Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Ternyata Suku Baduy Dalam Bukan Masyarakat Primitif

12 Januari 2020   10:27 Diperbarui: 12 Januari 2020   11:16 6900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah lama saya ingin melihat suku Baduy Dalam di Lebak, Banten. Waktu masa kuliah, kawasan Baduy Dalam masih tidak boleh dimasuki orang luar. Beberapa tahun terakhir ini baru diperbolehkan.

Memang kalau merencanakan sesuatu dari jauh-jauh hari, kadang gagal di tengah jalan. Niat ke Baduy Dalam sudah lama, tetapi baru bisa terlaksana pergantian tahun baru yang lalu secara mendadak.

Rencana semula akan ke Garut batal karena sesuatu hal. Ketika melihat tawaran trip ke Baduy Dalam, saya terdorong ikut. Berangkat pagi tanggal 31 Desember, pulang tanggal satu Januari.

Perjalanan ini terbilang cukup nekad, saya tak punya persiapan fisik sebagaimana jika mau naik gunung. Ternyata medan yang dilalui lebih berat daripada ketika saya mendaki gunung Ijen beberapa bulan sebelumnya.

Desa Ciboleger, Baduy Luar (dok.pri)
Desa Ciboleger, Baduy Luar (dok.pri)
Meeting point di stasiun Rangkasbitung, lalu menggunakan elf ke desa Ciboleger, Baduy Luar. Kami mulai perjalanan sekitar pukul setengah satu siang dengan cuaca buruk. Gerimis berubah menjadi hujan lebat.

Jembatan bambu (dok.safrii)
Jembatan bambu (dok.safrii)
Batas Baduy Luar adalah sebuah jembatan bambu di ujung desa yang dinamakan Gazebo. Kaki sudah terasa pegal, tetapi perjalanan yang sangat berat baru dimulai ketika menuju Baduy Dalam.

Track yang dilalui terasa semakin berat dengan hujan lebat yang terus menerus mengguyur. Jalur yang dilalui semakin terjal dan licin. Masalahnya, jalur ini tidak satu arah mendaki, melainkan naik turun, memutari bukit lewat tebing dan hutan.

Kaki saya saya terkena kram, mungkin disebabkan dingin air hujan atau kurangnya persiapan. Untung pemandu membawa minyak gaharu yang dioleskan di betis. Saya tertatih-tatih berjalan meski dibantu dengan sebuah tongkat. Semua orang mempunyai tongkat yang dibeli di bawah untuk membantu berjalan di track yang berat.

Larangan membuang sampah (dok.pri)
Larangan membuang sampah (dok.pri)
Butuh 4 s/d lima jam menuju perkampungan Baduy Dalam. Kami tiba ke desa Cibeo sekitar pukul setengah enam. Kami melepas lelah sejenak dengan minum teh atau kopi panas dan makan bekal yang dibawa.

Sebelum hari semakin gelap, beberapa orang sempat membersihkan diri di sungai. Di perkampungan Baduy Dalam ini tidak ada kamar mandi, hanya sungai yang mengalir di belakang kampung. Kami dilarang menggunakan sabun dan odol.

Saya tidak berani mandi, hanya membersihkan sepatu sandal dan pakaian yang kotor dipenuhi tanah becek. Setelah itu menunaikan shalat Maghrib bersama teman-teman.

Mengenal suku Baduy Dalam

Rumah tempat kami bermalam adalah milik Kang Safrii yang tadi ikut menjemput di bawah. Rumah ini bentuknya sama dengan semua rumah di perkampungan Baduy Dalam. Rumah panggung rendah, terbuat dari kayu dan bambu. Tidak ada nomor rumah atau nama gang, kalau tidak teliti kita bisa salah masuk rumah.

Tidak ada listrik di kawasan Baduy Dalam, jadi jangan berharap bisa charger handphone. Toh juga tidak ada gunanya karena di kawasan ini kita terlarang untuk mengambik foto apapun. Jangan coba melanggar, mereka akan tahu. Pengalaman seorang teman, kameranya raib  akibat dia mencuri-curi foto.

Kehidupan malam yang temaram, penerangan hanya pelita kecil yang bahan bakarnya minyak Kelapa. Ada teman menggantung senter dan lampu portabel untuk membantu penerangan.

Kemudian kami berbincang-bincang dengan Kang Safrii menanyakan segala hal yang ingin diketahui tentang Baduy Dalam. Desa Cibeo ini dihuni oleh 200 orang. Tetapi ada desa yang lebih besar yaitu Cikertawana dan Cikeusik.

Populasi suku Baduy Dalam sebenarnya cukup besar, sekitar 15 000 orang yang tersebar di berbagai desa. Jangan mengira bahwa mereka tidak terdata dengan baik, mereka memiliki KTP dan kartu keluarga.

Suku Baduy Dalam tidak menganut salah satu agama resmi negara. Mereka masih menganut animisme atau dinamisme.  Peraturan adat masih dijalankan dengan ketat. 

Pernikahan dilakukan dengan usia pria minimal 18 tahun, sedangkan perempuan minimal 15 tahun. Tidak ada pesta dengan dandanan mencolok, hanya berupa makan-makan bersama selama tiga hari.

Satu hal yang bikin salut, tidak ada poligami, mereka saling setia dengan pasangan hingga akhir hayat. Tetapi jika pasangan meninggal, diperbolehkan menikah lagi.

Kalau ada yang hamil di luar nikah, hukuman dikucilkan di rumah khusus. Setelah melahirkan, harus meninggalkan kawasan Baduy Dalam beserta bayi dan pria yang bertanggung jawab. Mereka tidak boleh kembali ke sana.

Selain itu, jika ada yang jatuh cinta pada orang luar, boleh saja menikah. Resikonya, tidak boleh lagi tinggal di kawasan Baduy Dalam. Mereka hanya boleh berkunjung, bukan menetap di rumah Baduy Dalam.

Namun kasus-kadus seperti itu  nyaris tidak ada karena suku Baduy Dalam menjaga kesuciannya.  Mereka patuh pada petunjuk dan perintah ketua adat. 

Hal menarik lainnya, kita tidak akan bisa menemukan pemakaman di sini. Kalau ada orang yang meninggal, dikafani lalu dikubur menghadap selatan. Liang kubur anak kecil hanya sedalam lutut, sedangkan liang kubur dewasa sedalam pinggang. Tidak ada gundukan bertanda nisan atau diberi nama. Bahkan setelah seminggu, tanah di atasnya boleh ditanami.

Pada bulan kawaluh, yang sebentar lagi tiba, tak boleh ada orang luar yang masuk. Ini seperti lebaran bagi mereka dengan masa yang lebih panjang sekitar tiga bulan, ada musim panen dan musim berburu.

Mereka tidak Primitif

Di balik adat yang berlaku, ternyata mereka mengikuti perkembangan zaman. Suku Baduy Dalam bisa membaca dan menulis meski tidak pernah sekolah. Bagaimana caranya?

Mungkin kita tahu bahwa pada suku Baduy Dalam ada ritual turun ke kota. Mereka melakukan perjalanan dengan berjalan kaki dari desa hingga ke Jakarta. Waktu tempuhnya satu setengah hari.

Lelaki Baduy Dalam (dok.pri)
Lelaki Baduy Dalam (dok.pri)
Kang Safrii pertama ke Jakarta dibawa oleh Om-nya pada usia 14 tahun. Di kota besar ini ia diperkenalkan dengan huruf-huruf, melalui tulisan-tulisan yang terpampang di tepi jalan. Kalau ada yang tidak tahu, bertanya pada orang lain.

Begitulah kebiasaan turun temurun sehingga mereka bisa membaca dan menulis. Bahkan Kang Safrii mengenal beberapa kata dalam bahasa Inggris. Ini menandakan mereka memiliki kecerdasan yang tinggi. 

Saya takjub ketika mengetahui bahwa kang Safrii dan beberapa temannya memiliki akun Instagram. Mereka boleh menggunakan hape di luar kawasan Baduy Dalam. Tapi kalau sudah kembali ke desa, perangkat modern itu disimpan.

Kang Safrii dan seorang bule di Baduy luar (dok.safrii)
Kang Safrii dan seorang bule di Baduy luar (dok.safrii)
Kang Safrii sudah 38 kali turun ke Jakarta. Ia mempelajari banyak hal. Meski begitu, tidak ada yang mengubah dirinya, ia tetap seorang lelaki Baduy Dalam dengan ciri khas ikat kepala berwarna putih dan kain hitam garis putih.

Oh ya, yang suka berjualan madu di jalan bukan dari suku Baduy Dalam. Mereka hanya menjual madu kepada pengunjung yang datang ke desa. Tempatnya dalam botol tanggung, bukan botol sirup. Satu botol seharga Rp. 60.000,-

Kita dianjurkan membeli madu dan barang kerajinan seperti kain tenun dan tas tradisional untuk membantu perekonomian mereka. Kalau berkunjung ke desa, sebaiknya membawa oleh-oleh seperti kopi, teh, gula dan ikan asin.

Fisik suku Baduy Dalam agak berbeda dengan Baduy luar. Kulit bening walaupun tidak pernah terkena sabun. Banyak yang ganteng dan cantik. Kang Safrii sendiri berparas tampan dan awet muda.

Pulang dengan track berbeda

Esoknya setelah sarapan, kami harus kembali ke bawah. Di kampung Baduy Dalam, kita tidak boleh menginap lebih dari semalam. Maka paginya harus pulang lagi.

Perjalanan berat kembali dimulai, padahal tubuh masih sangat lelah. Tenaga hanya tersisa sepertiga, ditambah kaki yang masih sakit.

Saya dan lelaki Baduy (dok.pri)
Saya dan lelaki Baduy (dok.pri)
Ternyata perjalanan pulang melalui jalur yang berbeda dengan keberangkatan. Malah lebih panjang dan jauh, tapi tidak se-ekstrim jalur keberangkatan. 

Kami melewati tanaman padi di tebing dan lereng. Padi ini menjadi nasi yang dimakan sehari-hari oleh suku Baduy Dalam. Mereka juga memiliki lumbung padi. Satu keluarga bisa memiliki lebih dari satu lumbung padi.

Sawah (dok.yeyen)
Sawah (dok.yeyen)
Hujan pun turun lagi, membuat track semakin licin. Saya terpeleset jatuh dengan tongkat yang patah. Untunglah tidak menggelinding ke jurang. Salah seorang lelaki Baduy Dalam mendampingi dan menjaga saya.

Lembah (dok.pri)
Lembah (dok.pri)
Beberapa kali kami melewati sungai kecil yang berbatu-batu. Airnya cukup menyegarkan. Di sini kami sering cuci kaki.

Melewati sungai (dok.pri)
Melewati sungai (dok.pri)
Kami sempat beristirahat lama di sebuah perkampungan Baduy Luar. Di sini teman-teman memuaskan diri dengan foto selfie. Sedangkan saya lebih suka istirahat dan minum air mineral.

Setelah itu, banyak teman yang menyempatkan diri berfoto di jembatan akar. Jembatan ini memang menjadi ikon kunjungan ke Baduy. Di bawahnya sungai besar bernama Cicimet, yang nantinya bertemu dengan sungai Cidurian yang menyebabkan banjir bandang di Lebak.

Jembatan akar (dok.pri)
Jembatan akar (dok.pri)
Dengan susah payah akhirnya berhasil turun ke Baduy luar. Saya tiba di desa Ciboleger pukul setengah dua siang. Satu persatu teman juga tiba. Mereka semua kelelahan.

Perjalanan jauh membuat lutut sulit ditekuk, butuh pemijatan dan istirahat yang cukup lama. Maklum usia semakin bertambah, tapi masih berani bersaing dengan anak-anak muda naik turun gunung.

NB: semua foto diambil di kawasan Baduy Luar

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun