Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Reportase Perjalanan, Uniknya Angkot di Kota Kupang

2 Desember 2015   09:40 Diperbarui: 2 Desember 2015   10:02 1243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kota Kupang (dokpri) 

Oleh : eN-Te

Pada Kamis, (26/11/2015) saya dan beberapa teman berada di Jakarta. Selama berada di Jakarta, ketika hendak berangkat ke suatu tujuan, kami naik angkot, yakni mikrolet atau kopaja. Pengalaman ketika menumpang kopaja selama di Jakarta, kembali mengingatkan saya untuk melunasi “utang” menulis tentang angkot di Kota Kupang. Karena itu, artikel ini merupakan “utang” yang sudah lama tersimpan dalam memori saya. Ketika itu, setelah berada di Kupang dan balik kembali ke Makassar, saya berniat menulis tema tentang angkot di Kota Kupang, sekaligus ingin menceritakan pengalaman perjalanan dinas di Kota Kupang, khususnya tentang keunikan angkot di Kota Kupang.

Pada pekan pertama bulan Oktober, saya melakukan perjalanan dinas ke Kota Kupang. Perjalanan dinas dalam rangka kegiatan Pendidikan dan Pelatihan Peningkatan Kompetensi Guru Mata Pelajaran Teknologi Informatika dan Komunikasi (Diklat Mapel TIK) dalam Implementasi Kurikulum 2013 (K-13). Kegiatan berlangsung dari 01  s.d.  05 Oktober 2015, bertempat di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Penyelenggara kegiatan, yakni Lembaga Pendidikan, Pemberdayaan dan Peningkatan Tenaga Kependidikan Kelautan, Perikanan dan Teknologi Komunikasi (LPPPTK KPTK) Gowa Provinsi Sulawesi Selatan.

Gambar Spanduk Diklat (dokpri)

Seperti sudah saya ceritakan di awal, bahwa kali ini, saya ingin membagi “pengalaman” selama di Kota Kupang dalam bentuk reportase perjalanan sebagai sebuah tulisan ringan. Reportase kali ini yang ingin saya bagi kepada pembaca adalah mengenai suasana Kota Kupang dan “keunikan” angkot di Kota Kupang, yang dalam istilah setempat disebut bemo. Sya sebut unik karena bemo-bemo tersebut sangat “eksentrik”. Disebut “eksentrik” karena bemo tersebut dilengkapi dengan berbagai aksesories yang sangat menarik. Baik berupa sound system, variasi pernak-pernik tambahan pada mobil, poster-poster yang menempel mengelilingi mobil, dan tak kalah unik adalah setiap bemo memiliki nama.

Kondisi Obyektif  Kota Kupang

Wilayah Provinsi NTT terdiri dari 22 kabupaten/kota, yang tersebar pada beberapa pulau (besar) dan pulau-pulau kecil. Pulau-pulau yang tergolong besar itu, yakni Pulau Flores (10 kab.), Pulau Sumba (4 kab.), Pulau Alor (1 kab.), Pulau Timor (4  kab., dan 1  kota), Pulau Rote (1  kab.), Pulau Sabu (1  kab.), dan Pulau Lembata (1 kab.). Sedangkan pulau-pulau kecil merupakan pulau-pulau pesisir yang masuk dalam wilayah beberapa kabupaten, seperti pulau Komodo (di mana terdapat hewan yang dilindungi Komodo), pulau Adonara, Pulau Solor, dan beberapa pulau kecil lainnya. Sementara Kota Kupang merupakan ibukota Provinsi NTT dan terletak di ujung Pulau Timor.

Gambar Peta NTT (sumber)

Laiknya ibu kota provinsi, penduduk Kota Kupang juga bersifat heterogen dan plural. Heterogenitas dan pluralitas penduduk Kota Kupang dilihat dari etnisitas dan agama. Ada Etnis Timor sebagai penduduk pribumi, dan ada etnis pendatang, yakni Etnis Alor Pantar, Etnis Flores (daratan Flores dan sekitarnya), Etnis Sumba, Etnis Sabu-Rote, serta etnis pendatang lainnya, seperti Jawa, Bugis-Makassar, serta etnis lainnya.

