Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Reportase Perjalanan, Uniknya Angkot di Kota Kupang

2 Desember 2015   09:40 Diperbarui: 2 Desember 2015   10:02 1243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret Kehidupan Kota Kupang

Secara umum, Kota Kupang memiliki topografi dan kondisi geografis berbukit kapur dan karena itu sedikit tandus. Namun demikian, tidaklah hal demikian membuat Kota Kupang menjadi gersang dan kering. Tapi, malah sebaliknya, suasana Kota Kupang sangat hijau dengan pertamanan yang sangat rapi dan bersih. Ketika dalam perjalanan dari Bandara Eltari menuju tempat penginapan (wisma) di LPMP Provinsi NTT kami melewati ruas-ruas jalan yang cukup luas nan sangat mulus dengan jenis aspal hotmix. Bukan saja jalan beraspal yang sangat mulus tapi juga ruas-ruas jalan tersebut sangat bersih dan apik. Tidak ada sampah yang berserakan yang mencolok dan mengganggu pemandangan. Semuanya tertata dengan baik, ditumbuhi pohon-pohon yang hijau di sepanjang jalan.

Gambar Pemandangan di Jlan-jalan Utama di Kota Kupang (dokpri)

Warga Kota Kupang memiliki beragam profesi seperti juga kota-kota provinsi lainnya. Meski demikian, satu hal yang agak unik adalah keterlibatan kaum ibu-ibu dalam membantu suami untuk mencari nafkah. Terutama untuk kaum ibu dari etnis Timor, Sabu, dan Rote. Mereka terlibat membantu mencari nafkah untuk menopang kehidupan keluarga dengan berjualan sayur dan ikan. Hal yang membuat unik adalah mereka menjajakan dagangan (sayur dan jenis buah-buahan lainnya atau ikan) dengan cara memikul (lihat gambar). Dan rata-rata usia mereka sudah lanjut, lebih dari 50 – 60 tahun ke atas. Begitu pula dengan Bapak-Bapaknya. Mereka menjajakan dagangannya dengan mendatangi setiap rumah-rumah warga satu persatu. Memikul dagangan sambil menyusuri jalanan dan meneriakkan dagangan dengan harapan menarik perhatian warga, yang kemudian menawarkan dan membeli dagangan mereka. Dan hal itu menjadi pemandangan yang lumrah, sesuatu yang menjadi rutinitas yang dijalani saban hari.

Gambar Kesibukan di pagi hari Warga Kupang (dokpri)

Di samping berdagang sayur dan buah-buahan, ada juga berprofesi sebagai nelayan. Tentu saja sebagain warga Kota Kupang berprofesi sebagai pegawai, dan juga sebagai apartus sipil negara (ASN), yang lebih dikenal dengan PNS. Satu hal yang patut dibanggakan di Kota Kupang adalah tidak ada pengemis dan gelandangan. Begitu pula dengan pengamen. Hal itu dipengaruhi sistem sosial dan pranata sosial yang membentuk budaya dengan ikatan kekerabatan yang sangat kuat.  Sistem budaya yang membentuk ikatan kekerabatan tidak memperkenankan seseorang dari anggota keluarganya terlantar, sehingga menjadi gelandangan dan pengemis di jalanan.

Gambar : Jejeran Perahu Nelayan (dokpri)

Masyarakat NTT masih sangat berpegang teguh pada prinsip gotong royong, sehingga menjadi aib apabila membiarkan salah seorang dari anggota kerabatnya terlantar. Karena itu, pada tempat-tempat umum, pasar, mall, maupun rumah ibadah, hampir tidak ditemukan pemandangan yang mencerminkan adanya masalah sosial, seperti pengemis dan gelandangan.

Rupanya sistem kekerabatan telah begitu kuat membentuk kepribadian warga NTT untuk merasa malu bila tidak ikut merasakan kesusahan dan penderitaan kerabatnya. Prinsip makan tidak makan asal kumpul, masih menjadi simbol kebanggaan yang dilestarikan sampai hari ini. Meski begitu, dalam kondisi yang serba pas-pasan, masyarakat NTT, mempunyai kepedulian dan perhatian yang sangat tinggi terhadap pendidikan anak-anak mereka. Bahkan mereka secara urunan dalam satu keluarga yang masih berhubungan kerabat untuk saling membantu dan menopang pendidikan kerabatnya. Sesuatu yang sangat jarang, bahkan nyaris tidak kita temukan di kehidupan kota-kota besar.

“Uniknya” Angkot di Kota Kupang

Sebelum berdomisili di Kota Makassar, lebih kurang 6 tahun saya menetap di Waiwerang, sebuah Kota Kecamatan di Pulau Adonara Kab. Flores Timur Provinsi NTT. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di kampung kelahiran, Lamakera, sebuah kampung pesisir di Pulau Solor, saya kemudian merantau dengan menyebarangi Selat Lamakera ke Pulau Adonara untuk melanjutkan pendidikan menengah umum (SMP dan SMA). SMP di Lamahala, dan SMA di Waiwerang, masih di Pulau Adonara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun