Wanita itu mengangguk-angguk, "Bu Maria, ingatlah bahwa kematian adalah takdir Tuhan. Ibu percaya pada Tuhan kan?"
"Ya. Tapi bukan berarti kejahatan dibiarkan," sergah Maria.
"Ibu tidak ikhlas dengan kepergian anak yang telah ditentukan Tuhan?"
"Apa maksud anda mengatakan ini? Supaya saya berhenti memperjuangkan keadilan?" Nada suaranya meninggi.
Wanita itu tersenyum tenang. "Bukan begitu. 26 tahun telah ibu lalui tanpa kedamaian karena dipenuhi dendam. Ibu tidak ikhlas dengan kepergian Jonathan. Padahal itu adalah takdir Tuhan. Berarti ibu menentang apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan."
Wajah Maria memerah dalam keremangan malam. Perasaannya campur aduk, antara marah dan malu.Â
"Memang mudah bicara ikhlas karena anda tidak mengalaminya. Anda tidak mengerti bagaimana peristiwa itu terjadi," suaranya tertahan di tenggorokan.Â
"Bu Maria, maafkan saya. Namun coba pikirkan, Jonathan sudah bersama Tuhan. Apakah ia bisa tenang di alam sana jika ibu masih saja tidak merelakan kepergiannya? Saya yakin Jonathan juga tidak ingin ibu hidup menderita dengan selalu berduka."
Maria terisak-isak. Air matanya kembali bercucuran. Tangannya berusaha merogoh ke dalam tas, mencari saputangan kumal miliknya. Dengan cekatan, wanita berjilbab itu mengeluarkan beberapa lembar tisu lagi yang diterima Maria dengan tangan gemetar.Â
"Bu Maria, percayalah bahwa Tuhan Maha Penyayang telah memeluk Jonathan. Karena itu tidak perlu dirisaukan lagi kepergiannya. Jonathan pasti ingin ibu hidup bahagia. Biarkanlah peristiwa itu berlalu. Lupakan dan ikhlaskan." Wanita itu berhenti sejenak.
"Tuhan juga Maha Adil. Jika manusia tidak bisa dipercaya menegakkan keadilan, mengapa tidak menyerahkan sepenuhnya kepada keadilan Tuhan? Cepat atau lambat pasti akan berjalan. Tapi tidak perlu ditunggu."