Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Zaskia Gotik Bersalin Rupa

22 Maret 2016   14:01 Diperbarui: 22 Maret 2016   14:24 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="KOMPAS.com/TRI SUSANTO SETIAWAN"][/caption]Oleh : eN-Te 

Naga-naganya banyolan Zaskia Gotik mengenai lambang negara, lambang sila kelima Pancasila, “bebek nungging” berbuntut panjang dan akan terus bergulir. Setelah beberapa pihak, baik perorangan maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) “meradang” dan melaporkan lelucon bodoh, dari artis yang katanya tidak tamat sekolahan, kemarin kita dan publik menyaksikan pihak kepolisian sudah mulai bergerak memeriksa beberapa artis yang dianggap mengetahui motif banyolan itu.

Modus Ngeyel ala Artis 

Sepanjang karier keartisannya sejak diorbitkan dan kemudian seperti mendapat durian runtuh berupa popularitas yang semakin menjulang atas “bantuan” Vicky, akibat salah tunangan, si artis seakan lupa diri. Mungkin karena lupa diri itu sehingga ia merasa kehilangan kesadaran ketika harus melawak dengan menghina lambang negeri sendiri. 

Lambang negara yang merupakan sebuah produk sejarah yang dilahirkan melalui proses panjang dan berdarah-darah oleh para founding fathers. Tapi, si artis dengan enteng dan pongah tanpa merasa tak berdosa menjadikannya itu sebagai bahan candaan yang sungguh sangat menghina, “bebek nungging”. Mungkinkah karena kebiasaan nungging sehingga yang keluar dari pikirannya, frasa yang berbau nungging? 

Rupanya si artis merasa “puas” setelah mengucapkan kata-kata menghina itu, setelah mendengar sambutan tertawa penonton yang ada di studio. Mereka yang hadir karena diiming-imingi uang (penonton bayaran), wajib tertawa meski lelucon oleh host maupun bintang tamu terasa garing. 

Tapi kepuasan itu hanya berlangsung  sesaat. Segera setelah acara itu selesai, mengalir deras kritikan, cibiran, dan berbagai nada kecewa dari publik Indonesia yang merasa harga diri mereka tercampakkan oleh artis konyol. Bahkan tidak hanya berhenti pada kritikan, cibiran, dan bully, tapi sang artis juga harus dilaporkan ke pihak berwajib untuk mempertanggungjawabkan “kebodohannya”. Kebodohoan yang kemudian diakui sendiri oleh pengacaranya. 

Kemudian disusunlah dalih untuk menjustifikasi “keterbatasan” sang artis.   Malah para pengacaranya menyayangkan sikap Anggota DPD RI, Fahira Idris, yang melaporkan sang artis ke pihak kepolisian sebagai sebuah tindakan yang arogan. Karena dalam pandangan para pengacara si artis, bahwa seharusnya sebagai anggota dewan yang terhormat, yang tentu saja memiliki tingkat intelektual di atas rata-rata kebanyakan orang Indonesia, termasuk si artis, maka seharusnya bertindak lebih arif. 

Misalnya dengan melakukan edukasi terhadap sang artis, mengingatkan agar ke depan tidak lagi mengulangi hal-hal bodoh seperti itu. Bagi para pengacaranya, bahwa apa yang dilakukan si artis disebabkan karena pengetahuannya yang terbatas, mengingat si artis tidak makan sekolahan sampai tuntas. Inilah modus ngeyel ala artis Indonesia, ... 

Penjara Menanti? 

Setelah heboh dan mendapat serangan (di-bully) melalui media sosial, si artis mulai “bergerilya” menyampaikan permintaan maaf. Tentu saja si artis meminta maaf sambil berdalih, bahwa banyolan konyol yang dilakukan itu di luar “kesadarannya”, tapi refleks spontanitas semata. Artinya, lawakan itu dilakukan bukan bermaksud untuk menghina, tapi hanya sekedar untuk membuat joke agar dapat memancing penonton tertawa dan terhibur. 

Sayangnya tujuan yang diinginkan si artis malah meleset, bukannya mendapat sambutan dan apresiasi penonton berupa suara cikikik cikakak, malah mendapat respon yang sangat di luar dugaan dan ekspektasinya. Si artis kemudian di-bully habis-habisan dan lebih tragis lagi dilaporkan ke pihak kepolisian dengan tuduhan menghina lambang negara. 

Maka terbayang akan datang masa suram, sebagaimana masa-masa ketika masih meniti karier dari bawah, bahwa pelaporan ini akan membawa konsekuensi. Tak tanggung-tanggung, konsekuensi yang harus diterima, sanksi atas “pelanggaran” tersebut bila terbukti, si artis harus siap lahir maupun bathin menginap di hotel prodeo selama lima (5) tahun, dan denda sekian juta rupiah. Duh, ... 

Kamuflase ala Artis 

Terbayang masa depan karier keartisannya akan hancur berantakan seketika karena badai kemarahan publik dan warga bangsa yang merasa kehormatan dan harga diri bangsa diinjak-injak. Menyadari hal itu, si artis kemudian buru-buru melakukan “safari” untuk meminta maaf. Dalam safari tersebut kemudian kita dan publik disuguhkan sebuah penampilan baru dari sang artis. Sebuah modus yang sering dilakonkan oleh artis, bila dan sedang menghadapi suatu masalah atau kasus hukum. 

Bersalin rupa menjadi lebih religius, berpenampilan dan berbusana lebih tertutup, bersikap lebih sopan, tidak lagi berpakaian seronok ala bebek nungging. Maka kemudian berkamuflase dengan busana, sontak “bermetamorfosa” seakan-akan teraniaya dan sedang didzolimi. Bersalin rupa menjadi lebih religius, berbusana lebih sopan dan tertutup. Padahal selama ini seperti terlihat di publik, jika menghadiri atau mengisi suatu acara pasti si artis berpenampilan dengan  busana “ala kadarnya”, seperti busana yang kekurangan bahan (kain). 

Nilai-nilai religiusitas kembali direduksi untuk kepentingan keduniawian yang bersifat semu. Seolah-olah dengan mengubah penampilan yang terkesan lebih religius, maka publik akan merasa kasihan dan memberi maaf, selanjutnya melupakan. Setelah itu si artis kemudian menekuni kesibukannya seperti sediakala. 

Sanksi Sosial dan Amnesia Publik 

Kondisi ini rupanya sangat ditahui dan dipahami para artis, bahwa publik Indonesia sangat pelupa dan pemaaf. Ketika sebuah kasus yang melibatkan artis masih sangat hangat, maka semua seakan mencibir dan mencaci maki. Tapi, selang beberapa waktu kemudian terjadi amnesia, dan publik “mempersilahkan” artis tersebut kembali eksis. Sanski sosial ternyata hanya berlaku sesaat, setelah itu berjalan kembali seperti sediakala. Mereka kemudian memanfaatkan dan menikmati kondisi itu dengan enjoy dan perasaan suka cita. 

Artis perempuan bersalin rupa dengan mekakai kerudung dan artis pria memakai kopiah/songkok (kadang-kadang dilengkapi pula dengan sorban). Mereka berusaha dengan sengaja mengubah penampilan. Dengan penampilan baru mereka mencoba menyambangi setiap orang dan kelompok untuk menyampaikan permintaan maaf sambil berdalih bahwa apa yang telah terjadi bukan faktor kesengajaan, melainkan refleks spontanitas semata. 

Fenomena artis yang memanfaatkan sifat pelupa dan ringannya sanksio sosial sudah sangat sering kita saksikan. Tapi, sayangnya publik merasa hal itu biasa saja, bukan merupakan sesuatu yang disengaja. Setelah hingar bingar berlalu, publik kemudian “mempersilahkan dan menyiapkan” panggung untuk artis kembali eksis. Maka publik Indonesia tidak pernah mempermasalahkan artis-artis Indonesia, yang pernah terlibat tindak asusila, pornografi, dan pornoaksi kembali menghiasi layar TV.  Seolah-olah perbuatan mereka yang pernah dicemooh tidak pernah terjadi. Mereka tampil dengan “wajah baru”, meski perilaku mereka di depan layar kaca tidak turut berubah secara signifikan. 

Sanksi sosial tidak cukup kuat untuk mempertahankan dan memberi nutrisi yang cukup bagi daya ingat publik. Padahal dengan memberikan dan menegakkan sanksi sosial akan mendorong partisipasi masyarakat terlibat secara aktif melakukan kontrol terhadap perilaku setiap individu. Tidak berbuat semau gue. Tidak serampangan, tidak bertindak dan bercakap asal njempak, hanya karena alasan yang bersangkutan tidak cukup makan sekolahan. Sebuah kesalahan, apalagi itu tidak hanya bertentangan dengan nilai-nilai sosial, hukum, dan agama, tidak harus ditoleransi hanya karena alasan ketidaktahuan. “Kesadaran dan partisipasi masyarakat merupakan satu bentuk kekuatan yang dalam banyak hal telah terbukti mencegah dan mereduksi berbagai epidemi sosial, ... (Sumber). 

Penutup 

Kondisi kekinian mengkonfirmasi bahwa ternyata sanksi sosial tidak cukup efektif untuk mencegah terulangnya kasus-kasus yang sama, malah terkesan setelah “ketiban sial”, mereka mencoba bersalin rupa agar terlihat oleh publik lebih tawadlu dan religius. Hanya satu alasan mereka bersalin rupa itu, agar publik cepat-cepat melupakan kejadian yang pernah mereka lakukan. 

Melihat fenomena artis bersalin rupa setelah terlibat sebuah kasus hukum mengkonfirmasi suatu hal bahwa telah terjadi reduksi nilai-nilai religius di kalangan artis dan publik figur. Atau bisa jadi hal itu juga menunjukkan gejala eksploitasi nilai keagamaan (baca juga di sini) untuk mengejar kepentingan memulihkan nama baik. Juga hal itu membuktikan bahwa agama baru hadir dan dibutuhkan ketika seseorang mengalami kondisi yang kurang menguntungkan. Hal yang kurang menguntungkan itu bisa saja bersifat ekonomi, sosial, politik, maupun budaya (ekosospolbud). 

Lihatlah praktek ritual keagamaan dalam keseharian dan kehidupan sosial kita. Kita baru merasa membutuhkan perlu “menghadirkan” Tuhan, ketika kita mengalami kesulitan. Ketika ditimpa musibah dan cobaan, baru kita sadar dan berpaling kepada Tuhan. Bahkan dengan sedikit mendramatisir dan sentimentil melankolis bersimpuh memohon sambil berurai air mata. 

Sebuah potret yang kurang sejuk dalam pemandangan keimanan. Maka bagi saya, sepanjang sanksi sosial dengan menerapkan pembunuhan karakter dan alienasi (pengucilan) sosial kepada pelaku dan mungkin juga keluarga tidak berjalan (efektif), maka perilaku-perilaku asosial dan antisosial akan terus hadir menghiasi pelataran kehidupan sosial kita. Dengan begitu kita akan terus menerus berkutat dalam lingkaran setan “kebodohan”.

 

Ya sudah, selamat membaca, …

Wallahu a’lam bish-shawabi

Makassar, 22  Maret  2016     

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun