Di kampung kelahiran saya, Lamakera, sampai dengan saya “minggat” ke Makassar tahun 1989 (untuk melanjutkan pendidikan (tinggi)), belum ada transportasi roda empat (mobil). Jangan kan kendaraan roda empat (mobil sebagai angkot), kendaraan roda dua, seperti sepeda motor, bahkan sepeda saja, sesuatu yang sangat langka ditemukan. Begitu pula dengan alat-alat elektronik untuk hiburan seperti televisi. Satu-satunya sarana hiburan waktu itu di kampung saya, adalah radio transistor, itu pun hanya dimiliki satu dua orang saja. Hal itu dimaklumi mengingat sampai dengan tahun 2000-an (?) fasilitas listrik belum mengaliri kampung kami, di samping faktor ekonomi yag sangat terbatas. Sumber penghasilan utama warga Lamakera hanya dari laut, sebagai nelayan. Itu juga sangat pasa-pasan, lagi pula bersifat musiman.
Mengapa perlu saya menceritakan tentang setting dan kondisi kampung saya dan masa-masa saya sekolah di jenjang menengah. Karena cerita tentang keunikan angkot di Kota Kupang, bagi saya sudah tidak asing. Soalnya selama saya sekolah di Lamahala dan Waiwerang, di kedua tempat ini sudah ada kendaraan roda empat yang digunakan sebagai angkot, apalagi sepeda motor dan sepeda. Dan kondisi angkot dengan dilengkapi berbagai variasi dan pernak pernik yang unik sudah saya saksikan ketika itu.
Ketika pertama kali berpindah ke Makassar, sebagai salah satu dari empat kota besar di Indonesia, ada sedikit “keanehan” saya rasakan saat mendapati angkot sebagai kendaraan umum (penumpang). Tidak ada yang istimewa angkot yang beroperasi di Makassar seperti yang terlihat di Waiwerang maupun Kupang. Sederhana, bahkan nyaris sangat sederhana, tidak ada yang berlebihan dan mencolok. Tidak ada pernak pernik, aksesorie dan variasi yang dilengkapi dengan sound system yang wah. Semua tampak simpel. Malah ada angkot, yang lebih dikenal dengan sebutan pete-pete yang kondisinya sudah sangat “memprihatinkan” yang seharusnya sudah tidak layak lagi tapi dipaksakan untuk tetap beroperasi.
Saya masih ingat ketika masih kuliah di IKIP Ujungpandang (sekarang Uni. Neg. Makassar, UNM), pete-pete yang biasa digunakan untuk melayani mahasiswa dari dan ke Kampus IKIP di Parangtambung adalah sejenis mobil grand max yang sudah tua, yang terbuka bagian belakang untuk naik turun penumpang. Sekarang pete-pete jenis ini sudah tidak ada lagi, yang ada adalah pete-pete berjenis suzuki cary.
Pete-pete yang beroperasi sebagai angkot di Kota Makassar dijalankan oleh seorang sopir tanpa dibantu oleh seorang kondektur, sebagaimana umumnya kita saksikan di tempat lain. Begitu pula dengan variasi yang melengkapi pete-pete tersebut, hampir jauh dari kesan glamour, terkesan sangat “miskin”.
Tapi hal itu tidak mengurangi animo masyarakat (warga kota) untuk memanfaatkannya. Mereka tidak melihat dari sudut kondisi kendaraan, melainkan pada sisi nilai guna dan manfaat. Begitu pula halnya di kota besar lainnya, seperti Jakarta. Yang penting bisa mengantar sampai ke tujuan, tidak masalah seperti apa kondisi angkot itu. Habis perkara. Beda halnya dengan angkot di Kota Kupang, benar-benar sangat “seksi”. Penuh dengan berbagai pernak-pernik dan variasi yang berkesan glamour.
Bemo yang beroperasi sebagai angkot di Kota Kupang memiliki nama-nama tertentu yang merujuk pada nama pemiliknya (perusahaan). Adalah hal yang lumrah bila bemo di Kota Kupang dan kota-kota kabupaten di Provinsi NTT diberi nama sesuai dengan nama pemiliknya atau nama perusahaan. Kadang pula mengambil nama dari nama-nama aktris atau aktor terkenal.
Begitu pula dengan body bemo dicat dan ditempel poster yang menarik. Dianggap tidak mengikuti trend bila body bemo tidak dihiasi berbagai pernak-pernik kendaraan, seperti poster-poster yang menarik, seperti foto artis, aktor, atlit, bahkan untuk penganut agama tertentu di Kupang, misalnya Kristen gambar Yesus ikut pula di tempel pada body bemo. Dan semua itu dianggap lumrah.