Part 5
Dengan sedikit mengentakkan kaki, aku pun melangkah ke ruang tengah. Tampak Alif duduk bersila, berdampingan dengan Bapak di atas tikar. Emak dan Bik Nenih sibuk menyiapkan makanan.
“Mak, ada yang bisa Tiara bantu?” Aku menawarkan diri meringankan pekerjaan Emak.
“Wios Yok, duduk wae tuh di samping si Abang,” sahut Emak sembari meletakkan piring-piring di tengah tikar.
Alif melirik ke arahku. Bibir tipisnya mengukir senyum. Dia melambaikan tangan dan memberi isyarat, agar aku duduk di sampingnya.
“Maafkan kami Bang, sarapannya hanya nasi dan lauk kampung seadanya,” ucap Emak sembari duduk di samping Bapak.
“Nggak apa-apa, Mak. Saya justru lebih suka makan dengan asin dan lalapan.” Jawaban Alif sepertinya basa-basi haya untuk menyenangkan hati wanita yang melahirkanku itu.
“Mak, Bik Nenih sama Mang Kardi mana?” Aku celingukan ke arah pintu dapur.
“Mereka juga lagi berjamaah makan bersama tetangga yang membantu membereskan bekas hajatan,” tukas Emak sembari menyendok nasi ke dalam piring, lalu menyodorkannya di depan Bapak.
“Yok, hayo atuh dialas si Abangna,” titah Bapak
Aku menyendok nasi, lalu meletakkan piring di depan Alif.
“Terima kasih,” ucapnya.
Aku mengaguk pelan.
Tanpa canggung Alif mengambil pepes ikan dan meletakkannya di piring kosong. Benar saja, dia makan dengan lahap. Bahkan, pepes ikan yang menurutku berukuran besar nyaris tandas.
“Oyok, hayu atuh makan teh, malah lihatin si Abang terus,” desis Emak di sela-sela sarapan.
“I-iya, Mak.” Aku menunduk, lalu menyuapkan nasi ke mulut.
Ih, Emak … kalau ngomong nggak mikirin perasaan anak. Aku ‘kan jadi malu, ketahuan sedang memandang Alif. Nanti dia geer lagi.
***
Setelah sarapan, Bapak mengajak Alif ke ruang tamu untuk berbincang, sedangkan aku membantu Emak mencuci piring di bak pencucian dekat dapur.
“Yok, kamu dipanggil Bapak ke depan. Piringnya, biar Emak yang ngalanjutken cuci.” Emak mengambil piring dari tanganku.
“Jangan ah, Mak. Kata Emak ‘kan pamali pekerjaan dilanjutin orang.” Aku mengambil piringnya kembali,
Emak terkekeh.
“Sejak kapan, Oyok jadi percaya tahayul. Biasanya selalu ngelawan.” Emak mencibir. “Ah, Emak tahu, pasti oyok takut nya si Abang direbut orang. Secara si Abang itu ganteng pisan.” Wanita paruh baya itu semakin menjadi menggodaku.
“Ih, Emak . Tiara nggak percaya dinasehatin. Sekarang, giliran Tiara percaya, Emak ngetawain.” Aku mengerucutkan bibir.
Aku heran sama Emak. Apa beliau terkena amnesia, sehingga lupa peristiwa kemarin?
“Yok, itu busa nempel di pipi. Makanya jangan sambil melamun atuh. Nanti piringnya pecah.”
Aku mengusap wajah. Benar juga ada busa yang menempel.
“Sudah beres nih, Mak. Tiara ke depan dulu, Ya!”
Emak mengaguk, sembari menggandeng tanganku menuju ruang depan.
Sampai di sana, tampak Bapak dan Alif sedang berbincang penuh keakraban. Sesekali aku melihat senyum menghiasi keduanya. Kejadian kemarin, sepertinya sudah terhapus dalam memori mereka. Padahal bagiku, peristiwa itu tak hanya mengukir sejarah, melainkan menorehkan luka di hati dan malu pada banyak pasang mata yang menjadi saksi.
Kadang timbul buruk sangka pada Emak dan Bapak. Mungkinkah mereka baik sama Alif, karena keluarganya orang berada? Entahlah, sampai saat ini rasa kecewaku terhadap Bapak masih membekas.
“Sini atuh, Yok. Jangan berdiri wae di situ!” Bapak melambaikan tangannya.
“Nggak tahu kenapa, Pak. Dari tadi si Oyok melamun terus,” imbuh emak sambil duduk di samping Bapak.
“Jangan ngalamun atuh, Yok. Pan sudah ngalaman,” ujar Bapak sambil terkekeh.
Alif melempar senyum ke arahku. Aku balik mencebiknya.
“Sok, atuh Bang … tadi katanya ada yang ingin disampaikan.” Bapak menepuk punggung Alif.
“Begini, Pak … Mak … saya mohon izin untuk membawa Tiara ke Jakarta. Kebetulan saya hanya izin secara lisan lewat ponsel pada pihak kampus.” Alif menautkan kedua tangannya. Dia menoleh ke arahku seolah-olah meminta persetujuan.
Bapak mengambil muk berisi air teh di atas meja, lalu meneguknya.
“Kalau kata Bapak mah, Oyok teh sudah hak si Abang. Mau dibawa ka mana wae oge, Bapak mah nggak akan menghalangi.” Bapak berdehem, kemudian melanjutkan ceritanya. “Istilah sundanya, mau dibawa ke liang cocopet (lubang kecil) ge eta mah terserah si Abang.”
“Bapak titip Oyok. Dia teh putri Bapak satu-satunya. Tolong, jaga dan bahagiakan Oyok, Bang!” Netra Bapak tampak berkaca.
Panjang lebar Bapak menasehati aku dan Alif. Ada rasa perih tanpa luka di dalam dada. Kecewa masih bersemayam dalam sukma. Namun, aku yakin kasih laki-laki berusia lima puluh tahunan itu masih sama seperti dulu.
“Kumaha Oyok mau tidak dibawa ka Jakarta?” tanya Bapak.
“T-Tiara –“
“Ya, jelas mau atuh si Oyok mah, tadi bilang sama Emak,” Emak memotong jawabanku.
“Kapan, Tiara bilang sama Emak?” Aku mengernyitkan dahi.
“Tadi waktu cuci piring. Kamu mah pelupa.” Emak menepuk punggungku.
Perasaan … aku tidak pernah bilang, ingin ikut ke Jakarta.
“Ya, sudah kalian siap-siap, Bapak dan Emak mau menyapa dulu tetangga yang ikut bantu-bantu.” Bapak bangkit dari kursi, kemudian keluar diikuti oleh Emak.
Di ruang depan, kini hanya tersisa aku dan Alif dalam bisu. Kami saling mengeja kata lewat mata yang saling bertemu.
“Ehem, katanya mau ikut, ayo siap-siap nanti keburu siang.” Alif memecah beku di antara kami.
Aku bangkit dari kursi, kemudian masuk ke kamar. Menyadari ada yang mengikuti, aku menoleh. Tampak, Alif di belakang menyugingkan senyum.
“Mau ngapain ke kamar?” tanyaku sedikit jutek.
“Mau bantuin packing, siapa tahu butuh bantuan.”
“Nggak, aku bisa sendiri.”
“Bener nih … kali aja banyak pakaian ganti yang dibawa. Orang semalam tiga lapis,” timpal Alif sembari menaikkan alis sebelah.
“Mau ditimpuk lagi nih.” Aku mengambil guling.
“Assalamu’alaikuum”
“Waa’laikumsalaam” Aku dan Alif menjawab salam berbarengan.
Gegas aku ke depan membuka pintu.
“Oma, silakan masuk!”
“Si Abang mana, Yok?” Oma Nenah celingukan.
“Iya Oma.” Tampaknya Alif mendengar percakapan kami. Buktinya dia bergegas menemui omanya.
“Bang, ini Oma bawa kado yang buat Oyok.” Oma Nenah memberikan kantong kresek berisi kado kepada Alif.
Alif mengaguk, kemudian mengambil kantong kresek tersebut dari tangan Oma Nenah.
Aku menunduk kikuk. “Silakan duduk, Oma!”
“Ngaak usah, Oma mau nunggu di luar wae sama Bapak dan Emakmu. Jam berapa berangkatnya, Bang?”
“Rencananya jam delapan,Oma. Ini Abang bantu-bantu Tiara dulu,” jawab Alif.
Oma Nenah pamit menunggu di luar. Gegas aku ke kamar kembali.
“Ini … kado spesial dari temanmu yang ganteng ini.” Alif memberikan kantong kresek dari Oma Nenah. “Terima kasih ya sudah berkenan mengundang,” Imbuhnya sambil membungkukkan badan, lalu duduk di bibir ranjang.
Diam-diam dalam hati, aku memuji Alif. Dia pandai mencairkan suasana, membuat aku tak canggung bersamanya.
“Terima kasih kembali kadonya temanku yang gan…” Aku tersenyum sambil mencebik.
“Kok, nggak dilanjutin?”
“Nyangkut di pohon gantengnya, ambil sendiri!” jawabku asal.
“Nyindir nih …”
Ups! Aku jadi ingat. Waktu kecil Alif tidak bisa memanjat. Dia selalu menyuruhku untuk memanjat buah jambu milik Omanya.
“Masih suka manjat, nggak?” Alif balik bertanya.
“Enggak lah, tapi kalau disuruh manjat aku masih bisa,” jawabku sambil mengangkat tangan kanan membentuk siku-siku.
“Manjat lagi, gih. Nanti aku poto lalu di-upload ke dunia maya biar viral. Ada gadis cantik pintar manjat pohon kelapa.”
Mendengar kata gadis cantik, aku jadi urung memarahi alif. Aku berbalik salah tingkah. Tak sadar gigiku menggigit ujung kerudung.
“Atau mau manjat aku saja,” imbuh Alif sambil mengedipkan mata.
“Ih, dasar ngeres. Mau aku timpuk lagi nih.” Aku kembali mengambil guling.
Alif gegas bangkit dari ranjang.
Aku menutup mulut , menahan tawa. Ternyata Alif takut sama guling.
“Ya sudah, aku keluar dulu ya, isi kadonya kalau bisa dipake buat ketemu Bunda!”
“Huum.” Aku mengaguk.
Setelah menutup pintu, gegas aku membuka kado dari Alif. Dengan gemetar aku menyobek kertas kado bermotif batik.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H