Penutup
Kondisi kekinian mengkonfirmasi bahwa ternyata sanksi sosial tidak cukup efektif untuk mencegah terulangnya kasus-kasus yang sama, malah terkesan setelah “ketiban sial”, mereka mencoba bersalin rupa agar terlihat oleh publik lebih tawadlu dan religius. Hanya satu alasan mereka bersalin rupa itu, agar publik cepat-cepat melupakan kejadian yang pernah mereka lakukan.
Melihat fenomena artis bersalin rupa setelah terlibat sebuah kasus hukum mengkonfirmasi suatu hal bahwa telah terjadi reduksi nilai-nilai religius di kalangan artis dan publik figur. Atau bisa jadi hal itu juga menunjukkan gejala eksploitasi nilai keagamaan (baca juga di sini) untuk mengejar kepentingan memulihkan nama baik. Juga hal itu membuktikan bahwa agama baru hadir dan dibutuhkan ketika seseorang mengalami kondisi yang kurang menguntungkan. Hal yang kurang menguntungkan itu bisa saja bersifat ekonomi, sosial, politik, maupun budaya (ekosospolbud).
Lihatlah praktek ritual keagamaan dalam keseharian dan kehidupan sosial kita. Kita baru merasa membutuhkan perlu “menghadirkan” Tuhan, ketika kita mengalami kesulitan. Ketika ditimpa musibah dan cobaan, baru kita sadar dan berpaling kepada Tuhan. Bahkan dengan sedikit mendramatisir dan sentimentil melankolis bersimpuh memohon sambil berurai air mata.
Sebuah potret yang kurang sejuk dalam pemandangan keimanan. Maka bagi saya, sepanjang sanksi sosial dengan menerapkan pembunuhan karakter dan alienasi (pengucilan) sosial kepada pelaku dan mungkin juga keluarga tidak berjalan (efektif), maka perilaku-perilaku asosial dan antisosial akan terus hadir menghiasi pelataran kehidupan sosial kita. Dengan begitu kita akan terus menerus berkutat dalam lingkaran setan “kebodohan”.
Ya sudah, selamat membaca, …
Wallahu a’lam bish-shawabi
Makassar, 22 Maret 2016