“Jangan ngalamun atuh, Yok. Pan sudah ngalaman,” ujar Bapak sambil terkekeh.
Alif melempar senyum ke arahku. Aku balik mencebiknya.
“Sok, atuh Bang … tadi katanya ada yang ingin disampaikan.” Bapak menepuk punggung Alif.
“Begini, Pak … Mak … saya mohon izin untuk membawa Tiara ke Jakarta. Kebetulan saya hanya izin secara lisan lewat ponsel pada pihak kampus.” Alif menautkan kedua tangannya. Dia menoleh ke arahku seolah-olah meminta persetujuan.
Bapak mengambil muk berisi air teh di atas meja, lalu meneguknya.
“Kalau kata Bapak mah, Oyok teh sudah hak si Abang. Mau dibawa ka mana wae oge, Bapak mah nggak akan menghalangi.” Bapak berdehem, kemudian melanjutkan ceritanya. “Istilah sundanya, mau dibawa ke liang cocopet (lubang kecil) ge eta mah terserah si Abang.”
“Bapak titip Oyok. Dia teh putri Bapak satu-satunya. Tolong, jaga dan bahagiakan Oyok, Bang!” Netra Bapak tampak berkaca.
Panjang lebar Bapak menasehati aku dan Alif. Ada rasa perih tanpa luka di dalam dada. Kecewa masih bersemayam dalam sukma. Namun, aku yakin kasih laki-laki berusia lima puluh tahunan itu masih sama seperti dulu.
“Kumaha Oyok mau tidak dibawa ka Jakarta?” tanya Bapak.
“T-Tiara –“
“Ya, jelas mau atuh si Oyok mah, tadi bilang sama Emak,” Emak memotong jawabanku.