Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Reportase Perjalanan, Uniknya Angkot di Kota Kupang

2 Desember 2015   09:40 Diperbarui: 2 Desember 2015   10:02 1243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Trend menghiasi bemo dengan berbagai pernak-pernik ini disebabkan karena mengikuti “selera” calon penumpang. Tipologi penumpang angkot di Kota Kupang, terutama pelajar dan mahasiswa, sangat selektif memilih bemo yang akan ditumpangi. Pertama yang dilihat adalah kondisi bemo, apakah masih layak (baca: baru, mulus) atau tidak. Kedua, melihat “keeksentrikan” bemo itu, apakah dilengkapi dengan sound system yang menghibur serta berbagai variasi pernak pernik lainnya, serta poster-poster berupa para artis maupun tokoh-tokoh yang menjadi simbol keyakinan mereka. Sound system juga harus berbunyi nyaring dan harus dapat memberi efek menghentak memekakkan telinga, sehingga mampu mendorong penumpang untuk bersenandung mengikuti irama musik yang diputar. Jika kedua hal ini tidak terpenuhi maka bemo tersebut akan sepi penumpang. Kondisi yang mengambarkan tipologi penumpang bemo di Kota Kupang ini menunjukkan gejala, “biar miskin asal gaya”.

Angkot di Kota Besar Lainnya : Sebuah Perbandingan

Kondisi angkot yang hampir berbanding terbalik terlihat di kota-kota besar lainnya, misalnya di Jakarta. Apa adanya, jauh dari kesan eksentrik dan wah, apalagi harus dilengkapi dengan variasi aksesories atau pernak pernik macam-macam. Belum lagi kalau berbicara mengenai perilaku sopir.

Gambar : Kopaja sebagai Angkot di Jakarta (sumber)

Ketika kemarin di Jakarta dan menumpang kopaja, saya dan teman-teman dibuat terkaget-kaget melihat cara sopir kopaja mengendarai angkotnya. Ugal-ugalan, terkesan hanya mengutamakan mengejar setoran, dengan mengabaikan aspek keselamatan dan kenyamanan penumpang. Sehingga teman saya (perempuan) sampai nyeletuk, bila orang yang sedang hamil yang naik ini angkot bisa brojol di dalam angkot (hehehe). Bahkan untuk menaikkan dan menurunkan penumpang cenderung seenaknya. Ketika penumpang hendak turun dan memberi isyarat, dengan mengetuk body angkot misalnya, sopir tidak segera meminggirkan dan menghentikan laju kendaraannya. Penumpang dibiarkan naik atau turun, bahkan kadang-kadang masih di tengah jalan atau posisi angkot masih berada di sisi kanan, masih  berjalan (laju). Sungguh sangat tidak beraturan.

Dan anehnya tidak ada seorang pun penumpang yang memprotes. Mungkin mereka sudah mengaggap hal itu biasa. Karena itu, saya kemudian menyadari bahwa kondisi itu sudah dianggap lumrah oleh penumpang lainnya (warga Jakarta). Soalnya mereka sudah mengalami dan merasakan hal itu saban hari. Jadi bagi mereka itu bukan merupakan sebuah soal yang berarti. Tambahan pula, bahwa gejala ingin cepat sampai ke tujuan dengan memacu kendaraan tanpa memperhatikan kenyamanan dan keselamatan penumpang, (dugaan saya, mungkin) karena situasi sosial yang memaksa mereka harus bersikap demikian.  

Ya sudah, selamat membaca, ...

Makassar, 02 Desember 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun