Mohon tunggu...
Empi Muslion
Empi Muslion Mohon Tunggu... Administrasi - pengembara berhenti dimana tiba

Alang Babega... sahaya yang selalu belajar dan mencoba merangkai kata... bisa dihubungi : empimuslion_jb@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber 2] Denting Biola Hitam

27 November 2015   15:56 Diperbarui: 27 November 2015   15:56 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Empi Muslion, No.9 

 

Keluar dari rumah sakit.

Tubuhku lumayan segar, walau kadang migren dan tukak lambung ku sering kambuh. Aku sekarang hidup sebatang kara, sepeninggal ayah, aku hidup terlunta-lunta, rumah ayahku yang terbakar, sudah rata dengan tanah, tanahnya di jual oleh Kepala Desa Sadikin kepada calo tanah, sekarang sudah berdiri super market mewah di tanah penuh nostalgiaku itu.

Aku pergi dari rumah Mbok Minah, tak sanggup aku menghadapi ulah polah mereka. Aku pergi ke desa lain, aku menumpang dirumah Mbak Desia adik perempuan ayahku, aku membantunya membuat kue basah untuk di jual di pasar tradisional.

Aku sering melamun, jiwa ragaku belum sanggup berpisah dengan ayah.

Aku ingat ayah.

Betapa sayang dan perhatiannya ayah kepadaku, siang malam ayah bekerja membanting tulang, setiap malam beliau tega bergadang karena menjadi satpam bagi nyamuk yang banyak di kamarku, ayah tak pernah berhenti menyelimutiku, karena memang tidurku yang suka gelisah.

Suatu ketika, saat usiaku menanjak dewasa, ayah pernah bercerita tentang ibu, aku lihat wajah ayah begitu sendu, garang raut mukanya lebur, meredam air mata yang terpendam.

“Sukma, kesinilah nak,”

Ayah merangkulku, dan aku berada dalam pangkuannya yang sangat hangat.

“Sukma,” ayah menatapku dengan perasaan dalam.

“Wajahmu mirip sekali dengan ibumu,” 

Aku kaget seketika, tak biasanya ayah berbicara tentang ibu. Karena selama ini setiap kali aku menanyakan ibu, beliau selalu diam membisu, wajahnya melangsa, pana. Pernah suatu waktu, aku bertanya tentang ibu, beliau tergagap dan menjawab dengan senyum yang dipaksakan, keluar sepatah kalimat, “Ibumu nak sudah bahagia dialam Sorga.” Sejak itu aku tak pernah lagi menanyakan  tentang ibu kepada ayah.

Tapi mengapa hari ini, ayah bercerita tentang ibu ?

“Sukma”

Ayah kembali menyebut namaku dengan suara berat.

“ Ayah tak tahu, seperti ada pertanda yang tak enak dihati ayah, cepat atau lambat ayah pasti akan menemui ibumu, ajal ditangan Tuhan. Karena itu, sudah waktunya ayah berbagi kisah denganmu nak.

“Ayah berpisah dengan ibumu, saat kau terlahir kemuka bumi. Dulu ibumu adalah bunga desa, banyak kumbang desa yang jatuh cinta pada ibumu, tetapi  ayah juga tidak tahu kenapa ayah yang bisa mendapatkan ibumu. Salah seorang yang tergila-gila pada ibumu, adalah anak wedana.”  

Ayah menarik nafas dalam-dalam, kulihat matanya jauh menerawang, ayah melanjutkan kisahnya.

“Saat hari kelahiranmu, cuaca mendung, awan bergumpal-gumpal, petir dan kilat bersahutan. Ayah melihat banyak sekali kain kafan yang telah usang bercampur darah, melayang layang diberanda rumah, bau bangkai dan menyan begitu menyengat.” Suara ayah tercekat, ayah berusaha menguatkan dirinya untuk terus bercerita.

“Ayah memegang Ibumu, tapi semakin ayah memegang ibumu, semakin keras tangan-tangan berkuku panjang menarik tangan ayah. Air ketuban Ibumu sudah pecah, ayah sekuat tenaga menggendong ibumu kerumah dukun beranak.” Ayah terdiam, lalu ayah mengambil kain sarung yang dipakainya, diusapkan kekeningku yang mulai basah oleh keringat. Lalu ayah kembali bercerita.