Meski saya sendiri merupakan warga asal  NTT beretnis Flores tapi tidak cukup familiar dengan Kota Kupang. Sebab sudah lebih dari 20 tahun saya berdomisili di luar NTT, tepatnya Kota Makassar. Saya berkunjung ke Kota Kupang hanya pada waktu-waktu tertentu dan bersifat musiman. Misalnya bila musim mudik lebaran, itupun tidak selalu rutin setiap tahun. Adalah  sangat menyenangkan,  mendapat tugas dinas ke Kota Kupang, karena hal itu merupakan kesempatan langka. Di samping dapat mudik kampung, juga hal itu dapat menjadi ajang silaturahmi dengan keluarga dan juga sahabat dan teman-teman lama (teman sekolah).

Potret Kehidupan Kota Kupang

Secara umum, Kota Kupang memiliki topografi dan kondisi geografis berbukit kapur dan karena itu sedikit tandus. Namun demikian, tidaklah hal demikian membuat Kota Kupang menjadi gersang dan kering. Tapi, malah sebaliknya, suasana Kota Kupang sangat hijau dengan pertamanan yang sangat rapi dan bersih. Ketika dalam perjalanan dari Bandara Eltari menuju tempat penginapan (wisma) di LPMP Provinsi NTT kami melewati ruas-ruas jalan yang cukup luas nan sangat mulus dengan jenis aspal hotmix. Bukan saja jalan beraspal yang sangat mulus tapi juga ruas-ruas jalan tersebut sangat bersih dan apik. Tidak ada sampah yang berserakan yang mencolok dan mengganggu pemandangan. Semuanya tertata dengan baik, ditumbuhi pohon-pohon yang hijau di sepanjang jalan.

Gambar Pemandangan di Jlan-jalan Utama di Kota Kupang (dokpri)

Warga Kota Kupang memiliki beragam profesi seperti juga kota-kota provinsi lainnya. Meski demikian, satu hal yang agak unik adalah keterlibatan kaum ibu-ibu dalam membantu suami untuk mencari nafkah. Terutama untuk kaum ibu dari etnis Timor, Sabu, dan Rote. Mereka terlibat membantu mencari nafkah untuk menopang kehidupan keluarga dengan berjualan sayur dan ikan. Hal yang membuat unik adalah mereka menjajakan dagangan (sayur dan jenis buah-buahan lainnya atau ikan) dengan cara memikul (lihat gambar). Dan rata-rata usia mereka sudah lanjut, lebih dari 50 – 60 tahun ke atas. Begitu pula dengan Bapak-Bapaknya. Mereka menjajakan dagangannya dengan mendatangi setiap rumah-rumah warga satu persatu. Memikul dagangan sambil menyusuri jalanan dan meneriakkan dagangan dengan harapan menarik perhatian warga, yang kemudian menawarkan dan membeli dagangan mereka. Dan hal itu menjadi pemandangan yang lumrah, sesuatu yang menjadi rutinitas yang dijalani saban hari.

Gambar Kesibukan di pagi hari Warga Kupang (dokpri)

Di samping berdagang sayur dan buah-buahan, ada juga berprofesi sebagai nelayan. Tentu saja sebagain warga Kota Kupang berprofesi sebagai pegawai, dan juga sebagai apartus sipil negara (ASN), yang lebih dikenal dengan PNS. Satu hal yang patut dibanggakan di Kota Kupang adalah tidak ada pengemis dan gelandangan. Begitu pula dengan pengamen. Hal itu dipengaruhi sistem sosial dan pranata sosial yang membentuk budaya dengan ikatan kekerabatan yang sangat kuat.  Sistem budaya yang membentuk ikatan kekerabatan tidak memperkenankan seseorang dari anggota keluarganya terlantar, sehingga menjadi gelandangan dan pengemis di jalanan.

Gambar : Jejeran Perahu Nelayan (dokpri)

Masyarakat NTT masih sangat berpegang teguh pada prinsip gotong royong, sehingga menjadi aib apabila membiarkan salah seorang dari anggota kerabatnya terlantar. Karena itu, pada tempat-tempat umum, pasar, mall, maupun rumah ibadah, hampir tidak ditemukan pemandangan yang mencerminkan adanya masalah sosial, seperti pengemis dan gelandangan.

Rupanya sistem kekerabatan telah begitu kuat membentuk kepribadian warga NTT untuk merasa malu bila tidak ikut merasakan kesusahan dan penderitaan kerabatnya. Prinsip makan tidak makan asal kumpul, masih menjadi simbol kebanggaan yang dilestarikan sampai hari ini. Meski begitu, dalam kondisi yang serba pas-pasan, masyarakat NTT, mempunyai kepedulian dan perhatian yang sangat tinggi terhadap pendidikan anak-anak mereka. Bahkan mereka secara urunan dalam satu keluarga yang masih berhubungan kerabat untuk saling membantu dan menopang pendidikan kerabatnya. Sesuatu yang sangat jarang, bahkan nyaris tidak kita temukan di kehidupan kota-kota besar.

“Uniknya” Angkot di Kota Kupang

Sebelum berdomisili di Kota Makassar, lebih kurang 6 tahun saya menetap di Waiwerang, sebuah Kota Kecamatan di Pulau Adonara Kab. Flores Timur Provinsi NTT. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di kampung kelahiran, Lamakera, sebuah kampung pesisir di Pulau Solor, saya kemudian merantau dengan menyebarangi Selat Lamakera ke Pulau Adonara untuk melanjutkan pendidikan menengah umum (SMP dan SMA). SMP di Lamahala, dan SMA di Waiwerang, masih di Pulau Adonara.

Di kampung kelahiran saya, Lamakera, sampai dengan saya “minggat” ke Makassar tahun 1989 (untuk melanjutkan pendidikan (tinggi)), belum ada transportasi roda empat (mobil). Jangan kan kendaraan roda empat (mobil sebagai angkot), kendaraan roda dua, seperti sepeda motor, bahkan sepeda saja, sesuatu yang sangat langka ditemukan. Begitu pula dengan alat-alat elektronik untuk hiburan seperti televisi. Satu-satunya sarana hiburan waktu itu di kampung saya, adalah radio transistor, itu pun hanya dimiliki satu dua orang saja. Hal itu dimaklumi mengingat sampai dengan tahun 2000-an (?) fasilitas listrik belum mengaliri kampung kami, di samping faktor ekonomi yag sangat terbatas. Sumber penghasilan utama warga Lamakera hanya dari laut, sebagai nelayan. Itu juga sangat pasa-pasan, lagi pula bersifat musiman.

Mengapa perlu saya menceritakan tentang setting dan kondisi kampung saya dan masa-masa saya sekolah di jenjang menengah. Karena cerita tentang keunikan angkot di Kota Kupang, bagi saya sudah tidak asing. Soalnya selama saya sekolah di Lamahala dan Waiwerang, di kedua tempat ini sudah ada kendaraan roda empat yang digunakan sebagai angkot, apalagi sepeda motor dan sepeda. Dan kondisi angkot dengan dilengkapi berbagai variasi dan pernak pernik yang unik sudah saya saksikan ketika itu.

Ketika pertama kali berpindah ke Makassar, sebagai salah satu dari empat kota besar di Indonesia, ada sedikit “keanehan” saya rasakan saat mendapati angkot sebagai kendaraan umum (penumpang). Tidak ada yang istimewa angkot yang beroperasi di Makassar seperti yang terlihat di Waiwerang maupun Kupang. Sederhana, bahkan nyaris sangat sederhana, tidak ada yang berlebihan dan mencolok. Tidak ada pernak pernik, aksesorie dan variasi yang dilengkapi dengan sound system yang wah. Semua tampak simpel. Malah ada angkot, yang lebih dikenal dengan sebutan pete-pete yang kondisinya sudah sangat “memprihatinkan” yang seharusnya sudah tidak layak lagi tapi dipaksakan untuk tetap beroperasi.

Saya masih ingat ketika masih kuliah di IKIP Ujungpandang (sekarang Uni. Neg. Makassar, UNM), pete-pete yang biasa digunakan untuk melayani mahasiswa dari dan ke Kampus IKIP di Parangtambung adalah sejenis mobil grand max yang sudah tua, yang terbuka bagian belakang untuk naik turun penumpang. Sekarang pete-pete jenis ini sudah tidak ada lagi, yang ada adalah pete-pete berjenis suzuki cary.

Pete-pete yang beroperasi sebagai angkot di Kota Makassar dijalankan oleh seorang sopir tanpa dibantu oleh seorang kondektur, sebagaimana umumnya kita saksikan di tempat lain. Begitu pula dengan variasi yang melengkapi pete-pete tersebut, hampir jauh dari kesan glamour, terkesan sangat “miskin”. 

Gambar Pete-pete di Makassar

Tapi hal itu tidak mengurangi animo masyarakat (warga kota) untuk memanfaatkannya. Mereka tidak melihat dari sudut kondisi kendaraan, melainkan pada sisi nilai guna dan manfaat. Begitu pula halnya di kota besar lainnya, seperti Jakarta. Yang penting bisa mengantar sampai ke tujuan, tidak masalah seperti apa kondisi angkot itu. Habis perkara. Beda halnya dengan angkot di Kota Kupang, benar-benar sangat “seksi”. Penuh dengan berbagai pernak-pernik dan variasi yang berkesan glamour.

