Setelah Alif meninggalkan kamar, aku menutup pintu dan menguncinya. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri saat teringat cerita Alif tentang tetangga yang baru meninggal karena kecelakaan. Aku menutupi seluruh tubuh dengan selimut sembari komat-kamit membaca doa-doa yang kuhapal, hingga aku terlelap.
***
Suara tukang sayur menghentikanku membersihkan debu-debu yang menempel di lemari. Aku bergegas menuju sumber suara. Tampak sekelompok ibu-ibu yang mengelilingi gerobak sayur.
Aku sedikit risih, saat mereka menghentikan aktivitas tawar menawarnya. Mereka semua memandangku seolah ada hal yang aneh denganku, lalu melanjutkan percakapan dengan tukang sayur. Satu persatu dari mereka mulai meninggalkan tukang sayur sambil membawa belanjaan.
"Mau beli sayur, ya Neng?" Tanya seorang ibu yang masih memilih sayur.
"Iya, Bu," jawabku.
"Panggil Bik Isah saja, Neng. Bibik juga asli dari Sunda. Neng, dari Subang ya?"
"Iya, Bik." Aku mengangguk.
Bik Isah mengajakku ke rumah majikannya. Aku menyanggupi permintaannya, karena kata Bik Isah majikannya sedang tidak ada di rumah. Aku merasa tidak sendirian lagi di Jakarta.
Bik Isah memang ramah dan baik hati. Dia menyodorkan makanan untuk sarapan.
"Ayo dimakan sotonya, Neng!"