“Sambil berjalan sempoyongan di pematang sawah, ayah melihat kepala-kepala tanpa tubuh menyiringai, isi perut yang terjuntai-juntai, ada tengkorak yang bermata besar, ada mulut besar yang bertaring ular, menghalang-halangi ayah menuju rumah nenek dukun beranak. Ayah terus berjalan tanpa menghiraukan apa yang terjadi, ayah anggap semua adalah halusinasi. Saat hampir tiba dirumah dukun beranak, rumahnya berada dipinggir sungai, yang ditumbuhi semak belukar, ayah kehabisan tenaga, ayah merasa kaki ayah diliit-lilit oleh kain kafan usang yang berlumur darah, ayah jatuh kelembah sungai, ibumu tergolek tak berdaya diatas tebing.”

Kami saling terdiam, kain sarung ayah telah basah oleh air mataku, ingin aku berteriak sekuatnya, ingin berlari membelah malam mencari ibu, tetapi kekarnya tubuh ayah, sedikit menenangkanku sambil bersandar di bahunya.

“Setelah itu, ayah tidak tahu lagi apa yang terjadi. Ayah mendapat cerita dari Mbok Minah, bahwa kamu diselamatkan oleh dukun beranak tersebut, yang menangis diatas tebing. Tapi malang bagi ibumu, kata Mbok Minah, ibumu mati dengan tubuh membiru terkena angina duduk.” Ayah menatap langit-langit rumah, dengan wajah hampa. Akupun larut dalam linangan air mata.

“Ayah sampai sekarang tidak bisa mengerti,  jasad ibumu tidak pernah ketemu, jika mati dimana nisannya, sampai sekarang tidak ada kabar beritanya. Setiap hari ayah mencari ibumu, seluruh sudut kampung, pasar, ladang, goa, hutan, sungai dan rimba ayah susuri, semua hampa, tidak ada bekas ibumu berada. Sampai ayah mengikhlaskan, semoga ibumu bahagia di alam sorga.”

***

Saban hari aku selalu gelisah, aku selalu ingat ayah, ayah sering datang dalam mimpiku. Begitupun dendamku pada Kepala Desa Sadikin dan Dokter Zaldi semakin membara. Walau batang kelakiannya serasa pernah aku tebas, tetapi jasad dan kuburannya tidak ada yang tahu sampai sekarang, aku juga heran mengapa dirumah sakit masih kudengar ada suaranya ? Mati ataukah hidup mereka, aku tak tahu, namun pernah Mbak Desia mengatakan, bahwa dia pernah melihat Kepala Desa dan Dokter Zaldi berjalan ditengah pasar, duduk di warung-warung pinggir jalan. Aku merinding, darahku bergelora.

Saat ini tekadku semakin bulat, aku harus mencari tahu siapa pembunuh ayah. Aku harus membalas semua itu, aku juga harus melanjutkan usaha ayah mencari tahu dimana ibuku, jika mati dimana kuburnya, jika hidup bagaimana kabar beritanya. Semalaman aku tak tidur, aku menyusun rencana, memulai dan melangkah dari mana, aku putuskan, aku harus mencari nenek dukun beranak yang menyelamatkanku terlebih dahulu.

Aku pamit dari Mbak Desia, aku buat alasan, aku mencoba mencari pekerjaan ke daerah lain. Mbak Desia melepas dengan berat hati. Kuberjalan terlunta lunta seorang diri, aku mencari rumah nenek seperti yang diceritakan ayah kepadaku.

Dalam letih lesu, sampai juga aku dilokasi rumah nenek dukun beranak, seperti yang pernah diceritakan ayah, kuperhatikan sekelilingnya, aku sangat yakin, inilah rumah nenek dukun beranak itu. Kuketuk pintu gubuk reyot yang berada di tebing hutan.

Tuk tuk tuk..

Tidak ada sahutan yang terdengar.

Gubuk nenek dukun beranak sungguh rapuh, atapnya ijuk dan sudah di tumbuhi tumbuhan, kayunya dari bambu yang sudah di makan rayap, halamannya di tumbuhi duri dan rumput ilalang, baunya pesing.

Kuberjalan sekeliling rumah, kulihat banyak tanaman kembang, bunga melati, puding, kemboja dan tanaman-tanaman yang banyak dtanam di perkuburan.

Aku berjalan melewati sisi samping rumah nenek, aku menuju ke dapur belakang, mana tahu nenek lagi memasak pikirku.

Aku terperanjat, tiba-tiba, aku melihat lorong nan amat panjang, aku bergumam, bukankah saat kulihat dari depan, gubuk reot ini kecil sekali ? mengapa aku berada di sebuah lorong panjang nan mencekam ? Belum habis rasa keherananku, seketika itu berhamburan kelelawar-kelelawar berwajah gadis jelita. Kelelawar itu seolah datang menjemputku, membuat tarian selamat datang, menyanyikan senandung kerinduan. Dari telinga kerumunan kelelawar,  keluar tetesan-tetesan darah nan menghitam, pekat dan anyir. Dari pusatnya menjuntai-juntai usus perutnya, mengeluarkan nanah yang amat busuk sekali. Darah dan nanah itu menetes dikepalaku, aku bermandikan darah dan nanah. Mata, hidung dan mulutku berlumuran darah bercampur nanah.

Aku di kerumuni oleh para kelelawar itu, tubuhku dalam sekejab dibungkus oleh sayap-sayap kelelawar yang di tumbuhi rambut tebal. Kelelawar itu membopong tubuhku dan membawa terbang, sambil melayang-layang mereka berbisik di telingaku.

 “Sukmaaa”

“Kamukah yang bernama Sukma”

“Kamu cantik sekali”

“Marii.. mariii… sukma…”

“Kita menari… bernyayi… dan bersuka ria..”

“Sukmaaaaa….”

“Inilah istanamu”

“Bertahun kami menunggumu”

“Sukmaaa….”

Aku dibawa terbang melayang-layang dalam lorong-lorong gubuk renta, kiri kanan terpampang wajah wajah melolong, di mulutnya berjilatan ular-ular berkepala kodok, tikus, trenggiling, dan kalajengking. Di rambutnya bergentayangan lintah-lintah besar meloncat-loncat, beberapa diantaranya melompat-lompat ke tangan, kaki dan perutku, aku merinding dan menggigil. Kemudian aku dihempaskan di atas dipan dari tulang-tulang manusia… sakit sekali.

Sambil meluruskan badanku yang kaku dan perih, samar-samar aku melihat nenek di keremangan gubuk, bersimpuh dengan mulut komat kamit, di depan sebuah nampan kayu yang penuh darah, dihiasi kembang bunga aneka warna, ada ular yang melingkar di dalamya.  

Aku sapa nenek dengan terbata-bata.

“Ne..nek..?” Beliau masih khusuk dengan ritualnya, ku ulangi sekali lagi.

“Neneek..?”

“Nek..nek…?”

Belum juga ada reaksi dan jawaban, sampai kali kelima, baru nenek menoleh ke arahku, dengan terbungkuk-bungkuk nenek memegang bahuku, dingin sekali. Aku tak bisa menatap wajah nenek secara utuh, niat dan tekadku menemui nenek sudah kepalang basah, aku sudah berjuang mencari gubuk si nenek.

Aku beranikan diri membuka pembicaraan, aku ceritakan, bahwa aku adalah anak ayahku yang bernama Danang, yang dahulu saat kelahiranku, neneklah yang menyelematkanku. Sekarang ayahku sudah tiada, bersama hilangnya ibuku Savitri, sampai akhir hayat ayahku,  tak diketahui kabar beritanya. Kulihat mata nenek memerah, dalam bola matanya seperti ada bayi-bayi yang meronta, nenek mendesah, bau sekali.

Di bimbingnya aku masuk kedalam gubuknya, di tunjukkannya sebuah dipan kecil dengan bulu bulu binatang menjadi kasurnya, di suruhnya aku berbaring disana. Setelah itu, di bimbingnya aku ke dapurnya, di bukanya tutup nampan tempat beras yang banyak belatungnya, di sampingnya ada tulang tulang berserakan, bulu burung hantu, kulit beruang, rempah daun jilatang, sempat juga aku lihat seperti ada jantung, hati, usus dan isi perut lainnya, apakah itu isi perut binatang atau manusia, aku tak tahu.

