"Kalau kamu bercerita sudah mempunyai tunangan, mungkin aku tidak akan ikut bersamamu ke Jakarta."
"Lalu, kalau tidak ikut ke Jakarta kamu akan apa?"
"Aku ...." Â Aku tak mampu melanjutkan kata-kataku.
"Kamu dan aku tidak bisa berbuat apa-apa, bukan? Aku sudah ikhlas dengan pernikahan ini. Aku yakin semua yang telah terjadi sudah ada dalam sekenario Allah. Jadi, tolong kamu jangan mengungkit masa laluku, begitu pun aku tidak akan mengungkit masa lalumu," jelas Alif.
Aku takjub dengan perkataan Alif. Ternyata kalimat yang keluar dari orang yang tinggi ilmunya sungguh bijaksana. Namun, rasa bersalah kini benar-benar membuat dadaku sesak.
"Baiklah, aku minta maaf atas yang terjadi pada hubungan kalian berdua. Di mana tunanganmu, sekarang?"
"Tiara, bukankah aku sudah bilang, jangan mengungkit masa lalu lagi!" Suara Alif terdengar meninggi.
Aku terhenyak. Baru kali ini Alif membentakku.
A ... ku tidak bermaksud menyinggungmu. Aku hanya merasa banyak berhutang budi padamu. Aku tidak tahu dengan cara apa bisa membalas semua kebaikanmu." Akhirnya aku berhasil mengutarakan seluruh perasaanku.
"Baik, kamu ingin membalasnya?" Alif beringsut mendekatiku.
Detak jantungku kembali terpacu lebih cepat. Aku tak mampu menguasai diriku lagi. Posisi kami, kini saling berhadapan. Aku memejamkan mata, saat wajah Alif semakin mendekat.