Mohon tunggu...
Empong Nurlaela
Empong Nurlaela Mohon Tunggu... Guru - Guru

Hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Kabur di Malam Pernikahan (Part 7)

24 November 2024   15:42 Diperbarui: 24 November 2024   15:43 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

#Kabur_di_Malam_Pernikahan
#KDMP
Oleh: Empong Nurlaela

Part 7

Aku menghela napas lega. Tidak ada apapun di depan mobil. Untung,  kendaraan lain di belakang cukup jauh, kalau berdekatan aku tak mampu membayangkan apa yang akan terjadi.


"Kamu itu apa-apaan sih Bang, bahaya tahu!" Aku mengerucutkan bibir sembari memegangi dada yang masih berdebar.


"Maaf ... soalnya rumah makan pavorit aku kelewat sedikt,"  ujarnya dengan wajah tanpa dosa.


"Ya, jangan berhenti mendadak dong, Bang! Ini bisa mencelakakan orang!" desisku.


"Iya, tenang. Lagian tadi aku liat dulu kondisi di belakang. Maaf ya! udah membuat kamu jantungan!" Alif tersenyum, kemudian memutar kemudi.


"Iya, aku maafin, tapi kalau aku teh mati di sini bagaimana?"


"Ya ga gimana-gimana paling jadi arwah penasaran." Alif terkekeh.


"Biarin, nanti aku datang nakutin kamu." Aku tertawa lepas.


"Itu tandanya penasaran. Soalnya belum ngerasain ....," ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata.


Ih dasar Alif bercandanya kelewatan. Sayang ... gulinya disimpan di bagasi.


Mobil berhenti di depan rumah makan 'Bakakak Abah'. Alif mengajakku ke luar mobil untuk makan siang. Ingin rasanya menolak karena aku tidak berselera untuk makan, tapi bunyi di perutku tidak bisa diajak kompromi.


Dengan langkah gontai tak bersemangat, aku mengikuti Alif menuju rumah makan. Tampak, seorang pria paruh baya sedang memanggang bakakak ayam sembari mengipasinya. Aroma khas bakakak menguar, membuat cacing dalam perutku meronta-ronta minta makan. Seorang wanita paruh baya, menyambut Alif dengan ramah. Terlihat mereka berbincang akrab. Wanita itu tersenyum ke arahku, lalu mempersilakan duduk.
Aku memilih duduk di tikar khas lesehan dengan meja pendek berbentuk lingkaran, sepertinya cukup nyaman jika dipakai menyantap makanan.


Satu buah bakakak yang telah dipotong-potong menjadi beberapa bagian terhidang di meja. Seorang perempuan muda berhijab modis membawa dua buah cobek berisi karedok leunca dan rujak kacang panjang. Kedua makanan itu membuat salivaku hampir menetes.
Aku makan dengan lahapnya. Sudah beberapa hari aku kehilangan selera makan, karena beban pikiran. Karedok leunca dan rujak kacang membuatku menyendok nasi kembali.


Sekilas aku melirik Alif. Dia tersenyum melihat tingkahku. Aku tak peduli dengan apa yang dia pikirkan. Aku pura-pura cuek sembari melanjutkan makan.


Setelah selesai makan dan membayar, kami pamit kepada pemilik rumah makan untuk melanjutkan perjalanan.


Mobil Alif kembali membelah jalanan. Aku mengambil tisu di dashboard mobil, lalu mengelap wajah yang basah oleh keringat.


"Kamu kapan sakitnya tahu-tahu udah mamayu (napsu makan setelah sembuh)?" Alif membuka percakapan sambil terkekeh.


Senang amat Alif membercandaiku. Pake menyebut mamayu lagi. Mungkin dia tahu kata itu dari omanya.


"Iya, kemarin aku sakit. Sakitnya di dalam sini," jawabku asal sambil memegangi dada.


Alif kembali terkekeh.


Perutku benar-benar kenyang. Makanan tadi memang pas dijadikan menu makan siang dengan cuaca panas. Pantas Alif rela putar balik.


Karena kekenyangan, mataku menjadi berat. Alunan lagu Sepanjang Hidup milik Maher Zain yang diputar Alif solah-olah mengantarku untuk menyapa mimpi kembali.
***
"Tiara bangun! Kalau nggak bangun aku bopong nih!"


Aku terkejut langsung membuka mata.
"Di mana kita?"


"Kita sudah sampai di rumah, ayo kita turun! Bunda dan Keyla pasti sudah menunggu lama."


Mendengar ucapan Alif, aku diam terpaku. Kakiku seolah-olah berat untuk melangkah. Aku tidak sanggup berhadapan langsung dengan Ibunya Alif.
Lewat kaca mobil, tampak rumah berukuran cukup besar bergaya minimalis. Di halaman depan terdapat beberapa macam tanaman yang cukup terawat.


Seorang gadis berhijab lebar menyambut ramah sembari membuka pintu mobil. Mungkin dia Keyla, adiknya Alif yang dulu pernah diajak  bermain olehku dan abangnya, ketika masih kecil. Dia mengucapkan salam sambil mencium tanganku. Aku semakin gugup diperlakukan seperti itu.
Keyla menuntunku keluar dari mobil. Aku menurut seperti kebau yang dicocok hidung.  


Baru tiga langkah berjalan, kakiku kembali tertahan melihat Bu Merry menyambut di ambang pintu. Beliau melihatku dari atas sampai ke bawah. Debaran jantungku tiba-tiba menggila, mencoba menerka-nerka apa yang ada dipikiran wanita keibuan itu.


Setelah sampai di depan pintu aku mengucapkan salam, kemudian mencium punggung tangan Bu Merry. Beliau menjawab salam dan mempersilakan masuk.


Aku menoleh ke belakang menunggu Alif. Tampak, dia sedang menjinjing nanas oleh-oleh dari Subang. Keyla melepaskan tanganku, lalu setengah berlari menghampiri kakaknya.


"Asyik ... nanas!" serunya dengan mata berbinar.
Alif memberikan nanas pada Keyla, kemudian mencium punggung tangan Bundanya. Bu Merry memeluk Alif sembari mengusap lembut kepala putranya.


"Sabar ... ya, Bang!" ucapnya sambil menyeka air mata.
Ada rasa nyeri di ulu hati mendengar perkataan Bu Merry. Mungkinkah mereka menganggap semua yang terjadi adalah musibah?


Dengan canggung aku meminta izin kepada Bu Merry untuk mengambil koperku di bagasi.Keyla membantuku membawa barang bawaan dari Subang. Bahkan, dia mengantarkanku ke kamar Alif.


Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Kamar bernuansa dan beraroma maskulin. Keyla menunjukkan letak kamar mandi yang masih berada di dalam kamar. Dia memang sangat menyenangkan sehingga menghilangkan kecanggunganku.


"Teh, Keyla bantuin ya  ngemas pakaiannya!"


"Enggak usah Key, biar nanti sama Teteh saja," jawabku sembari duduk di bibir ranjang.


"Teh, ngomong-ngomong kamar ini tadinya agak berantakan. Aku yang beresin," bisik Keyla. "Nanti, jangan aneh ya! kalau kamarnya berantakkan," imbuhnya.


Aku tersenyum menaggapi ucapan Keyla.


"Sebenarnya aku ingin ngobrol banyak dengan Teteh, tapi kasian Tetehnya pasti kecapekan," tuturnya penuh semangat.


"Nggak apa-apa sekarang juga boleh, justru Teteh senang Keyla mau ngobrol sama Teteh."


"Lain kali aja ya Teh,  sekarang aku permisi dulu!  Mau minta si abang buat ngupasin nanas," ujar Keyla sembari berdiri sepertinya hendak beranjak keluar kamar.


Aku menarik tangan Keyla. "Biar Teteh saja yang ngupasin nanasnya." Aku ikut berdiri.


Keyla terlihat semringah. Dia menuntunku keluar kamar menuju dapur.
Aku mulai mengupas nanas, setelah Keyla memberikan pisau dan telenan. Sekilas aku melihat Keyla yang sepertinya sangat antusias melihatku mengupas nanas. Terdengar decak kagum dari bibir gadis berkulit putih itu.


"Teteh pintar banget ngupasin nanasnya," pujinya.

"Teteh ini 'kan dari kampung sudah biasa ngupasin nanas," jawabku jujur.


Tanpa ragu Keyla mengambil nanas yang sudah ku potong-potong, kemudian mencicipinya.


"Manis Kak. Seger lagi," ucapnya sambil memejamkan mata.


"Iya manis, soalnya nanas si madu," jawabku senang melihat aksi Keyla.


Keyla mengajakku ke ruang tengah sembari membawa piring berisi nanas. Sebenarnya aku ingin menolak ajakan Keyla dan memilih kembali ke kamar untuk beristirahat. Namun, melihat antusias Keyla aku jadi tak enak hati, jika menolak ajakannya.


Lagi dada ini berdesir ketika berhadapan dengan Bu Merry. Entah mengapa rasanya kakiku tidak menapak di lantai.

"Abang, Bunda, cicipi nih nanasnya manis banget." Keyla meletakkan piring di meja dan mentunku duduk di sofa samping Alif.
Aku meremas ujung kerudung mencoba mengurangi kegugupan.


"Kalian sudah makan belum?" tanya Bu Merry membuka percakapan.


"S-sudah Bu, tadi di jalan," ucapku terbata.


"Hus! Kalau di jalan kita udah ketabrak dong!" kelakar Alif.


Keyla tertawa mendengar candaan Alif sementara aku semakin kikuk di hadapan Bu Merry.


"Nanti bakda Ashar, abang ke rumah Pak RT ya Bun, buat laporan untuk Tiara," ucap Alif sembari mengambil nanas di piring.


Bu Merry mengaguk tanda setuju.


"Oh iya, Bunda sudah pesan catering untuk besok syukuran pernikahan kalian. Rencananya bunda akan mengundang ibu-ibu pengajian sekitar komplek ini untuk salawatan. Bagaimanapun tetangga harus dikasih tahu biar tidak menimbulkan fitnah," jelas Bu Merry.


"Iya Bun. Makasih ya!" ucap Alif.


"Abang, awas jangan diabisin," renggek Keyla melihat Alif mengambil kembali nanas.


"Tenang ... masih ada sisa dua potong lagi." Alif mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf  V.
Aku tersenyum melihat tingkah mereka.
***
 Matahari mulai kembali ke peraduan. Sayup terdengar suara Adzan Maghrib. Alif sudah izin pergi ke mesjid dari tadi. Gegas aku mengambil air wudu, lalu menggelar sejadah di samping ranjang.
Suara ketukan di daun pintu, membuatku urung memakai mukena. Tampak Keyla sudah memakai mukena, ketika aku membuka pintu.


"Teh, sekarang salat nggak?" tanya Keyla. Mungkin dia memastikanku dalam keadaan suci.


"Baru saja Teteh mau salat," ucapku sambil menunjuk ke arah sejadah


"Untung Teteh belum salat. Kiblatnya bukan sebelah situ Teh."


"Oh, Teteh kira sebelah situ, Teteh tadi lupa nanyain dulu," ucapku sembari tersenyum menutupi rasa malu.
Keyla mengajakku ke musala kecil di sebuah kamar yang disekat dengan ruangan mirip perpustakaan. Tampak Bu Merry sudah duduk di atas sejadah menghadap kiblat. Sepertinya beliau menunggu kami.


Lantunan ayat suci yang dilafalkan Bu Merry dalam salat terdengar sangat merdu dan fasih. Aku mengikuti setiap geraka wanita yang ditaksir berusia 50 tahun itu. Sejuk menyelusup memenuhi ruang kalbu. Tiba-tiba air mata luruh bersama doa-doa setelah salat yang dipanjatkan Bu Merry. Padahal aku tak tahu arti doa berbahasa arab itu.


Setelah selesai salat sunat bakda Maghrib, Keyla mencum tanganku dan Bu Merry. Aku pun mengikuti mencium tangan wanita yang masih cantik walaupun sudah mulai berkeriput itu.


Aku bangkit berdiri hendak beranjak dari Musala. Namun, Keyla menarik tanganku. Aku duduk kembali dengan perasaan tak karuan. Entahlah rasanya tak nyaman berhadapan dengan Bu Merry. Tanpa disangka Bundanya Alif itu mengambil Alquran di lemari kecil dan memberikannya padaku. Jantungku terpompa lebih cepat.


 Apakah aku akan dites membaca Alquran? Apakah ini sebuah ujian bagi menantu baru? Kalau memang benar, tamatlah aku.
(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun