Sayangnya tujuan yang diinginkan si artis malah meleset, bukannya mendapat sambutan dan apresiasi penonton berupa suara cikikik cikakak, malah mendapat respon yang sangat di luar dugaan dan ekspektasinya. Si artis kemudian di-bully habis-habisan dan lebih tragis lagi dilaporkan ke pihak kepolisian dengan tuduhan menghina lambang negara.
Maka terbayang akan datang masa suram, sebagaimana masa-masa ketika masih meniti karier dari bawah, bahwa pelaporan ini akan membawa konsekuensi. Tak tanggung-tanggung, konsekuensi yang harus diterima, sanksi atas “pelanggaran” tersebut bila terbukti, si artis harus siap lahir maupun bathin menginap di hotel prodeo selama lima (5) tahun, dan denda sekian juta rupiah. Duh, ...
Kamuflase ala Artis
Terbayang masa depan karier keartisannya akan hancur berantakan seketika karena badai kemarahan publik dan warga bangsa yang merasa kehormatan dan harga diri bangsa diinjak-injak. Menyadari hal itu, si artis kemudian buru-buru melakukan “safari” untuk meminta maaf. Dalam safari tersebut kemudian kita dan publik disuguhkan sebuah penampilan baru dari sang artis. Sebuah modus yang sering dilakonkan oleh artis, bila dan sedang menghadapi suatu masalah atau kasus hukum.
Bersalin rupa menjadi lebih religius, berpenampilan dan berbusana lebih tertutup, bersikap lebih sopan, tidak lagi berpakaian seronok ala bebek nungging. Maka kemudian berkamuflase dengan busana, sontak “bermetamorfosa” seakan-akan teraniaya dan sedang didzolimi. Bersalin rupa menjadi lebih religius, berbusana lebih sopan dan tertutup. Padahal selama ini seperti terlihat di publik, jika menghadiri atau mengisi suatu acara pasti si artis berpenampilan dengan busana “ala kadarnya”, seperti busana yang kekurangan bahan (kain).
Nilai-nilai religiusitas kembali direduksi untuk kepentingan keduniawian yang bersifat semu. Seolah-olah dengan mengubah penampilan yang terkesan lebih religius, maka publik akan merasa kasihan dan memberi maaf, selanjutnya melupakan. Setelah itu si artis kemudian menekuni kesibukannya seperti sediakala.
Sanksi Sosial dan Amnesia Publik
Kondisi ini rupanya sangat ditahui dan dipahami para artis, bahwa publik Indonesia sangat pelupa dan pemaaf. Ketika sebuah kasus yang melibatkan artis masih sangat hangat, maka semua seakan mencibir dan mencaci maki. Tapi, selang beberapa waktu kemudian terjadi amnesia, dan publik “mempersilahkan” artis tersebut kembali eksis. Sanski sosial ternyata hanya berlaku sesaat, setelah itu berjalan kembali seperti sediakala. Mereka kemudian memanfaatkan dan menikmati kondisi itu dengan enjoy dan perasaan suka cita.
Artis perempuan bersalin rupa dengan mekakai kerudung dan artis pria memakai kopiah/songkok (kadang-kadang dilengkapi pula dengan sorban). Mereka berusaha dengan sengaja mengubah penampilan. Dengan penampilan baru mereka mencoba menyambangi setiap orang dan kelompok untuk menyampaikan permintaan maaf sambil berdalih bahwa apa yang telah terjadi bukan faktor kesengajaan, melainkan refleks spontanitas semata.
Fenomena artis yang memanfaatkan sifat pelupa dan ringannya sanksio sosial sudah sangat sering kita saksikan. Tapi, sayangnya publik merasa hal itu biasa saja, bukan merupakan sesuatu yang disengaja. Setelah hingar bingar berlalu, publik kemudian “mempersilahkan dan menyiapkan” panggung untuk artis kembali eksis. Maka publik Indonesia tidak pernah mempermasalahkan artis-artis Indonesia, yang pernah terlibat tindak asusila, pornografi, dan pornoaksi kembali menghiasi layar TV. Seolah-olah perbuatan mereka yang pernah dicemooh tidak pernah terjadi. Mereka tampil dengan “wajah baru”, meski perilaku mereka di depan layar kaca tidak turut berubah secara signifikan.
Sanksi sosial tidak cukup kuat untuk mempertahankan dan memberi nutrisi yang cukup bagi daya ingat publik. Padahal dengan memberikan dan menegakkan sanksi sosial akan mendorong partisipasi masyarakat terlibat secara aktif melakukan kontrol terhadap perilaku setiap individu. Tidak berbuat semau gue. Tidak serampangan, tidak bertindak dan bercakap asal njempak, hanya karena alasan yang bersangkutan tidak cukup makan sekolahan. Sebuah kesalahan, apalagi itu tidak hanya bertentangan dengan nilai-nilai sosial, hukum, dan agama, tidak harus ditoleransi hanya karena alasan ketidaktahuan. “Kesadaran dan partisipasi masyarakat merupakan satu bentuk kekuatan yang dalam banyak hal telah terbukti mencegah dan mereduksi berbagai epidemi sosial, ... (Sumber).