkan pemberantasan korupsi menjadi tantangan yang sangat besar.
- Globalisasi dan Praktek Korupsi Internasional
Di era globalisasi, Indonesia tidak terlepas dari pengaruh praktik korupsi internasional. Bisnis lintas negara, investasi asing, serta kerja sama internasional dalam bidang ekonomi bisa memunculkan kesempatan bagi praktik korupsi yang melibatkan pihak asing dan pejabat Indonesia.
Secara keseluruhan, korupsi di Indonesia menjadi masalah utama karena berakar pada faktor-faktor struktural yang kompleks dan berhubungan erat dengan dinamika sosial, politik, dan ekonomi. Meskipun ada upaya yang terus dilakukan untuk memerangi korupsi, tantangan besar tetap ada, terutama dalam hal perubahan pola pikir, budaya politik, serta pemberdayaan lembaga pengawas yang lebih efektif.
Menerapkan teori Edwin Sutherland, khususnya teori differential association, untuk memberantas korupsi di Indonesia memerlukan pendekatan yang komprehensif yang melibatkan perubahan dalam interaksi sosial, pendidikan, dan reformasi kelembagaan. Berikut adalah beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengimplementasikan teori tersebut dalam upaya pemberantasan korupsi:
* Meningkatkan Pendidikan dan Sosialisasi tentang Bahaya Korupsi
Sutherland berpendapat bahwa perilaku kriminal, termasuk korupsi, dipelajari melalui interaksi dengan orang lain dalam kelompok sosial. Oleh karena itu, salah satu cara yang paling efektif untuk memberantas korupsi adalah dengan mendidik masyarakat, terutama di kalangan pejabat publik, mengenai dampak buruk dari korupsi. Program pendidikan anti-korupsi yang dimulai sejak dini dapat mengubah cara pandang masyarakat terhadap perilaku koruptif.
- Pendidikan di sekolah: Menyisipkan pelajaran tentang etika, hukum, dan bahaya korupsi dalam kurikulum pendidikan dasar hingga tinggi akan membantu membentuk karakter generasi muda.
- Pelatihan bagi pejabat publik: Memberikan pelatihan yang menekankan pada pentingnya integritas, akuntabilitas, dan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara.
* Membentuk Lingkungan yang Menjunjung Nilai Anti-Korupsi
Sutherland menekankan bahwa perilaku kriminal dipengaruhi oleh kelompok sosial tempat seseorang berada. Untuk memberantas korupsi, penting untuk menciptakan lingkungan kerja dan sosial yang bebas dari norma-norma yang mendukung perilaku korupsi. Ini bisa dilakukan dengan cara:
- Penguatan sistem pengawasan internal: Meningkatkan pengawasan terhadap pejabat pemerintah dan pegawai negeri sipil (PNS) agar mereka merasa diawasi dan diajak untuk mempertanggungjawabkan setiap tindakan mereka.
- Membangun budaya integritas di pemerintahan dan perusahaan: Pemimpin yang berintegritas harus menjadi contoh yang dapat dicontohkan oleh bawahannya. Di setiap instansi pemerintah dan perusahaan, norma yang menentang korupsi harus menjadi nilai yang dijunjung tinggi.
* Meningkatkan Transparansi dan Akuntabilitas
Salah satu cara untuk mengurangi peluang korupsi adalah dengan meningkatkan transparansi dalam setiap proses birokrasi dan kebijakan publik. Hal ini mengurangi kemungkinan adanya tindakan koruptif yang tidak terdeteksi.
- Sistem pengadaan yang transparan: Pengadaan barang dan jasa harus dilakukan dengan sistem yang transparan, melalui e-procurement misalnya, untuk mengurangi celah bagi pejabat untuk meminta suap atau melakukan penyalahgunaan wewenang.
- Mendorong pelaporan kekayaan pejabat publik: Memastikan bahwa pejabat publik melaporkan kekayaan mereka secara terbuka dan terperinci untuk menghindari akumulasi kekayaan melalui praktik koruptif.
* Reformasi Birokrasi dan Penguatan Kelembagaan
Reformasi birokrasi dan lembaga yang menangani kasus korupsi sangat penting untuk memberantas praktik korupsi. Sejalan dengan teori Sutherland, yang menunjukkan bahwa perilaku buruk sering terjadi dalam sistem sosial yang memungkinkan, maka memperbaiki struktur dan tata kelola lembaga negara adalah langkah penting.
- Pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK): Memberikan dukungan dan sumber daya yang cukup kepada lembaga-lembaga yang berfungsi untuk menanggulangi korupsi seperti KPK, serta memastikan bahwa lembaga tersebut bekerja secara independen tanpa tekanan politik.