Semakin hari semakin banyak keanehan digubuk nenek, tidak bisa aku cerna dengan akal sehat. Sering aku melihat kepala-kepala manusia melayang-layang di langit-langit gubuk nenek, suara-suara melolong meminta tolong dan menjerit-jerit, tangan-tangan tanpa lengan berjalan di dinding gubuk.  Aku tak berani lari dari gubuk nenek, semakin hari aku merasa semakin tertawan di gubuk ini, kakiku berat untuk meninggalkan tempat ini. Nenek seperti telah mananamkan ramuan sihirnya kepadaku.

***

Malam bulan purnama, aku di kerumuni oleh kelelawar-kelelawar berparas jelita, telinga dan badannya berbalur darah bercampur nanah,  mereka melilitku dengan bulu sayapnya yang dipenuhi rambut yang sangat tengik. Mereka membawaku, ke tengah altar yang dihiasi bara api, mereka berdansa dan bersuka cita, aku dilempar-lemparnya ke atas langit-langit, mereka ketawa gembira, berdansa, kecicikan, sampai aku terhempas dalam lumpur yang sangat anyir, aku coba merangkak keluar dari lumpur. Kugapai balok-balok yang bergelantungan, aku terpapar diatas tanah, busuk sekali.

Kurasakan ada hawa panas menempel di pundakku, aku terkesiap, kulihat ada sosok sangar Kepala Desa Sadikin dan Dokter Zaldi, menyeringai kepadaku. Mereka telanjang bulat, kulihat kesela dua kakinya, perkutut pejantannya tidak ada lagi menjuntai , darah mengalir di sela selangkangannya. Mereka berdua saling cakar-cakaran, setelah itu saling tertawa terbahak-bahak, mereka bersiul-siulan seperti remaja yang kasmaran. Mereka melayang kearahku, menatapku penuh nafsu, matanya jelalatan, secepat kilat, tangannya  menggerayangiku, lalu, mereka menindihku, merobek bajuku,  menjilatiku penuh nafsu,  dari mulutnya keluar darah, nanah, air liur, membasahi tubuhku.

Aku berusaha memberontak, ingin berteriak, tapi lidahku kelu, kakiku kaku, badanku gemetar. Tanganku menggapai-gapai, berusaha mengambil apa yang bisa aku dapatkan, tanganku menempel kedinding, seketika Kepala Desa Sadikin berkelabat menginjak tanganku, hingga tanganku terbenam kedalam tanah, dalam kepasrahan tanpa daya, tanganku memegang suatu benda di dalam tanah, sepertinya pernah aku pegang benda itu, tusuk konde. Secepat kilat kekuatanku muncul, aku berteriak.

“lariiii kau setaaaan...!!”

“hentikan tarian keserakahanmu…!!”

“hentikan taring kerakusanmu…!!”

“hentikan tamak kekuasaanmu..!!”

“entaskan nyayian kemunafikanmu...!!”

“lenyaplah bersama birahi nafsumu..!!”

“enyahlah dari hidupku...!!”

Dalam pergulatan gelora birahi Kepala Desa Sadikin dan Dokter Zaldi yang membara, tanganku mendapat kesempatan menusuk tubuhnya dengan tusuk konde, kuarahkan kejantung Dokter Zaldi, seketika itu juga tubuhnya melenguh, melengking, melayang entah kemana, kuarahkan tusuk konde ke Kepala Desa Sadikin, tapi kulihat diapun tidak ada, hilang.  

Remang-remang  kulihat ada setitik cahaya lewat dari atap gubuk nenek, kudengar ada suara ayam hutan berkokok bersahutan. Aku raba wajahku, oh ternyata, mata, telinga, hidung dan mulutku masih ada. Kuraba badanku, okh bajuku masih menempel ditubuhku. Kupegang tanganku, nadiku masih berdetak, namun badanku serasa remuk redam, jiwaku kosong dan hampa.

