Mohon tunggu...
Ende Widiyana
Ende Widiyana Mohon Tunggu... Guru - Akademisi

Pengajar Propesional yang dapat mendorong pengetahuan yang kuat kepada siswa. dapat menggunakan teknologi untuk membantu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang pembelajaran yang kompleks. mudah beradaptasi dengan gaya belajar yang berbeda berdasarkan siswa yang saya ajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Urgensi Kaidah Tafsir dalam Memahami Makna

15 Juli 2024   04:53 Diperbarui: 15 Juli 2024   06:44 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada awalnya karya ilmiah ulama yang berkembang tentang kaidah-kaidah tafsir bercampur dengan pembahasan ulumul Qur'an atau usul Fiqih. Di antara karya ulama pertama yang menyinggung tentang masalah ini adalah Ar-Risalah karya Imam Asy-Syafi'I, Al Risalah adalah karya monumental Muhammad ibn Idris Al Syafii (150-204 H). Secara coraknya kitab tersebut digolongkan ke dalam kitab Ushul Fiqh. Akan tetapi di dalam kibab tersebut Imam Syafii telah menyinggung kaidah penafsiran berkaitan dengan 'Aam dan Khas, Nasikh-Mansukh dan lainnya. Hanya saja tidak ditulis sebagai disiplin ilmu kaidah Tafsir secara tersendiri. Lihat, Al-Risalah, Muhammad ibn Idris Asy Syafii, (Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, Mathbaah Al-Baba Al-Hubla wa Auladuhu, Mesir, 1938). Selain mempelopori kajian ushul fikih, buku ini sebenarnya merupakan salah satu buku pelopor tentang pembahasan kaidah tafsir walaupun tidak fokus membahas kaidah-kaidah tafsir secara khusus.

Macam-Macam Tafsir Berdasarkan Sumbernya

Dalam buku berjudul Ulumul Quran II yang disusun oleh Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi'i dijelaskan bahwa tafsir Alquran ditinjau dari segi sumbernya (sumber penafsiran) ada tiga macam, yaitu tafsir bil ma'tsur, tafsir bil ra'yi, dan tafsir bil izdiwaji.Tafsir bil ma'tsur sering disebut dengan tafsir Bir Riwayah atau tafsir Bil Manqul, yaitu tafsir Alquran yang dalam menafsirkan ayat-ayat Alquran didasarkan atas sumber penafsiran dari Alquran, dari riwayat para sahabat Nabi Saw dan dari riwayat para tabi'in. 6 Pada Tafsir bil Ma'tsur, penafsiran ayat-ayat Alquran diambil dari sumber-sumber yang berhubungan dengan makna ayat yang akan ditafsirkan, lalu disebutkan penafsirannya berdasarkan riwayat, nukilan atau kutipan. Menukil dari Nabi dan harus menghindari riwayat-riwayat yang dhaif (lemah) dan palsu, dan itu jumlahnya cukup banyak.7 Mereka para mufassir kalau sudah ketemu riwayat tersebut maka mereka tidak lagi berijtihad di dalam menjelaskan maksud ayat yang ditafsirkan dan tidak mencari penafsiran dari sumber yang lain. Bahkan mereka harus menghindari keterangan yang tidak ada manfaatnya karena tidak ada dalilnya.

Tafsir bil ra'yi sering juga disebut dengan tafsir bil dirayah atau tafsir bil ma'qul, yaitu tafsir Alquran yang didasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran mufassir tarhadap tuntunan kaidah Bahasa Arab dan kesasteraannya, teori ilmu pengetahuan, setelah dia menguasai sumber-sumber tadi.8 Pada tafsir bil ra'yi ini mufassir menjelaskan makna-makna Alquran dengan hanya berpegang pada pemahaman mereka sendiri dan penyimpulan yang didasarkan pada pendapat semata, sehingga terkadang tidak disertai bukti-bukti jelas dari ayat itu sendiri. Hal ini bisa berakibat pada penyimpangan terhadap kitabullah. Karena itulah terhadap tafsir bil ra'yi ini para ulama berlainan pendapat, ada yang membolehkannya dan ada juga yang mengharamkannya. Dikatakan haram kalau memang tidak ada dasar sama sekali dalam Alquran, atau dilakukan tanpa dasar kaidah Bahasa Arab dan pokok-pokok hukum syariah dan atau untuk memenuhi kemauan nafsu belaka.9 Sebagian ulama yang membolehkan penafsiran dengan menggunakan metode tafsir bil ra'yi mensyaratkan kepada mufassir untuk memenuhi syarat-syarat sebagai seorang mufassir, kalau tidak maka juga tidak boleh untuk melakukan penafsiran.

Tafsir bil izdiwaji disebut juga dengan metode campuran antara tafsir bil ma'tsur dan tafsir bil ra'yi, yaitu penafsiran ayat Alquran berdasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayah yang kuat dan sahih, dengan sumber hasil ijtihad akal pikiran yang sehat. Tafsir macam ini banyak ditulis pada tafsir modern dan muncul sesudah kebangkitan kembali umat Islam. Buya Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar menyatakan bahwa penerapan cara penafsiran ini dalam menafsirkan Alquran dilakukan oleh penafsirnya dengan memelihara sebaik-baiknya hubungan antara naqal dan akal serta antara riwayah dan dirayah. Penafsir tidak hanya semata-mata mengutip atau menukil pendapat-pendapat penafsir yang telah terdahulu, tetapi mempergunakan juga tinjauan pengalamannya sendiri.

Macam-Macam Kaidah Tafsir 

Kaidah-kaidah tafsir yang berkembang dalam sejarah penafsiran Alquran sangat beragam. Berdasarkan perkembangan tersebut, jika dipetakan kadiah-kaidah tafsir dapat dikelompokkan menjadi kaidah dasar, umum, dan khusus.

  • Kaidah dasar tafsir

Kaidah dasar berkaitan dengan penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan Alquran yang meliputi Alquran, Hadis, penjelasan sahabat dan perkataan tabi'in. Dalam kaidah dasar ini, seorang mufassir pertama-tama harus kembali kepada Alquran dan menelitinya secara cermat dalam rangka mengumpulkan ayat-ayat Alquran tentang suatu tema atau pokok persoalan. Kemudian menghubungkan dan memperbandingkan kandungan ayat-ayat yang mengandung arti mujmal yang diperinci oleh ayat lain. Atau jika pada suatu ayat masalahnya disebut secara singkat, maka diperluas oleh ayat lain.

Kemudian mufassir juga harus memerhatikan hadis-hadis Nabi. Bila mendapatkan hadis shahih, ia harus menafsirkan ayat berdasarkan hadis tersebut. Ia tidak dibenarkan untuk menafsirkan menurut pendapatnya sendiri dan meninggalkan hadis tersebut. Selanjutnya, apabila terdapat penjelasan sahabat nabi untuk menafsirkan ayat Alquran, ia harus menggunakan penjelasan tersebut sebagai dasar tafsirnya. Hanya saja mengingat banyak riwayat yang terkadang sanadnya lemah, diperlukan kehati-hatian dan seleksi yang teliti. Demikian juga dengan perkataan tabi'in. Hanya saja keberadaan perkataan tabi'in dalam menafsirkan Alquran ini diperselisihkan. Ada yang berpendapat termasuk tafsir bi al-ma'sur dengan alasan bahwa itu diterima dari sahabat nabi. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai tafsir bi al-ra'yi, seperti tafsir para mufassir lainnya setelah tabi'in.

  • Kaidah Umum Tafsir

Kaidah umum yang dimaksudkan di sini adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh seorang mufassir dalam menafsirkan Alquran. Seorang mufassir yang akan menafsirkan ayart-ayat suci Alquran harus memenuhi syarat-syarat. Para ulama menyebutkan beberapa syarat yang haruis dimiliki oleh seseorang yang hendak menafsirkan Alquran. Syarat-syarat tersebut, di antaranya; mempunyai akidah yang lurus, bersih dari hawa nafsu dan menguasai ilmu tafsir (ilmu-ilmu Alquran beserta pendukungnya).11 Ilmu-ilmu Alquran misalnya; ilmu Asbab An nuzul (sebab-sebab turunnya ayat), ilmu makki wal madani, ilmu nasikh wal mansukh, ilmu muhkam wal mutasyabih dan lain sebagainya. Adapun ilmu lainnya sebagai pendukung yang harus dimiliki oleh seorang mufassir meliputi ilmu Bahasa Arab, nahwu, sharaf, isytiqaq, balaghah (ma'ani, bayan dan badi'), ushul fiqh, dan ilmu qira'at. Ilmu bahasa (linguistik) berfungsi untuk mengetahui kosa kata, konotasi, dan konteks Alquran. Melalui ilmu nahwu (tata bahasa), seorang mufassir akan mengetahui bahwa sebuah makna akan berubah seiring dengan perubahan i'rab. Dengan Ilmu Sharaf (konjungsi), seorang mufassir dapat melihat bentuk, asal dan pola (shighat) sebuah kata. Sementara kaidah isytiqaq (derivasi kata, etimologi) digunakan untuk mengetahui akar atau kata dasar dari suatu kata. Sebab, jika diambil dari kata dasar yang berbeda, sebuah kata akan memiliki makna yang berbeda pula. Ilmu Balaghah berperan dalam membimbing mufassir untuk mengetahui karakteristik susunan sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang dihasilkannya atau retorika (ma'ani), perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan) dan sisi-sisi keindahan sebuah ungkapan (badi'). Adapun Ilmu Ushul Fiqih dapat membantu mufassir dalam mempelajari cara pengambilan dan perumusan dalil-dalil hukum. Sedangkan Ilmu Qiraat digunakan oleh mufassir untuk mengetahui cara-cara melafalkan Alquran.

  • Kaidah Khusus Tafsir Kontemporer 

Adapun kaidah penafsiran secara umum dalam menjelaskan ayat-ayat Allah Swt. banyak cara yang ditempuh para pakar tafsir. Ada yang menyajikannya sesuai urutan ayat-ayat sebagaimana tertulis dalam mushaf Alquran. Misalnya dari ayat pertama surat al-Faatihah hingga ayat terakhir, kemudian beralih ke ayat pertama surat kedua (al-Baqarah) hingga berakhir pula, dan seterusnya. Pesan dan kandungan Alquran disajikan dengan rinci dan luas mencakup aneka persoalan yang muncul dalam pikiran sang mufassir, baik yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan ayat yang ditafsirkannya. Cara penafsiran seperti ini dikenal dengan sebutan tafsir tahlily. Ada juga yang memilih topik tertentu, kemudian menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tersebut di manapun ayat tersebut ditemukan. Selanjutnya disajikan kandungan dan pesan-pesan yang berkaitan dengan topik yang dipilihnya tanpa terikat dengan urutan ayat dan surat sebagaimana tersebut dalam mushaf dan tanpa menjelaskan hal-hal yang tidak berkaitan dengan topik walau hal yang berkaitan itu secara tegas dikemukakan oleh ayat dibahasnya. Cara ini dikenal dengan sebutan tafsir maudhu'iy. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun