“Sejak kapan, Oyok jadi percaya tahayul. Biasanya selalu ngelawan.” Emak mencibir. “Ah, Emak tahu, pasti oyok takut nya si Abang direbut orang. Secara si Abang itu ganteng pisan.” Wanita paruh baya itu semakin menjadi menggodaku.
“Ih, Emak . Tiara nggak percaya dinasehatin. Sekarang, giliran Tiara percaya, Emak ngetawain.” Aku mengerucutkan bibir.
Aku heran sama Emak. Apa beliau terkena amnesia, sehingga lupa peristiwa kemarin?
“Yok, itu busa nempel di pipi. Makanya jangan sambil melamun atuh. Nanti piringnya pecah.”
Aku mengusap wajah. Benar juga ada busa yang menempel.
“Sudah beres nih, Mak. Tiara ke depan dulu, Ya!”
Emak mengaguk, sembari menggandeng tanganku menuju ruang depan.
Sampai di sana, tampak Bapak dan Alif sedang berbincang penuh keakraban. Sesekali aku melihat senyum menghiasi keduanya. Kejadian kemarin, sepertinya sudah terhapus dalam memori mereka. Padahal bagiku, peristiwa itu tak hanya mengukir sejarah, melainkan menorehkan luka di hati dan malu pada banyak pasang mata yang menjadi saksi.
Kadang timbul buruk sangka pada Emak dan Bapak. Mungkinkah mereka baik sama Alif, karena keluarganya orang berada? Entahlah, sampai saat ini rasa kecewaku terhadap Bapak masih membekas.
“Sini atuh, Yok. Jangan berdiri wae di situ!” Bapak melambaikan tangannya.
“Nggak tahu kenapa, Pak. Dari tadi si Oyok melamun terus,” imbuh emak sambil duduk di samping Bapak.