Part 2
Aku mengambil botol tersebut dengan tangan gemetar.
Kupejamkan mata, lalu … tiba-tiba pukulan seseorang tepat ditangan kananku, membuat botol terlempar cukup jauh. Sontak aku mendongak.
“Bik Nenih,” lirihku sambil mengaduh. Pukulan tadi cukup keras, hingga membuat tanganku sedikit merah.
“Kamu teh mau ngapain, Yok?” hardiknya. “Mau membuat Bapak dan Emakmu menderita?” imbuhnya.
“Tiara sudah tidak tahu harus bagaimana lagi meyakinkan Bapak, kalau Tiara ngga mau dijodohin, Bik.” Aku mengusap wajah yang basah dengan air mata.
“Kamu teh tak perlu meyakinkan lagi, sekarang kamu ikut Bibik ke luar!” Setengah menyeret Bik Nenih menuntunku ke luar kamar.
Di ruang tengah, tampak Bapak sedang berlutut sembari menangkupkan kedua tanggannya di depan calon ibu mertuaku.
”Aku mohon Sari, jangan batalkan pernikahan ini!”
“Iya Mah, jangan dibatalin atuh. Dadang mau nikah sama Tiara,” timpal Dadang dengan wajah memelas. Tingkah culunnya membuatku bertambah muak.
“Diam kamu Dang! Masih banyak gadis di luaran sana yang lebih cantik dari Tiara. Tentunya gadis yang masih suci.” Kalimat terakhir yang diungkapkan Bu Sari membuat jantungku bertalu lebih cepat. Tanganku mengepal berusaha menahan emosi yang memuncak.
“Maksud Bu Sari, saya sudah tidak suci begitu?” desisku.
“Halah, jangan sok lugu kamu! yang namanya kabur dengan lelaki lain, perempuan apa namanya?” sidirnya.
“Oyok putriku, tidak serendah itu, Sari!” hardik Bapak.
“Maaf Pak, Bu … Tiara tidak kabur dengan saya. Dia hanya menumpang mobil saya yang kebetulan lewat.” Tiba-tiba Alif memberikan penjelesan. Semua mata mengarah padanya.
“Oh, mana mungkin bisa kebetulan seperti itu. Pasti ini semua sudah direncanakan kalian. Secara kamu orang kota lebih kaya dari kami.” Bu Sari semakin meracau tak jelas.
“Sudah …sudah, diam kamu Sari!” Pak Sulaeman calon ayah mertuaku menengahi. “Dahri, maafkan kami, tidak bisa melanjutkan pernikahan ini. Tiara kabur, mungkin karena tidak mengharapakan perjodohan ini,” jelas Pak Sulaeman dengan bijak.
“Jika pernikahan ini terjadi, akan berdampak buruk bagi masa depan rumah tangga mereka,” imbuh Pak Sulaeman lagi sambil menepuk bahu Bapak.
***
Setelah kepergian mereka, Bapak terduduk lesu. Wajahnya terlihat kuyu. Ibu sesegukan di sampingnya. Sementara itu, aku hanya mematung dengan dada yang tiba sesak.
Aku memang menginginkan pernikahan ini dibatalkan. Namun, mendung di wajah Bapak dan Emak membuat awan hitam memenuhi ruang rasa.
“Ini semua … gara-gara kamu!” Bapak menunjuk ke wajah Alif. Aku terperangah, tidak menyangka Bapak masih menyalahkan temanku itu.
“Tiara yang Salah Pak. Bukan Bang Alif.” Tangisku pecah kembali.
“Bapak!” Suara pekikkan Emak memanggil Bapak membuat debaran jantungku kembali menggila. Pria yang sangat mencintaiku itu terlihat memegangi dada. Bapak kesulitan bernapas, sepertinya asmanya kembali kambuh. Dengan sigap, Emak mengambil nebulizer dan memberikannya pada Bapak. Bergegas aku menghampiri Bapak yang sedang menggunakan alat peringan asmanya.
Aku merutukki diri sambil memijit punggung Bapak. Air mata tak berhenti mengalir. Seandainya sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada pria bertubuh ringkih itu, maka akulah penyebabnya.
Beruntung, napas Bapak kembali normal. Aku sedikit lega.
“Jang Alif, Bapak mohon menikahlah dengan putri Bapak!” Bapak bersimpuh di depan Alif. Wajah pemuda 25 tahun itu terlihat pucat. Aku menggeleng memberi isyarat. Alif berulang kali mengusap wajah dengan kasar.
Aku tak mengerti dengan keinginan Bapak ini. Bukankah beliau sangat membenci Alif?
“Bapak akan sangat berutang budi, Jika Jang Alif bersedia menikahi Oyok. Bapak tidak akan tahan putri Bapak menjadi bahan gunjingan karena gagal menikah.” Baru kali ini aku melihat air mata Bapak luruh. Itu pun karena aku.
Lagi aku menggeleng. Sekilas Alif menatapku, lalu menunduk.
Ucapan salam Pak Penghulu dan Pak Amil membuat suasana hening. Mang Kardi menjawab salam sembari menemui Pak penghulu. Aku melihat mereka berbicang. Mungkin, pamanku itu sedang menjelaskan pembatalan akad pernikahan.
“Pak … Bu … kami permisi!” pamit Pak Penghulu sambil menangkupkan kedua tangannya.
“Maaf Pak, bisa tunggu sebentar! Saya akan menikahi Tiara.” Kalimat yang diluncurkan Alif membuat semua orang yang hadir terperangah.
Pak Penghulu dan Pak Amil yang hendak berlalu saling menatap. Kemudian, mereka menghampiri kami.
“Bukankah mempelai prianya sudah membatalkan akadnya?”
“Saya yang akan menggantikannya,” ucap Alif sunguh-sungguh.
“Terima kasih, Jang … Nuhun pisan.” Bapak merangkul Alif. Isak Bapak kini terdengar menyayat hati. Entah tangis bahagia atau tangis kesedihan, sungguh aku tidak bisa membedakannya.
“Hentikan! Oma tida setuju!” Semua mata kini mengarah pada sumber suara. “Abang tidak usah mempertanggungjawabkan sesuatu yang tidak Abang lakukan!” imbuhnya.
Secercah harapan kembali menyinari hati. Dengan datangnya Oma Nenah—neneknya Alif bersama Adi, kemungkinan pernikahan ini tidak akan terjadi.
Oma Nenah cukup disegani di kampung kami. Beliau memiliki sawah dan tanah yang luas. Walaupun berada beliau terkenal rendah hati dan dermawan.
Alif mencium tangan Oma Nenah dengan takzim. Kemudian, ia membawa wanita lanjut usia itu jauh dari kami. Aku menatap mereka dari kejauhan. Terlihat pemuda baik hati itu sedang memberikan penjelasan pada neneknya.
Tidak lama kemudian, nenek dan cucu itu menghampiri kami. Oma Nenah memberikan penjelasan kalau beliau menyretujui pernikahan ini.
Aku terperangah kaget. Dugaan akan gagalnya pernikahan ternyata meleset. Namun, sekilas netraku menangkap embun dibalik kaca mata cembung milik Oma Nenah. Mungkinkah sebenarnya beliau tidak setuju dengan pernikahan ini? Sejuta Tanya memenuhi kepala yang kian lelah berfikir, setelah beberapa kejadian tak terduga menimpaku.
***
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Mutiara Ayu Binti Dahri dengan mas kawinnya tersebut dibayar tunai” Kalimat kabul yang diluncurkan Alif dan suara riuh ‘sah’ para saksi bak belati menghunjam hati. Air mataku luruh kembali tak terkendali.
Setelah acara akad selesai, aku mengurung diri di kamar. Aku tak peduli lagi dengan tatapan para tetangga yang masih tersimpan tanya dengan pernikahanku.
Kali ini jiwaku sakit bukan karena perjodohan lagi, melainkan mengingat pengorbanan besar Alif. Aku tak menyangka lelaki baik hati itu akan menjadi pendamping hidupku.
“Arrggh”
Aku memukul guling, lalu menampar pipi berulang kali berharap yang telah terjadi adalah mimpi. Namun, sakit yang dirasakan adalah pertanda, jika semua ini nyata.
Aku tah habis piker, mengapa Bapak memaksa perjodohan ini. Seolah-olah bagi beliau harta adalah kebahagiaanku. Padahal tindakannya ini, justru melemparkanku pada jurang penyesalan.
Beribu seandainya solah-olah hadir mencibir takdir yang menimpaku. Seandainya aku tidak menumpang mobil Alif dan memilih menunggu bus, mugkin dia tidak akan berkorban seperti ini. Seandainya ponselku dimatikan, mungkin Adi tidak akan menemukan jejakku. Seandainya racun tadi berhasil kuminum, mungkin saja aku tengah sekarat atau bisa jadi nyawaku telah tamat.
Ketukan seseorang membuyarkan lamunanku. Dengan sigap aku berbaring, memakai selimut seolah-olah telah tertidur.
Terdengar suara pintu dibuka. Aku memicingkan mata. Jantungku tiba-tiba berdegup kencang melihat seseorang menghampiriku. Aku begitu salah tingkah. Ingin rasanya lenyap dari muka bumi walaupun sebentar.
Bersambung …
Subang, 29 Mei 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H