Kabur di Malam Pernikahan
Part 13
Aku berusaha membendung air mata yang semakin bergelayut di pelupuk mata. Namun, tetap saja bulir air itu berjatuhan tak tertahankan.
"Afwan Teh, Keyla tidak bermaksud membuat Teteh menagis." Keyla langsung duduk disampingku, lalu memegang tanganku.
"Tidak apa-apa Key, terima kasih sudah mau memberikan informasi itu pada Teteh." Aku berbalik memegang tangan Keyla.
"Teteh pulang duluan Ya, Key!" Aku membenahi tas selempangku, lalu berdiri.
Keyla menarik tanganku dan membujukku untuk duduk kembali.
"Baik, Teh. Keyla menghubungi Bang Alif dulu, Ya!" Keyla mengetikkan sesuatu di ponselnya.
"Tidak usah, Key. Teteh naik angkot sendiri saja." Aku berdiri kembali, lalu melangkah meninggalkan rumah makan.
Keyla megejar dan menyejajarkan langkahnya denganku. Ia terlihat sibuk menghubungi Alif.
Keyla mendengus sepertinya dia kesal, karena Alif tak kunjung mengangkat teleponnya.
Aku semakin mempercepat langkahku keluar dari area Rumah Makan Berkah Bunda. Keyla menarik tanganku, lalu menuntunku menuju parkiran.
"Biar Keyla yang antar Teteh!" ucapnya sembari membuka pintu mobil.
"Tidak usah, Key. Teteh bisa naik angkot sendiri."
"Nggak apa-apa Teh, Â sekalian mengambil barang Keyla yang tertinggal di rumah Bang Alif, " jelasnya.
Aku tidak mempunyai alasan lagi untuk menolak permintaan Keyla. Dengan rasa bersalah aku masuk ke mobil.
Keyla mulai menjalankan mobilnya, lalu melirik ke arahku. "Teteh, tidak apa-apa? Maafkan keyla, Ya! Keyla tidak bermaksud menyinggung perasaan Teteh."
"Tidak apa-apa, seharusnya Teteh berterima kasih pada Keyla karena sudah memberi tahu Teteh," ucapku sembari memandang ke depan.
Tidak lama kemudian, mobil putih milik Keyla sudah terpakir di garasi rumah Alif. Ah, sepertinya aku tertidur tadi.
"Ayo masuk, Key!" Aku membuka pintu rumah.
"Wah, rumah Bang Alif sekarang rapi dan wangi. Sepertinya aku betah kalau main ke sini," ucap Keyla sembari membentangkan dua tangannya.
"Keyla, mau minum apa?" tanyaku sembari membuka pintu kulkas.
"Tidak usah Teteh, nanti Keyla bisa ambil sendiri."
Keyla masuk ke perpustkaan mini milik Alif. Sepertinya dia mau mengambil barang yang tertinggal itu. Aku jadi penasaran sebenarnya barang apa yang tertinggal di sana? Bukankah di ruang itu hanya terdapat buku-buku saja?
Tidak lama kemudian, Keyla keluar dari perpustakaan, lalu pamit untuk pulang. Aku berusaha mencegah Keyla dan membujuknya untuk tinggal di rumah. Namun, gadis itu beralasan kalau dia harus pulang, karena ada tugas kuliah yang harus segera diselesaikannya.
Aku berdiri di depan garasi sampai mobil Ayla putih milik Keyla tidak terlihat dari pandangan lagi. Dengan lunglai aku masuk ke kamar, lalu membenamkan wajahku di atas bantal.
"Tiara, buka pintunya!" Terdengar suara Alif diiringi ketukan pintu.
" Maaf, Aku ingin sendiri dulu!" seruku.
"Baiklah, kalau begitu aku akan pergi ya ke rumah Bunda."
"Silakan saja!" teriakku
"Aku pulangnya besok sore, ya!"
Aku berlari membuka pintu, lalu bertanya pada Alif, "Jadi malam ini kamu menginap di Depok?"
"Ya." Alif mengangguk.
"Jadi, malam ini aku sendirian di rumah?"
"Ya, tentu saja," jawab Alif lagi.
"Tidak ... tidak aku tidak mau sendirian, aku ikut kamu, ya!" Reflek aku memegang tangan Alif.
Aku menarik tanganku begitu tersadar kalau Alif sedang memandang tanganku.
Alif maju ke arahku, sehingga membuat aku mundur. Aku berusaha menghindari Alif sampai terduduk di atas kasur.
Alif ikut duduk di sampingku, kemudian bertanya kepadaku, "Kalau begitu, mengapa tadi kamu tidak menungguku pulang?"
Pertanyaan Alif mengundang bulir bening jatuh di pipiku kembali.
Aku mengambil foto di tas, lalu memberikannya pada Alif. "Mengapa kamu tidak pernah bercerita tentang tunanganmu itu?"
Hening.
"Mengapa kamu menyembunyikannya dariku?" tanganku mulai gemetar memegang foto gadis itu.
