“Sukma,” ayah menatapku dengan perasaan dalam.
“Wajahmu mirip sekali dengan ibumu,”
Aku kaget seketika, tak biasanya ayah berbicara tentang ibu. Karena selama ini setiap kali aku menanyakan ibu, beliau selalu diam membisu, wajahnya melangsa, pana. Pernah suatu waktu, aku bertanya tentang ibu, beliau tergagap dan menjawab dengan senyum yang dipaksakan, keluar sepatah kalimat, “Ibumu nak sudah bahagia dialam Sorga.” Sejak itu aku tak pernah lagi menanyakan tentang ibu kepada ayah.
Tapi mengapa hari ini, ayah bercerita tentang ibu ?
“Sukma”
Ayah kembali menyebut namaku dengan suara berat.
“ Ayah tak tahu, seperti ada pertanda yang tak enak dihati ayah, cepat atau lambat ayah pasti akan menemui ibumu, ajal ditangan Tuhan. Karena itu, sudah waktunya ayah berbagi kisah denganmu nak.
“Ayah berpisah dengan ibumu, saat kau terlahir kemuka bumi. Dulu ibumu adalah bunga desa, banyak kumbang desa yang jatuh cinta pada ibumu, tetapi ayah juga tidak tahu kenapa ayah yang bisa mendapatkan ibumu. Salah seorang yang tergila-gila pada ibumu, adalah anak wedana.”
Ayah menarik nafas dalam-dalam, kulihat matanya jauh menerawang, ayah melanjutkan kisahnya.
“Saat hari kelahiranmu, cuaca mendung, awan bergumpal-gumpal, petir dan kilat bersahutan. Ayah melihat banyak sekali kain kafan yang telah usang bercampur darah, melayang layang diberanda rumah, bau bangkai dan menyan begitu menyengat.” Suara ayah tercekat, ayah berusaha menguatkan dirinya untuk terus bercerita.
“Ayah memegang Ibumu, tapi semakin ayah memegang ibumu, semakin keras tangan-tangan berkuku panjang menarik tangan ayah. Air ketuban Ibumu sudah pecah, ayah sekuat tenaga menggendong ibumu kerumah dukun beranak.” Ayah terdiam, lalu ayah mengambil kain sarung yang dipakainya, diusapkan kekeningku yang mulai basah oleh keringat. Lalu ayah kembali bercerita.