"Betul, anakku jadi korban kebiadaban dalam kerusuhan itu. Dia ditembak mati oleh tentara," wajahnya berubah memancarkan kemarahan. "Anakku satu-satunya, direnggut secara kejam oleh mereka!"
"Bu Maria, itu sudah 26 tahun yang lalu," kata wanita itu lembut.
"Ya, tapi keadilan tidak berjalan. Jenderal pelanggar HAM dibiarkan bebas berkeliaran. Sudah berapa kali pergantian presiden, tidak ada yang memenuhi janji mengungkap kasus itu. Saya sangat kecewa."
Wajah wanita itu menunjukkan simpati yang mendalam. Ia meraih tangan Maria dan menggenggamnya erat. Tangisan Maria pecah, ia sesenggukan dan merintih pilu. Luka di dadanya tak pernah mengering, meratapi kepergian sang putera tersayang.Â
Wanita berjilbab itu memberikan tepukan menenangkan di bahunya. Ia mengulurkan beberapa lembar tisu untuk menghapus air matanya yang mengalir deras. Setelah beberapa saat, Maria mulai bisa mengendalikan diri.Â
"Maaf, saya tidak bisa menahan tangis,"
"Saya mengerti. Sangat berat bagi seorang ibu kehilangan anak yang sangat disayangi,"
"Akan tetapi," wanita itu melanjutkan. "Apakah ibu akan hidup seperti ini hingga akhir hayat? Apakah ibu tidak ingin hidup tenang pada sisa usia?"
Maria menatap kesal,"Bagaimana  bisa hidup tenang jika pembunuh anak saya masih saja bebas?"
"Ibu tampak sangat ingin membalas dendam."
"Tentu saja. Saya ingin pembunuhnya diberikan hukuman setimpal."