Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Zaskia Gotik Bersalin Rupa

22 Maret 2016   14:01 Diperbarui: 22 Maret 2016   14:24 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penutup 

Kondisi kekinian mengkonfirmasi bahwa ternyata sanksi sosial tidak cukup efektif untuk mencegah terulangnya kasus-kasus yang sama, malah terkesan setelah “ketiban sial”, mereka mencoba bersalin rupa agar terlihat oleh publik lebih tawadlu dan religius. Hanya satu alasan mereka bersalin rupa itu, agar publik cepat-cepat melupakan kejadian yang pernah mereka lakukan. 

Melihat fenomena artis bersalin rupa setelah terlibat sebuah kasus hukum mengkonfirmasi suatu hal bahwa telah terjadi reduksi nilai-nilai religius di kalangan artis dan publik figur. Atau bisa jadi hal itu juga menunjukkan gejala eksploitasi nilai keagamaan (baca juga di sini) untuk mengejar kepentingan memulihkan nama baik. Juga hal itu membuktikan bahwa agama baru hadir dan dibutuhkan ketika seseorang mengalami kondisi yang kurang menguntungkan. Hal yang kurang menguntungkan itu bisa saja bersifat ekonomi, sosial, politik, maupun budaya (ekosospolbud). 

Lihatlah praktek ritual keagamaan dalam keseharian dan kehidupan sosial kita. Kita baru merasa membutuhkan perlu “menghadirkan” Tuhan, ketika kita mengalami kesulitan. Ketika ditimpa musibah dan cobaan, baru kita sadar dan berpaling kepada Tuhan. Bahkan dengan sedikit mendramatisir dan sentimentil melankolis bersimpuh memohon sambil berurai air mata. 

Sebuah potret yang kurang sejuk dalam pemandangan keimanan. Maka bagi saya, sepanjang sanksi sosial dengan menerapkan pembunuhan karakter dan alienasi (pengucilan) sosial kepada pelaku dan mungkin juga keluarga tidak berjalan (efektif), maka perilaku-perilaku asosial dan antisosial akan terus hadir menghiasi pelataran kehidupan sosial kita. Dengan begitu kita akan terus menerus berkutat dalam lingkaran setan “kebodohan”.

 

Ya sudah, selamat membaca, …

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 22  Maret  2016     

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun