Namun kasus-kadus seperti itu  nyaris tidak ada karena suku Baduy Dalam menjaga kesuciannya.  Mereka patuh pada petunjuk dan perintah ketua adat.Â
Hal menarik lainnya, kita tidak akan bisa menemukan pemakaman di sini. Kalau ada orang yang meninggal, dikafani lalu dikubur menghadap selatan. Liang kubur anak kecil hanya sedalam lutut, sedangkan liang kubur dewasa sedalam pinggang. Tidak ada gundukan bertanda nisan atau diberi nama. Bahkan setelah seminggu, tanah di atasnya boleh ditanami.
Pada bulan kawaluh, yang sebentar lagi tiba, tak boleh ada orang luar yang masuk. Ini seperti lebaran bagi mereka dengan masa yang lebih panjang sekitar tiga bulan, ada musim panen dan musim berburu.
Mereka tidak Primitif
Di balik adat yang berlaku, ternyata mereka mengikuti perkembangan zaman. Suku Baduy Dalam bisa membaca dan menulis meski tidak pernah sekolah. Bagaimana caranya?
Mungkin kita tahu bahwa pada suku Baduy Dalam ada ritual turun ke kota. Mereka melakukan perjalanan dengan berjalan kaki dari desa hingga ke Jakarta. Waktu tempuhnya satu setengah hari.
Begitulah kebiasaan turun temurun sehingga mereka bisa membaca dan menulis. Bahkan Kang Safrii mengenal beberapa kata dalam bahasa Inggris. Ini menandakan mereka memiliki kecerdasan yang tinggi.Â
Saya takjub ketika mengetahui bahwa kang Safrii dan beberapa temannya memiliki akun Instagram. Mereka boleh menggunakan hape di luar kawasan Baduy Dalam. Tapi kalau sudah kembali ke desa, perangkat modern itu disimpan.
Oh ya, yang suka berjualan madu di jalan bukan dari suku Baduy Dalam. Mereka hanya menjual madu kepada pengunjung yang datang ke desa. Tempatnya dalam botol tanggung, bukan botol sirup. Satu botol seharga Rp. 60.000,-