Bemo  yang beroperasi sebagai angkot di Kota Kupang memiliki nama-nama tertentu yang merujuk pada nama pemiliknya (perusahaan). Adalah hal yang lumrah bila bemo di Kota Kupang dan kota-kota kabupaten di Provinsi NTT diberi nama sesuai dengan nama pemiliknya atau nama perusahaan. Kadang pula mengambil nama dari nama-nama aktris atau aktor terkenal.

Gambar Bemo yang Diberi Nama (dokpri) 

Begitu pula dengan body bemo dicat dan ditempel poster yang menarik. Dianggap tidak mengikuti trend bila body bemo tidak dihiasi berbagai pernak-pernik kendaraan, seperti poster-poster yang menarik, seperti foto artis, aktor, atlit, bahkan untuk penganut agama tertentu di Kupang, misalnya Kristen gambar Yesus ikut pula di tempel pada body bemo. Dan semua itu dianggap lumrah.

Gambar Bemo dengan Pernak-Pernik dan Poster (dokpri)

Trend menghiasi bemo dengan berbagai pernak-pernik ini disebabkan karena mengikuti “selera” calon penumpang. Tipologi penumpang angkot di Kota Kupang, terutama pelajar dan mahasiswa, sangat selektif memilih bemo yang akan ditumpangi. Pertama yang dilihat adalah kondisi bemo, apakah masih layak (baca: baru, mulus) atau tidak. Kedua, melihat “keeksentrikan” bemo itu, apakah dilengkapi dengan sound system yang menghibur serta berbagai variasi pernak pernik lainnya, serta poster-poster berupa para artis maupun tokoh-tokoh yang menjadi simbol keyakinan mereka. Sound system juga harus berbunyi nyaring dan harus dapat memberi efek menghentak memekakkan telinga, sehingga mampu mendorong penumpang untuk bersenandung mengikuti irama musik yang diputar. Jika kedua hal ini tidak terpenuhi maka bemo tersebut akan sepi penumpang. Kondisi yang mengambarkan tipologi penumpang bemo di Kota Kupang ini menunjukkan gejala, “biar miskin asal gaya”.

Angkot di Kota Besar Lainnya : Sebuah Perbandingan

Kondisi angkot yang hampir berbanding terbalik terlihat di kota-kota besar lainnya, misalnya di Jakarta. Apa adanya, jauh dari kesan eksentrik dan wah, apalagi harus dilengkapi dengan variasi aksesories atau pernak pernik macam-macam. Belum lagi kalau berbicara mengenai perilaku sopir.

Gambar : Kopaja sebagai Angkot di Jakarta (sumber)

Ketika kemarin di Jakarta dan menumpang kopaja, saya dan teman-teman dibuat terkaget-kaget melihat cara sopir kopaja mengendarai angkotnya. Ugal-ugalan, terkesan hanya mengutamakan mengejar setoran, dengan mengabaikan aspek keselamatan dan kenyamanan penumpang. Sehingga teman saya (perempuan) sampai nyeletuk, bila orang yang sedang hamil yang naik ini angkot bisa brojol di dalam angkot (hehehe). Bahkan untuk menaikkan dan menurunkan penumpang cenderung seenaknya. Ketika penumpang hendak turun dan memberi isyarat, dengan mengetuk body angkot misalnya, sopir tidak segera meminggirkan dan menghentikan laju kendaraannya. Penumpang dibiarkan naik atau turun, bahkan kadang-kadang masih di tengah jalan atau posisi angkot masih berada di sisi kanan, masih  berjalan (laju). Sungguh sangat tidak beraturan.

Dan anehnya tidak ada seorang pun penumpang yang memprotes. Mungkin mereka sudah mengaggap hal itu biasa. Karena itu, saya kemudian menyadari bahwa kondisi itu sudah dianggap lumrah oleh penumpang lainnya (warga Jakarta). Soalnya mereka sudah mengalami dan merasakan hal itu saban hari. Jadi bagi mereka itu bukan merupakan sebuah soal yang berarti. Tambahan pula, bahwa gejala ingin cepat sampai ke tujuan dengan memacu kendaraan tanpa memperhatikan kenyamanan dan keselamatan penumpang, (dugaan saya, mungkin) karena situasi sosial yang memaksa mereka harus bersikap demikian.  

Ya sudah, selamat membaca, ...

Makassar, 02 Desember 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun