“Maksud Bu Sari, saya sudah tidak suci begitu?” desisku.
“Halah, jangan sok lugu kamu! yang namanya kabur dengan lelaki lain, perempuan apa namanya?” sidirnya.
“Oyok putriku, tidak serendah itu, Sari!” hardik Bapak.
“Maaf Pak, Bu … Tiara tidak kabur dengan saya. Dia hanya menumpang mobil saya yang kebetulan lewat.” Tiba-tiba Alif memberikan penjelesan. Semua mata mengarah padanya.
“Oh, mana mungkin bisa kebetulan seperti itu. Pasti ini semua sudah direncanakan kalian. Secara kamu orang kota lebih kaya dari kami.” Bu Sari semakin meracau tak jelas.
“Sudah …sudah, diam kamu Sari!” Pak Sulaeman calon ayah mertuaku menengahi. “Dahri, maafkan kami, tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Tiara kabur, mungkin karena tidak mengharapakan perjodohan ini,” jelas Pak Sulaeman dengan bijak.
“Jika pernikahan ini terjadi, akan berdampak buruk bagi masa depan rumah tangga mereka,” imbuh Pak Sulaeman lagi sambil menepuk bahu Bapak.
***
Setelah kepergian mereka, Bapak terduduk lesu. Wajahnya terlihat kuyu. Ibu sesegukan di sampingnya. Sementara itu, aku hanya mematung dengan dada yang tiba sesak.
Aku memang menginginkan pernikahan ini dibatalkan. Namun, mendung di wajah Bapak dan Emak membuat awan hitam memenuhi ruang rasa.
“Ini semua … gara-gara kamu!” Bapak menunjuk ke wajah Alif. Aku terperangah, tidak menyangka Bapak masih menyalahkan temanku itu.