“Tiara yang Salah Pak. Bukan Bang Alif.” Tangisku pecah kembali.
“Bapak!” Suara pekikkan Emak memanggil Bapak membuat debaran jantungku kembali menggila. Pria yang sangat mencintaiku itu terlihat memegangi dada. Bapak kesulitan bernapas, sepertinya asmanya kembali kambuh. Dengan sigap, Emak mengambil nebulizer dan memberikannya pada Bapak. Bergegas aku menghampiri Bapak yang sedang menggunakan alat peringan asmanya.
Aku merutukki diri sambil memijit punggung Bapak. Air mata tak berhenti mengalir. Seandainya sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada pria bertubuh ringkih itu, maka akulah penyebabnya.
Beruntung, napas Bapak kembali normal. Aku sedikit lega.
“Jang Alif, Bapak mohon menikahlah dengan putri Bapak!” Bapak bersimpuh di depan Alif. Wajah pemuda 25 tahun itu terlihat pucat. Aku menggeleng memberi isyarat. Alif berulang kali mengusap wajah dengan kasar.
Aku tak mengerti dengan keinginan Bapak ini. Bukankah beliau sangat membenci Alif?
“Bapak akan sangat berutang budi, Jika Jang Alif bersedia menikahi Oyok. Bapak tidak akan tahan putri Bapak menjadi bahan gunjingan karena gagal menikah.” Baru kali ini aku melihat air mata Bapak luruh. Itu pun karena aku.
Lagi aku menggeleng. Sekilas Alif menatapku, lalu menunduk.
Ucapan salam Pak Penghulu dan Pak Amil membuat suasana hening. Mang Kardi menjawab salam sembari menemui Pak penghulu. Aku melihat mereka berbicang. Mungkin, pamanku itu sedang menjelaskan pembatalan akad pernikahan.
“Pak … Bu … kami permisi!” pamit Pak Penghulu sambil menangkupkan kedua tangannya.
“Maaf Pak, bisa tunggu sebentar! Saya akan menikahi Tiara.” Kalimat yang diluncurkan Alif membuat semua orang yang hadir terperangah.
Pak Penghulu dan Pak Amil yang hendak berlalu saling menatap. Kemudian, mereka menghampiri kami.