Kulihat, nenek terbungkuk-bungkuk menghampiriku, dia membawa semacam air ramuan di dalam sayak, di taruh disamping dipanku, nenek memegang bahuku, dingin sekali. Sebuah gerakan badan, pertanda nenek  memintaku meminum ramuan itu. Kuperhatikan sayak itu, kulihat minumannya, aku terkesiap, air itu mirip sekali dengan jamu buatan Mbok Minah yang sering menawariku. Aku semakin bingung.

***

Sudah beberapa malam aku digubuk nenek, aku penasaran, aku tak pernah melihat wajah nenek, karena wajahnya selalu ditutupi oleh rambutnya yang panjang dan selendang batik kumal yang melilitnya, yang tampak hanya bola matanya semata. Nenek tidak pernah berbicara, tetapi dia pintar berkomunikasi dengan gerak tubuhnya.

Rasa penasaranku semakin memuncak, disuatu kesempatan, saat nenek tertidur pulas, kubuka selendang  yang melilit di mukanya, kupilah pelan-pelan rambut yang menutupi wajahnya, kutatap wajah nenek dukun beranak, aku terperanjat, dadaku berdegup kencang, jantungku berdetak tak karuan, aku gemetaran, lidahku kelu, keringat dinginku mengucur deras.

Aku melihat wajah nenek….

Aku melihat wajah nenek…

Ku tahan jeritanku, aku berteriak dalam hati.

“neneeeeeek…. mengapa wajahmu bisa seperti itu…!!”

Aku membatu, kuulangi melihat nenek dari jauh, ingin meyakinkan akan wajah nenek, yang baru saja aku lihat, apakah nenek dukun beranak seorang manusia, setan atau malaikat ? mengapa wajahnya mirip sekali dengan sosok  yang pernah diceritakan oleh Ayah kepadaku ?

Aku beringsut kesudut gubuk, aku merangkak menuju dapur, aku ambil bilah kayu rotan tumpul yang banyak di dinding gubuk sebagai penopang kakiku berjalan, aku keluar. Malam gelap, petir dan kilat bersahutan, aku menggigil, pucat pasi.

Aku berusaha mencari tempat berteduh, di sebuah pohon beringin rindang, di belakang gubuk nenek. Aku bersandar, mencoba menenangkan diri, dari apa yang baru saja aku saksikan.

Aku terduduk lesu, dibatang beringin tua yang kekar, kulihat air mengalir dibawah telapak kakiku, mungkin itu air hujan yang turun lebat, pikirku, tetapi airnya tidak seperti air hujan yang mencair, airnya  kental, lengket dan bau amis, karena suasana sangat gelap, tak aku hiraukan air apakah itu. Aku angkat kakiku, kunaikan keatas cabang kayu beringin, tapi kurasakan kayunya lunak sekali, tidak seperti batang kayu yang keras, lagi-lagi air kental mengalir disekujur kakiku, hingga mengalir keselangkanganku, padahal aku sudah dapat tempat berteduh yang tidak terkena air hujan. Aku ketakutan.

Aku coba mencari tempat lain disekitar batang kayu, suasana semakin gelap. Kuraba disekelilingku, setiap kumeraba tanganku terciprat air yang kental, lengket dan bau amis. Suasana semakin menyeramkan, petir bersahutan-sahutan, awan bergumpal-gumpal, sekali kali muncul cahaya dari kilatan petir, aku gemetaran, disela cahaya kilat, aku melihat kepala-kepala manusia yang bergelantungan di pohon beringin, lidahnya menjulur, matanya mengeluarkan tetesan darah merah. Aku semakin ciut dan tak karuan.

Aku berlari mencari tempat lain, belum beberapa langkah, tiba tiba aku terperosok kedalam lobang, seperti ada tarikan tangan yang menarikku kedasar  perut bumi. Aku menggelinjang dan mengerang. Aku semakin terbenam, hingga mencapai leherku, sebentar lagi kepalaku bersatu dengan lobang gelap ini.

Tiba-tiba..

Kurasakan tangan dingin, lembut dan halus dengan cekatannya menarik tubuhku. Aku terpelanting keatas ranting pohon, kemudian terpapar dirumput tebal. Tak berapa lama, aku merasakan tubuhku di bopong oleh seseorang, membawaku entah kemana, kubuka mataku pelan-pelan, aku tak bisa melihat dengan terang siapa sosok yang membopongku, sekelabat kulihat ada benda di tangan kirinya, memegang biola hitam bergagang kulit kayu medang, aku terkesima, bukankah itu biola ayahku yang sering digeseknya jika hatinya gulana mengingat ibu ? aku linglung dan tak sadarkan diri.

***

Mak Raisah meratap memandang tubuh Sukma yang tergolek lesu, penuh darah dan nanah. Diambilnya air dan kain lap, dibersihkannya luka-luka dan bercak darah, nanah dan debu yang banyak lengket di tubuh Sukma. Setelah dibersihkannya, Mak Raisah kaget menatap wajah Sukma yang bercahaya, cantik sekali. Mak Raisah ingat masa mudanya, dia merasa tak jauh beda rupanya dengan gadis yang berada didepan matanya. Sambil menangis tersedu sedan, dia berbicara sendiri.

“Oh gadis semolek dan secantik ini, separas segombang ini, mengapa engkau sampai begini, ada apa gerangan ? adakah pantangan nan terlanggar ? adakah kumbang nan menyerang ? adakah dendam nan tak tersampaikan ?”

“Okh nak gadis si elok wajah, bernasip malang, Mak Raisah akan merawatmu, tentram dan tenanglah tinggal di tempat ini, hilangkan gundah gulanamu.”

“Oh angin, oh bulan, oh bintang sampaikan kepada yang Kuasa, turunkanlah ajian pengobat luka, keluarkanlah sembilu hati nan lara, jika jauh dekatkanlah, jika dekat sembuhkanlah.”

Sukma masih tergolek pasi. Setelah Sukma dibersihkannya, dipanggilnya nama seseorang.

“Saipul..?”

“Yaa Maak..?” terdengar suara sangat sopan dari ruang beranda.

“Si gadis, sudah Mak bersihkan, luka-luka dan kotoran di badannya sudah mak lap dengan air.”

“Kesinilah Nak Saipul, bantulah Mak, semoga nanda bisa melihat dengan mata batin, apa gerangan yang terjadi pada gadis malang ini.”

Saipul mendekati Sukma nan terkulai, di usapnya kening Sukma dengan jari telunjuknya, dipegangnya aliran nadi di pergelangan tangan Sukma dengan jempol dan jari tengahnya, disentuhnya ujung kaki sukma. Saipul tersentak, dia terhenyak, wajahnya memerah, keringat bercucuran dari wajahnya.

Setelah mampu mengendalikan diri, Saipul meminum air putih dan duduk disamping Mak Raisah.

Mak Raisah membatin, seperti sudah mengerti apa yang terjadi. Dengan suara berat dia tanyakan juga bagaimana keadaan Sukma.

“Nak Saipul, bagaimana kondisi nak gadis ini ?” Saipul lama terdiam, dia menjawab dengan gemetaran.

“Sakitnya sungguh berat Mak, bukan hanya sakit raganya saja, batinnya sangat terluka”

“Terlihat dari raut garis wajahnya, dari detak nadinya, dia sangat memendam duka lara, hatinya remuk redam”

Mak Raisah dengan mimik sedih, lalu menyela.

“Apa gerangan penyebab sakitnya nak gadis secantik ini, sedemikian parahnya, Nak Saipul ?”

Saipul termenung, diteguknya air  dari daun kopi yang dibikinnya sendiri, duduk disamping Mak Raisah.

“Tentu, secara pasti saya juga tidak tahu Mak, cuma kita bermohon dan berusaha, semoga jika gadis ini siuman dan cepat pulih, nanti mungkin bisa Mak menggali cerita secara langsung dengannya, apa gerangan dia bisa sampai seperti ini.”

“Tapi Mak, bukan ananda mendahului Yang Kuasa, secara mata batin saya, mengatakan, dia seperti terkena guna-guna, terkena ajian gasing tengkorak tujuh rangka, dan kerasukan roh jahat. Gadis ini harus diobati dengan ramuan tujuh pusara bumi penopang samudera. Tentu Mak, kita akan menghadapi banyaknya dukun dan musuh yang menghalangi kesembuhannya.”

Mak Raisah terdiam.

Setelah sedikit tenang, Saipul melanjutkan ritual pengobatannya, dia berkomat kamit membaca doa pada segelas air, kemudian di percikkannya ke muka Sukma. Saipul beranjak duduk, di dekatinya Mak Raisah kembali.

“Mak jika si gadis sudah mulai siuman, minumkan air yang saya buatkan ini. Bilas selalu luka-luka ditubuhnya dengan air daun bangkai dan akar kayu mati yang sudah saya racik.”

“Iya Nak, nanti akan Mak lakukan semua yang ananda katakana.”

“Oh ya Mak, hari sudah larut petang, untuk kebaikan dan mempercepat pulihnya si gadis, saya harus mencari ramuan, pengobat luka tubuh dan duka lara batin si gadis malang ini, saya akan mencari air asin dari mata air tujuh hulu, mencari pasir merah tujuh muara, batu akik kecubung jiwa tujuh warna dan bunga tujuh rupa.”

“Mak..?”

“Do’akan selalu, semoga perjalanan saya lancar dan selamat pulang pergi” Mata Saipul berkaca-kaca.

Saipul memegang tangan Mak Raisah, dia berjongkok dan mencium kaki Mak Raisah. Mak Raisah mengangkat bahunya,  memegang tangan Saipul, sambil mengangguk dia berjalan mengantar Saipul kedepan pintu, untuk berjalan mencari obat si gadis malang.

Sebelum berangkat, Saipul menanam bambu ruyung di samping rumahnya, dan berpesan kepada Mak Raisah.

“Mak, saya tanam bambu ini, jika bambu ini segar, berarti saya baik-baik saja, jika dia layu pertanda saya sakit dalam pencarian obat si Gadis, maka siramlah dengan air bilasan kaki Mak dan kaki si gadis, jika bambu ini mati, maka ikhlaskan saya tenang di alam baqa.”

Mak Raisah, menangis, wajahnya basah oleh air mata.

***

Sayup-sayup aku mendengar suara denting biola tergesek indah, seruling bambu mengalun lembut, puput serunai bergema sahdu. Disela irama harmoni biola, seruling dan puput serunia berkulindan mendayu-dayu. Aku mendengar ada suara orang berdendang sambil meratap lara.

Hari berganti bulan

Bulan berganti tahun

Buah hati buluh perindu

Dimana engkau berada

Tak sempat aku membelaimu

Tak sempat aku membedungmu

Tak sempat aku menyusuimu

Kau pergi diambil orang

Walau bumi berguncang

Topan badai menghadang

Tak kan letih aku menunggu

Walau bangkai berbalut tulang

Bibirku mulai memerah, mataku sedikit mulai terbuka, aku dengar suara wanita, lembut, sahdu dan damai sekali, sepertinya baru kali ini aku mendengar suara itu.

Dengan terbata-bata, kugerakkan bibirku, air mataku mengalir, membasahi pipiku namun terasa perih, aku jatuh dalam luka batin nan amat dalam, ingin kuakhiri hidup ini.

Dalam kekalutanku yang mengharu biru, aku ingat ayah, ingat ibu yang sampai sekarang ku tak pernah melihat wajahnya, dalam lirih jiwaku, mataku berkunang-kunang, berkaca-kaca, kupanggil ayah, kupanggil ibu..

“A..yah....?”

“Ibbuu...?”

 

 ###

Daun Jilatang = Sejenis tanaman yang tumbuh dihutan, jika tekena kulit maka akan terasa gatal dan perih, kulit bisa mengelupas seperti terbakar.

Sayak = Tempat minum air yang terbuat dari tempurung kelapa.

Kayu Medang = Sejenis pohon yang lapisan kulitnya memiliki “miang” jika dipegang akan menyebabkan rasa gatal dan perih di kulit.

Puput Serunai = Sejenis terompet yang terbuat dari batang padi dan di lilit dengan daun kelapa muda.

 

Gambar : loverofsadness.net

 

Kumpulan Fiksi Bersambung Lainnya || FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun