Perlahan aku mulai sadar. Aku menyesal telah menangisi sesuatu yang belum pasti. Bisa saja itu foto murid, teman, atau mantan pembantunya. Ish, mana mungkin pembantu secantik itu. Tuh, kan pasti itu kekasih Alif.
Aku membalikkan goreng ayam dengan malas. Seandainya bukan karena Alif, aku tidak akan memasak hari ini. Bahkan, makan saja aku tak berselera.
Aku menghentikan aktivitas memasak, ketika mendengar ucapan salam diiringi suara pintu yang terbuka. Gegas, aku setengah berlari memburu suara itu sambil menjawab salam. Aku ingin segera memberondong Alif dengan seribu pertanyaan.
"Tiara, bau apa ini?" tanya Alif sambil berlari ke dapur.
Astaghfirullah, aku lupa mematikan kompor! Aku segera berlari ke dapur. Tampak Alif sedang meniriskan ayam goreng yang sedikit gosong.
"Sekarang, aku tahu kalau kamu sangat merindukanku." Alif mendekatiku, sampai tubuhku bersandar di dinding.
"Ti...dak, siapa yang merindukanmu," kilahku.
"Buktinya kamu lebih memilih menemuiku dan membiarkan ayam goreng itu gosong." Mata Alif terlihat sayu. Pandanggannya tepat menembus jantungku.
Bersambung ....
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H