"Terima kasih, Bik. Tiara masih kenyang, soalnya tadi pagi sudah sarapan."
"Ini beda Neng, soto buatan Bibik, Cobain ya!" Bik Isah menyodorkan lagi mangkuk soto di depanku.
Sebenarnya aku sudah kenyang, tapi aku tidak enak dengan Bik Isah. Betul juga apa kata Bik Isah, soto buatannya benar-benar enak. Tak terasa isi mangkuk tadi sudah berpindah semuanya ke dalam perutku.
Bik Isah tersenyum melihat tingkahku lalu berkata, "Tuh, apa kata Bibik, sotonya enak, kan?"
"Iya benar Bik, nanti Tiara minta resepnya, ya."
"Sebenarnya, ini resep rahasia keluarga Bibik, tapi buat Neng Tiara Bibik kasih gratis. Biar bang Alif-nya makin sayang."
Aku tersipu malu.
Bik Isah bercerita kalau Alif pemuda yang sangat baik. Dia selalu melihat Alif melewati rumah majikannya untuk ke mesjid. Menurutnya, aku wanita paling beruntung sedunia.
Ah, seandainya Bik Isah tahu tentang kisah pernikahanku. Mana mungin dia akan menyebutku wanita paling beruntung. Pasti wanita yang sudah memasuki usia kepala lima itu akan simpatik pada Alif dan berbalik benci padaku.
"Kalau saja suami Bibik seperti Bang Alif, Bibik simpen di kamar terus," canda Bik Isah sambil tertawa.
"Memangnya, saya bisa kenyang dengan memandang suami terus, Bik?" Aku ikut tertawa.