- Reformasi dalam pelayanan publik: Mengurangi birokrasi yang berbelit-belit dan meningkatkan efisiensi dalam pelayanan publik. Hal ini dapat mengurangi peluang untuk praktik suap dalam proses perizinan dan administrasi.
* Membuat Sanksi yang Tegas dan Efektif
Sutherland mengatakan bahwa individu belajar perilaku kriminal karena ada rasa pembenaran terhadap perilaku tersebut dalam kelompok mereka. Salah satu cara untuk memutus siklus ini adalah dengan memastikan bahwa korupsi dihukum dengan tegas dan konsisten. Tidak ada toleransi terhadap korupsi dalam sistem hukum.
- Penegakan hukum yang konsisten: Setiap pelaku korupsi harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku tanpa pandang bulu, baik itu pejabat tinggi maupun masyarakat biasa. Hal ini dapat menciptakan efek jera bagi orang lain yang mungkin berpikir untuk terlibat dalam korupsi.
- Pelibatan masyarakat dalam pengawasan: Masyarakat dapat berperan aktif dalam mengawasi tindakan pemerintah dan melaporkan dugaan korupsi. Program pelaporan yang aman dan efektif sangat penting dalam hal ini.
* Mendorong Kerjasama Antar Lembaga
Korupsi tidak dapat diberantas oleh satu lembaga saja, namun memerlukan kolaborasi antara berbagai pihak. Menurut Sutherland, perilaku buruk dapat dipelajari melalui hubungan dengan kelompok sosial yang lebih besar. Oleh karena itu, perlu ada kerjasama antar lembaga negara, masyarakat sipil, dan sektor swasta dalam menangani masalah korupsi.
- Kolaborasi antara KPK, polisi, dan kejaksaan: Meningkatkan sinergi antara lembaga-lembaga yang memiliki tugas dalam pemberantasan korupsi untuk lebih efektif dalam menangani kasus-kasus besar.
- Melibatkan masyarakat dalam pengawasan: Selain itu, memberikan peran lebih besar bagi masyarakat melalui organisasi non-pemerintah (NGO) dan media untuk memantau dan mengungkap praktik korupsi.
* Pembangunan Kembali Kepercayaan Masyarakat
Untuk memberantas korupsi secara efektif, penting untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan. Pemerintah yang transparan dan akuntabel akan mengurangi peluang bagi individu untuk terlibat dalam perilaku koruptif karena mereka melihat bahwa sistem itu adil dan tidak mudah dimanipulasi.
Kesimpulan
dari penjelasan di atas adalah bahwa untuk memberantas korupsi di Indonesia, penerapan teori Edwin Sutherland tentang differential association dapat dilakukan dengan menciptakan lingkungan yang menolak norma-norma koruptif dan mempromosikan nilai-nilai integritas. Hal ini dapat dicapai melalui pendidikan anti-korupsi, reformasi birokrasi, peningkatan transparansi, penguatan lembaga penegak hukum, serta penerapan sanksi yang tegas terhadap pelaku korupsi. Selain itu, penting untuk membangun kerjasama antara berbagai lembaga negara, masyarakat, dan sektor swasta untuk menciptakan sistem yang lebih akuntabel dan transparan. Dengan demikian, korupsi dapat diminimalkan dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan dapat dipulihkan.
 DAFTAR PUSAKA
Sutherland, E. H. (1949). Principles of Criminology (4th ed.). Philadelphia: Lippincott.
Buku ini adalah karya utama Edwin Sutherland yang mengemukakan teori differential association, yang menjadi dasar bagi pemahaman tentang bagaimana perilaku kriminal, termasuk korupsi, dipelajari melalui interaksi sosial.Cressey, D. R. (1953). Corruption in Organizations. Glencoe, IL: Free Press.
Buku ini membahas bagaimana korupsi berkembang dalam organisasi dan memperkenalkan konsep "kejahatan kerah putih", yang relevan dengan diskusi tentang korupsi di kalangan pejabat publik dan eksekutif.Gould, J. A., & Ruggiero, V. (2013). Sociology of Crime and Deviance: Theories, Patterns and Typologies. Sage Publications.
Buku ini memberikan gambaran tentang berbagai teori kriminologi, termasuk teori differential association yang dikemukakan oleh Sutherland, serta penerapannya dalam konteks kejahatan sosial dan korupsi.Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (2021). Laporan Tahunan KPK 2020. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.
Laporan tahunan dari KPK memberikan data dan analisis terkini mengenai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia serta tantangan yang dihadapi oleh lembaga tersebut.Korten, D. C. (1980). Community Organization and Development. San Francisco: Jossey-Bass.
Buku ini memberikan perspektif tentang pentingnya pembangunan komunitas dan integritas sosial dalam upaya pemberantasan korupsi, yang sejalan dengan teori Sutherland tentang interaksi sosial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI