Setelah acara akad selesai, aku mengurung diri di kamar. Aku tak peduli lagi dengan tatapan para tetangga yang masih tersimpan tanya dengan pernikahanku.
Kali ini jiwaku sakit bukan karena perjodohan lagi, melainkan mengingat pengorbanan besar Alif. Aku tak menyangka lelaki baik hati itu akan menjadi pendamping hidupku.
“Arrggh”
Aku memukul guling, lalu menampar pipi berulang kali berharap yang telah terjadi adalah mimpi. Namun, sakit yang dirasakan adalah pertanda, jika semua ini nyata.
Aku tah habis piker, mengapa Bapak memaksa perjodohan ini. Seolah-olah bagi beliau harta adalah kebahagiaanku. Padahal tindakannya ini, justru melemparkanku pada jurang penyesalan.
Beribu seandainya solah-olah hadir mencibir takdir yang menimpaku. Seandainya aku tidak menumpang mobil Alif dan memilih menunggu bus, mugkin dia tidak akan berkorban seperti ini. Seandainya ponselku dimatikan, mungkin Adi tidak akan menemukan jejakku. Seandainya racun tadi berhasil kuminum, mungkin saja aku tengah sekarat atau bisa jadi nyawaku telah tamat.
Ketukan seseorang membuyarkan lamunanku. Dengan sigap aku berbaring, memakai selimut seolah-olah telah tertidur.
Terdengar suara pintu dibuka. Aku memicingkan mata. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang melihat seseorang menghampiriku. Aku begitu salah tingkah. Ingin rasanya lenyap dari muka bumi walaupun sebentar.
Bersambung …
Subang, 29 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H