"Dia itu masa lalu, Tiara," Jawab Alif singkat.
"Kalau kamu bercerita sudah mempunyai tunangan, mungkin aku tidak akan ikut bersamamu ke Jakarta."
"Lalu, kalau tidak ikut ke Jakarta kamu akan apa?"
"Aku ...." Â Aku tak mampu melanjutkan kata-kataku.
"Kamu dan aku tidak bisa berbuat apa-apa, bukan? Aku sudah ikhlas dengan pernikahan ini. Aku yakin semua yang telah terjadi sudah ada dalam sekenario Allah. Jadi, tolong kamu jangan mengungkit masa laluku, begitu pun aku tidak akan mengungkit masa lalumu," jelas Alif.
Aku takjub dengan perkataan Alif. Ternyata kalimat yang keluar dari orang yang tinggi ilmunya sungguh bijaksana. Namun, rasa bersalah kini benar-benar membuat dadaku sesak.
"Baiklah, aku minta maaf atas yang terjadi pada hubungan kalian berdua. Di mana tunanganmu, sekarang?"
"Tiara, bukankah aku sudah bilang, jangan mengungkit masa lalu lagi!" Suara Alif terdengar meninggi.
Aku terhenyak. Baru kali ini Alif membentakku.
A ... ku tidak bermaksud menyinggungmu. Aku hanya merasa banyak berhutang budi padamu. Aku tidak tahu dengan cara apa bisa membalas semua kebaikanmu." Akhirnya aku berhasil mengutarakan seluruh perasaanku.
"Baik, kamu ingin membalasnya?" Alif beringsut mendekatiku.
Detak jantungku kembali terpacu lebih cepat. Aku tak mampu menguasai diriku lagi. Posisi kami, kini saling berhadapan. Aku memejamkan mata, saat wajah Alif semakin mendekat.
"Berhasil, aku berhasil mengambil semutnya," ucap Alif sembari membuang semut yang diambilnya dari hidungku.
Ternyata Alif mendekatiku hanya untuk mengambil semut di wajahku. Aku tidak bisa membayangkan betapa merahnya pipiku, karena malu.
"Awas sana, minggir." Aku mendorong Alif, kemudian melangkah ke luar kamar.
"Kamu mau ke mana, Tiara?"
"Aku mau ke dapur, lapar."
Alif mengikutiku dari belakang sembari menggodaku, "Ngomong-ngomong, kamu sepertinya cemburu dengan foto itu, ya?"
"Tidak, aku tidak cemburu," jawabku sambil menghentakkan kakiku.
"Aku yakin kamu cemburu Tiara." Alif mengolokku lagi sambil tertawa.
***
Dering ponsel, menghentikan aktivitasku mengepel lantai. Aku bergegas ke kamar mengambil benda pipih itu. Ada tiga panggilan tak terjawab dari Adi. Aku segera menghubungi sepupuku itu kembali.
Syukurlah, Adi segera menjawab teleponku. Dia bertanya mengenai keadaanku di Jakarta, kemudian memberi kabar bahwa aku harus pulang ke Cilimus.
"Memangnya, ada Apa Di? Kok acaranya mendadak? Tidak terjadi apa-apa 'kan di sana?" Perasaanku mulai tidak enak.
"Tidak ada apa-apa, Emak dan Bapak Teh Tiara alhamdulillah sehat. Hanya saja ada hal yang ingin didiskusikan dengan Teteh."
"Alhamdulillah, kalau Emak dan bapak sehat." Aku mengembuskan napas lega. "Memangnya  hal itu tida bisa disampaikan lewat telepon?"
"Kata Uwak, kurang enak kalau ngobrol di telepon. Beliau ingin langsung berbicara dengan Teteh."
"Baiklah, Teteh minta izin dulu ke Bang Alif."
"Iya Teh, semoga Teteh bisa secepatnya ke sini."
Aku mengaminkan pernyataan Adi, lalu berpamitan padanya untuk mengakhiri telepon.
Setelah aktivitas membersihkan rumah selesai aku segera menelepon Alif. Sayangnya, Alif tidak kunjung mengangkat panggilanku.
Aku berniat mengirim pesan lewat chat, tetapi notipikasi chat masuk dari Alif mengurungkan maksudku.
"Aku sedang rapat. Chat saja ya!"
"Aku izin pulang ke Cilimus, sekarang." Aku mengirimkan emoji tangan terlipat.
"Tunggu sebentar, Â setelah rapat selesai, aku akan mengantarmu pulang." Chat dari Alif membuat binar di kedua mataku.
Aku berbaring di kasur sambil memeluk ponsel.Berulang kali aku membaca chat dari Alif. Ternyata Alif bersedia meluangkan waktunya untuk mengantarku pulang. Semua hal yang telah Alif lakukan tiba-tiba terbayang jelas dalam ingatan. Aku tersenyum, bunga-bunga bermekaran di dalam dada.
(Bersambung ....)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI