Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ternyata Suku Baduy Dalam Bukan Masyarakat Primitif

12 Januari 2020   10:27 Diperbarui: 12 Januari 2020   11:16 6900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun kasus-kadus seperti itu  nyaris tidak ada karena suku Baduy Dalam menjaga kesuciannya.  Mereka patuh pada petunjuk dan perintah ketua adat. 

Hal menarik lainnya, kita tidak akan bisa menemukan pemakaman di sini. Kalau ada orang yang meninggal, dikafani lalu dikubur menghadap selatan. Liang kubur anak kecil hanya sedalam lutut, sedangkan liang kubur dewasa sedalam pinggang. Tidak ada gundukan bertanda nisan atau diberi nama. Bahkan setelah seminggu, tanah di atasnya boleh ditanami.

Pada bulan kawaluh, yang sebentar lagi tiba, tak boleh ada orang luar yang masuk. Ini seperti lebaran bagi mereka dengan masa yang lebih panjang sekitar tiga bulan, ada musim panen dan musim berburu.

Mereka tidak Primitif

Di balik adat yang berlaku, ternyata mereka mengikuti perkembangan zaman. Suku Baduy Dalam bisa membaca dan menulis meski tidak pernah sekolah. Bagaimana caranya?

Mungkin kita tahu bahwa pada suku Baduy Dalam ada ritual turun ke kota. Mereka melakukan perjalanan dengan berjalan kaki dari desa hingga ke Jakarta. Waktu tempuhnya satu setengah hari.

Lelaki Baduy Dalam (dok.pri)
Lelaki Baduy Dalam (dok.pri)
Kang Safrii pertama ke Jakarta dibawa oleh Om-nya pada usia 14 tahun. Di kota besar ini ia diperkenalkan dengan huruf-huruf, melalui tulisan-tulisan yang terpampang di tepi jalan. Kalau ada yang tidak tahu, bertanya pada orang lain.

Begitulah kebiasaan turun temurun sehingga mereka bisa membaca dan menulis. Bahkan Kang Safrii mengenal beberapa kata dalam bahasa Inggris. Ini menandakan mereka memiliki kecerdasan yang tinggi. 

Saya takjub ketika mengetahui bahwa kang Safrii dan beberapa temannya memiliki akun Instagram. Mereka boleh menggunakan hape di luar kawasan Baduy Dalam. Tapi kalau sudah kembali ke desa, perangkat modern itu disimpan.

Kang Safrii dan seorang bule di Baduy luar (dok.safrii)
Kang Safrii dan seorang bule di Baduy luar (dok.safrii)
Kang Safrii sudah 38 kali turun ke Jakarta. Ia mempelajari banyak hal. Meski begitu, tidak ada yang mengubah dirinya, ia tetap seorang lelaki Baduy Dalam dengan ciri khas ikat kepala berwarna putih dan kain hitam garis putih.

Oh ya, yang suka berjualan madu di jalan bukan dari suku Baduy Dalam. Mereka hanya menjual madu kepada pengunjung yang datang ke desa. Tempatnya dalam botol tanggung, bukan botol sirup. Satu botol seharga Rp. 60.000,-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun