Kabur di Malam Pernikahan
Part 11
"Tiara, kamu nggak bisa tidur, ya?" tanya Alif.
"Jangan-jangan dari tadi, kamu mengintip, ya Bang? Dasar cowok mesum!"
"Tadi, Â aku mendengar suara langkah kaki di dapur. Â Aku yakin itu pasti kamu. Soalnya di rumah ini hanya ada dua orang, aku dan kamu," jelas Alif sambil menunjuk ke arahku.
"Iya, tadi aku ke dapur, mengambil air minum."
"Tuh, makanya jangan suuzan. Lagian ke dapur aja pakek lari segala. Padahal, tadi itu aku udah mimpi indah. Kalau takut, kamu bisa minta tolong aku. Jangankan ke dapur ke kamar mandi aja aku anterin."
"Ish, siapa yang takut sih?"
"Bener, kamu nggak takut. Minggu kemarin tetangga rumah ini ada yang meninggal karena kecelakaan." Alif semakin menggodaku.
"Jangan nakut-nakutin aku, ya. Nanti aku bilangin sama Bu Merry!"ancamku.
"Bilang aja, siapa takut!"
Aku menimpuk Alif memakai guling. Dia berteriak kesakitan sambil tertawa. Dasar Alif benar-benar menyebalkan.
"Stop-stop, sudah Tiara. Nanti kita mengganggu tetangga."
"Lagian, siapa yang mengganggu tetangga. Dari tadi aku diam saja. Kamu tuh yang teriak pura-pura kesakitan segala." Aku mencebik.
Alif mengangkat tangannya kemudian berkata, "Tiara, sebenarnya aku ke sini ingin menjelaskan kenapa tadi aku pulang telat."
Aku mengangguk, lalu menatap Alif bersiap mendengarkan penjelasannya.
Alif menyampaikan bahwa  tadi ada acara seminar di kampus. Sebagai pemateri terakhir, dia baru bisa pulang sore ditambah jalanan yang macet membuat lelaki itu pulang malam.
"Tiara, sekarang mana ponsel kamu?" tanya Alif.
"Buat apa kamu tanya ponsel aku?" Aku balik bertanya.
Tanpa dipersilakan, Alif mengambil ponselku kemudian mengetikkan sesuatu.
"Nomorku, sudah di-save di ponsel ini. Jadi, kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungi aku." Alif menyodorkan ponsel di hadapanku.
Aku mengambil ponsel sambil mengucapkan terima kasih. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba merasukki hati. Alif itu memang laki-laki yang baik. Tidak seharusnya aku bersikap judes kepadanya.
Setelah Alif meninggalkan kamar, aku menutup pintu dan menguncinya. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri saat teringat cerita Alif tentang tetangga yang baru meninggal karena kecelakaan. Aku menutupi seluruh tubuh dengan selimut sembari komat-kamit membaca doa-doa yang kuhapal, hingga aku terlelap.
***
Suara tukang sayur menghentikanku membersihkan debu-debu yang menempel di lemari. Aku bergegas menuju sumber suara. Tampak sekelompok ibu-ibu yang mengelilingi gerobak sayur.
Aku sedikit risih, saat mereka menghentikan aktivitas tawar menawarnya. Mereka semua memandangku seolah ada hal yang aneh denganku, lalu melanjutkan percakapan dengan tukang sayur. Satu persatu dari mereka mulai meninggalkan tukang sayur sambil membawa belanjaan.
"Mau beli sayur, ya Neng?" Tanya seorang ibu yang masih memilih sayur.
"Iya, Bu," jawabku.
"Panggil Bik Isah saja, Neng. Bibik juga asli dari Sunda. Neng, dari Subang ya?"
"Iya, Bik." Aku mengangguk.
Bik Isah mengajakku ke rumah majikannya. Aku menyanggupi permintaannya, karena kata Bik Isah majikannya sedang tidak ada di rumah. Aku merasa tidak sendirian lagi di Jakarta.
Bik Isah memang ramah dan baik hati. Dia menyodorkan makanan untuk sarapan.
"Ayo dimakan sotonya, Neng!"
"Terima kasih, Bik. Tiara masih kenyang, soalnya tadi pagi sudah sarapan."
"Ini beda Neng, soto buatan Bibik, Cobain ya!" Bik Isah menyodorkan lagi mangkuk soto di depanku.
Sebenarnya aku sudah kenyang, tapi aku tidak enak dengan Bik Isah. Betul juga apa kata Bik Isah, soto buatannya benar-benar enak. Tak terasa isi mangkuk tadi sudah berpindah semuanya ke dalam perutku.
Bik Isah tersenyum melihat tingkahku lalu berkata, "Tuh, apa kata Bibik, sotonya enak, kan?"
"Iya benar Bik, nanti Tiara minta resepnya, ya."
"Sebenarnya, ini resep rahasia keluarga Bibik, tapi buat Neng Tiara Bibik kasih gratis. Biar bang Alif-nya makin sayang."
Aku tersipu malu.
Bik Isah bercerita kalau Alif pemuda yang sangat baik. Dia selalu melihat Alif melewati rumah majikannya untuk ke mesjid. Menurutnya, aku wanita paling beruntung sedunia.
Ah, seandainya Bik Isah tahu tentang kisah pernikahanku. Mana mungin dia akan menyebutku wanita paling beruntung. Pasti wanita yang sudah memasuki usia kepala lima itu akan simpatik pada Alif dan berbalik benci padaku.
"Kalau saja suami Bibik seperti Bang Alif, Bibik simpen di kamar terus," canda Bik Isah sambil tertawa.
"Memangnya, saya bisa kenyang dengan memandang suami terus, Bik?" Aku ikut tertawa.
Hampir satu jam aku berada di rumah majikan Bik Isah. Wanita itu bercerita banyak banyak hal tentangnya. Dari mulai kisah keluarganya sampai alasan dia rela merantau demi mereka. Sementara aku hanya bercerita tentang keluarga inti saja. Bik Isah juga sempat bertanya tentang awal mula pertemuanku dan Alif. Aku hanya menjawab bahwa suamiku itu adalah teman kecilku. Untungnya Bik Isah tidak bertanya lagi lebih jauh.
"Bik, Tiara izin pulang dulu, ya! Soalnya Tiara belum masak untuk makan siang."
"Padahal Bibik masih betah mengobrol dengan Neng Tiara. Ya, sudah kalau mau pulang. Nanti kalau Neng butuh bantuan Bibik, jangan sungkan, ya!"
Aku mengangguk sembari mencium tangan Bik Asih.
***
Aku melanjutkan pekerjaan tadi yang tertunda gegara tukang sayur. Hanya sedikit lagi, tidak butuh waktu lama aku membersihkan lemari yang cukup besar ini.
Aku membuka pintu bagian bawah lemari yang tidak dikunci. Di dalamnya, banyak tumpukan kertas yang masih berserakan. Aku berinisiatif untuk membereskannya.
"Dasar Alif, kertas juga ditumpuk di lemari. Kalau sudah tidak terpakai, kenapa nggak dibuang saja," umpatku sambil menyusun tumpukan kertas agar terlihat lebih rapi.
Mataku terbelalak saat melihat sebuah foto berukuran dompet. Dilihat secara seksama, foto ini jelas bukan Bu Merry ataupun Keyla. Lalu, siapakah perempuan yang ada di foto ini? Mungkinkah dia kekasih Alif? Bisa saja sebelum tragedi pernikahan kami, sebenarnya dia sudah menjalin hubungan dengan seseorang.
Aku berlari ke kamar, lalu menyusupkan wajah di atas bantal. Dadaku terasa panas. Aku benar-benar kecewa pada Alif. Â Mengapa Ia tidak bercerita kalau dirinya sudah mempunyai kekasih?
***
Perlahan aku mulai sadar. Aku menyesal telah menangisi sesuatu yang belum pasti. Bisa saja itu foto murid, teman, atau mantan pembantunya. Ish, mana mungkin pembantu secantik itu. Tuh, kan pasti itu kekasih Alif.
Aku membalikkan goreng ayam dengan malas. Seandainya bukan karena Alif, aku tidak akan memasak hari ini. Bahkan, makan saja aku tak berselera.
Aku menghentikan aktivitas memasak, ketika mendengar ucapan salam diiringi suara pintu yang terbuka. Gegas, aku setengah berlari memburu suara itu sambil menjawab salam. Aku ingin segera memberondong Alif dengan seribu pertanyaan.
"Tiara, bau apa ini?" tanya Alif sambil berlari ke dapur.
Astaghfirullah, aku lupa mematikan kompor! Aku segera berlari ke dapur. Tampak Alif sedang meniriskan ayam goreng yang sedikit gosong.
"Sekarang, aku tahu kalau kamu sangat merindukanku." Alif mendekatiku, sampai tubuhku bersandar di dinding.
"Ti...dak, siapa yang merindukanmu," kilahku.
"Buktinya kamu lebih memilih menemuiku dan membiarkan ayam goreng itu gosong." Mata Alif terlihat sayu. Pandanggannya tepat menembus jantungku.
Bersambung ....
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H