Trend menghiasi bemo dengan berbagai pernak-pernik ini disebabkan karena mengikuti “selera” calon penumpang. Tipologi penumpang angkot di Kota Kupang, terutama pelajar dan mahasiswa, sangat selektif memilih bemo yang akan ditumpangi. Pertama yang dilihat adalah kondisi bemo, apakah masih layak (baca: baru, mulus) atau tidak. Kedua, melihat “keeksentrikan” bemo itu, apakah dilengkapi dengan sound system yang menghibur serta berbagai variasi pernak pernik lainnya, serta poster-poster berupa para artis maupun tokoh-tokoh yang menjadi simbol keyakinan mereka. Sound system juga harus berbunyi nyaring dan harus dapat memberi efek menghentak memekakkan telinga, sehingga mampu mendorong penumpang untuk bersenandung mengikuti irama musik yang diputar. Jika kedua hal ini tidak terpenuhi maka bemo tersebut akan sepi penumpang. Kondisi yang mengambarkan tipologi penumpang bemo di Kota Kupang ini menunjukkan gejala, “biar miskin asal gaya”.
Angkot di Kota Besar Lainnya : Sebuah Perbandingan
Kondisi angkot yang hampir berbanding terbalik terlihat di kota-kota besar lainnya, misalnya di Jakarta. Apa adanya, jauh dari kesan eksentrik dan wah, apalagi harus dilengkapi dengan variasi aksesories atau pernak pernik macam-macam. Belum lagi kalau berbicara mengenai perilaku sopir.
Ketika kemarin di Jakarta dan menumpang kopaja, saya dan teman-teman dibuat terkaget-kaget melihat cara sopir kopaja mengendarai angkotnya. Ugal-ugalan, terkesan hanya mengutamakan mengejar setoran, dengan mengabaikan aspek keselamatan dan kenyamanan penumpang. Sehingga teman saya (perempuan) sampai nyeletuk, bila orang yang sedang hamil yang naik ini angkot bisa brojol di dalam angkot (hehehe). Bahkan untuk menaikkan dan menurunkan penumpang cenderung seenaknya. Ketika penumpang hendak turun dan memberi isyarat, dengan mengetuk body angkot misalnya, sopir tidak segera meminggirkan dan menghentikan laju kendaraannya. Penumpang dibiarkan naik atau turun, bahkan kadang-kadang masih di tengah jalan atau posisi angkot masih berada di sisi kanan, masih berjalan (laju). Sungguh sangat tidak beraturan.
Dan anehnya tidak ada seorang pun penumpang yang memprotes. Mungkin mereka sudah mengaggap hal itu biasa. Karena itu, saya kemudian menyadari bahwa kondisi itu sudah dianggap lumrah oleh penumpang lainnya (warga Jakarta). Soalnya mereka sudah mengalami dan merasakan hal itu saban hari. Jadi bagi mereka itu bukan merupakan sebuah soal yang berarti. Tambahan pula, bahwa gejala ingin cepat sampai ke tujuan dengan memacu kendaraan tanpa memperhatikan kenyamanan dan keselamatan penumpang, (dugaan saya, mungkin) karena situasi sosial yang memaksa mereka harus bersikap demikian.
Ya sudah, selamat membaca, ...
Makassar, 02 Desember 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H