Mohon tunggu...
Emil WE
Emil WE Mohon Tunggu... road and bridge engineer -

Seorang penikmat sastra, anggota forum diskusi sastra “Bengkel Imajinasi”, anggota Adventurers and Mountain Climbers (AMC 1969) Malang, kini tinggal di kampung kecil di Jawa Timur sehabis menekuni profesinya sebagai urban di Jakarta. Gemar menulis di alam bebas.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Singhasari

29 Desember 2010   01:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:16 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Singhasari
Kutaraja,
‘raga kawruh astaning janmi’

I
kerap kali di jalan ini
langkah cêtak derap turangga
pak-pak-kêtêpak
pak-kêtêpak
menilap debu-debu
dalam titipan-
khas kepulan . . .
yang pepintu gerbang menatapku-
sang dwarapala
merapal hapal mantera
berpegang gempal gada
II
dari kejauhan arah Kurawan
yang mengantar kereta-
menderit laju-
takut berpagut-
di lempang bebatuan

‘hiat !
his his his . . . !
minggirlah kalian-
aral-aral nakal-

inilah aku si Arok-
pemegang cundrik gandring
luk pitu
di pamor biru . . . ha ha ha ha

ternyata akuwu Ametung sudah melengar mati
ini aku si Arok-
dalam laku-
dalam deru

lihatlah Kebo Ijo panelangsanku
yang meringkuk kikuk
dalam kubur -
di tanah Sentono kaki Gondomayit

kini tunggulah . . .
saat sasat saji kelebat
kedhaton kedhiri . . .
menenggak racun-racun . . . !!! ‘

III
Patirtan, Watugedhe
di esok yang berpulang . . . kala petang

kilau jernih mata air-
yang melingkar
di teduh beringin yang menaung-
merah bibir dalam pagut
pelukan-pelukan kerinduan
hingga-
kekelapanpun tertidur lelap . .

‘kekasihku Kendedes-
cantikku-asmaraku-
cintaku-dewiku . . .

dipelukku kini mahadewi
yang aku pun bersumpah
demi Sang Hyang asmara
di kerlingmu kematianku . . .

o adinda terkasihku
demi bintang-bebintang-
lereng arjuna-mahameru-
ranukumbala-
yang aku pun bersumpah
di parasmu kerapuhanku . .

aku kini menebah kepersisan eyang resi
bila kau lahirkan raja-raja
atas goa garbanmu-
yang bersinar- duhai cintaku-asmaraku . . .

di langgam cinta merdu semata
yang menudung-
merah bibirmu yang-
merisau diri tatapi tiara . . . ‘

ricik air pun masih berdenting
di tatap sejuk menghalau bening
dalam kerling-
dewi cantik di pikat hati
dan kepekatanpun –
hanya bisa tertidur pulas

IV
Kedhiri,
masih di tahun yang sama,

yang para bokor mendesah
dalam resah-
dalam ulah

‘paman patih,
kemarin dalam paningalku
keprabonku sudah pergi-
melesat lari
ke arah timur negeri

apakah arti ini-
akan menukarku
ke pijak rompal tanah . . . ‘

dan patih itu berkata :
‘maafkan hamba kanjeng prabu,
panjenengan janganlah gundah
biarlah keprabon itu retak melantak

tapi . . .
prabu tetap prabu kami-
panjenengan tetap raja kami-
baginda tetap ajengan kami . . .
kanjeng prabu,
kehidupan itu mandhito diri
biar apapun yang terjadi
kita harus bertegap siap
di dharma ksatrian kita

setuhune kelakuan adalah pakaian kita
kalo ngarso agung meminta kita-
hentikan nafas . . .
kitapun akan hentikan nafas
ampuni hamba kanjeng prabu ’

‘paman patih,
biarlah desir ini merintih
walau tanah tergenang darah-
akupun masih tegakkan kedhiri-
negeri kita – kedhaton kita . . . ‘
malam ini,
di pecah pikir kalut pasi
dan soko-soko penopang istana-
ditinggal wahyu-
kelap mengucap-
selamat jalan-
pakuwon kedhaton . . .

V
Desa Ganter,
di terang hari tanpa memendung ,

kaki arjuna sebelah timur-
yang pasukanpun larut bertakut-
tombak panah melesat-lesat-

irisan keris digaris tubuh-
dan pepedangpun sudah menunggu-
siapa lekas mengejal nyawa . . . .

‘ha ha ha ha ini aku si Arok-
penukarmu
ke pijak rompal tanah . . .

ini lihat keris cundrikku-
menelan tiga nyawa-
menuju empat kepala . . .
kepalamu, Kertajaya “

“ Hai keparat Arok ,
aku adalah singa-
kau bangunkan aku dari tidurku
kini nyawamu lekas melesat
biar seribu gandring kau bawa . .
pantang lantang langkahku tertebang
hai pemimpi Arok ! “

“Hoi Kertajaya -
Lakumu lakune danyang !
tak tahu aturan-
ra ngerti paperangan-
lihat ! kejatan kejat para krocomu
tatap ! getaran getar para coromu
nyawamu kini menenggak kalah ! “
‘Keparat Arok !
biar nadiku putus meretas
walau leherku pisah meregang
aku tetap Kertajaya –
aku tetap Singa –
andai Ganter ini pun banjir darah –
aku tetap aku –
Singa Kertajaya . . . Hiaaat !‘
hari ini,
yang terang hari tanpa bemendung,
itu sayatan kucurkan darah
itu luka – itu luka
Kertajaya merebah dalam akhir
dalam kemenangan dharma Ksatria

dan kedhatonpun . . .
hanya mampu menangis duka

VI
Rajapati Singhasari 1227,

pikir yang dipijak-
ternyata mendiam kata
serapah Gandring di ngiang hati
kelak teriak tujuh nyawa-

tujuh nyawa . . .
‘Dinda Prajnaparamita-
bethariku . . .
di pelukmu hangat-
belai cinta
yang memerah
di kilau tipis bibir-
merah indahmu

serapah Gandring halauku lagi
menesap risau terisak-isak
tujuh nyawa-
tujuh nyawa

mengapa telah aku berserah
hadapi takdir di peluk rindu
biarlah biar kan kuperangi
biarlah jika kan kuhadapi

andai akupun mati-
takkan ada yang kurindukan
selain desah engah asmaramu
menikam hati meracun jiwa-
duhai Kendedes Bethariku . . .

dalam kelak menerus cita
sampaikanlah salamku
berikan rinduku
untuk buah hatiku . . .
yang kuingin Singhasari-ku terbang
menukik tajam menekuk rejam
di gulipatan tinta sejarah
tanah Jawa dwipa

janganlah menangis bidadariku
titik air matamu adalah erangku
di tidur malam kian panjang
sudahlah sudah . . .
temani aku . . .

dekaplah erat tubuhku ini
masih menggigil masih menafas
sandarkan kepalamu di bahu kananku
biarkan kuurai rambut mayangmu . .

duhai dewiku-cantikku-asmaraku . .
lepaskan rasamu
biar kukecup keningmu-
biar kucium pipimu-
keindahan di tangkai nirwana . . .

andai akupun mati
takkan ada yang kutangisi
selain desah engah asmaramu
dan kemesraan manis senyummu . . .’

menitik lagi-
sesak isak kini mengucap
di kelam jagad merengkuh takdir
dalam pelukan . .
kendedes pun hanya bisa mendiam

di gemah malam panjang
yang mengusir bintang gemintang . . .

VII

aku hanyalah kekocapan kata
dalam cerita-
melaku diri-
kedhaton Singhasari . . .

Rajasa Arok mengapar diri
meresah mimpi serapah kata
umpatan Gandring kala terjerang-
waktu lalu . . . .

Anusapati kini tertera
selang lama mengepar juga
di lempang lekuk sang cundrik sakti
ditekan garang gagang Tohjaya
anginpun lekas berkata namun
Ranggawuni tiba Mahisa Campaka
Tohjaya melengar ditebas nganga
ini negeri menikai darah

tak berapa lama

tibalah masa Kertanegara . . .

VIII
Singhasari, 1289

datang sudah duta ketiga
menampik tahta-
inginkan takluk
menyuruh tunduk . . .

raja bisa meliuk sabar
menekuk gusar
yang pada akhir . .
nyala marah kian membara . . .
‘apa yang kau kata ?
Singhasari mengharus serah ?
di pucuk kaki Kubilai Khan ?
bedebah sekali !!!

katakan pada raja gendheng-mu
biar seribu duta datang padaku
aku teguh mendiri Nuswantara
si Kertanegara, Prabu Singhasari-
bukan pengecut !!! ’

‘tetapi raja . . . ‘

‘ah nggak usah banyak kata-
cangkem asumu ! terima ini !’

‘aaaaahhhhh . . . . .!’

sayatan keris meluka wajah
menggoret dendam
menggaris geram
dalam murka terkepal genggam

‘pulanglah pada raja gendhengmu
katakan . . . suruh kirim muka tikusnya
biar kuukir dengan keris
biar kupahat dengan pedang . . .
ini aku Kertanegara-
bukan raja pengecut !!’

selekas kedip raja pun pergi
meninggal tahta-
melangkah lagi
dinaung payung-
dan dayang cantik taburkan bunga

tiba kini suatu kata
torehan keris menggaris muka
segera pergi temui raja
dalam luka . .
dalam luka . . .

IX
Kedhiri {Gelang-gelang}
ada saat dalam petaka
jika saja terucap jika
tetapi,
serdadu colamandala masih di laga
menyerbu sriwijaya . . .
expedisi pamalayu . . .

angkara tiba
langsung merasuk
di dada rimbun
langsung membusuk
dalam nafsu . .
membendung haus
menimang tahta . . .
‘Ardharaja Puteraku,
pasukan kota sudah lowong
ada saatnya-
kita datang merebut tahta . .’

‘Ayahanda Jayakatwang,
tik-tak kita harus jitu
Tumapel kini sudah lengang
saat tiba kita ganyang . . . ‘

tragedi pilu di mulut pedu
akankah rengka-
mengerang lagi Singhasari
dalam berontak-
serdadu Gelang-Gelang

X
1290,

kala pagi di jalan ini
langkah cêtak derap turangga
pak-pak-kêtêpak
pak-kêtêpak
menilap redup debu
dalam titipan-
khas ketakutan . . .
yang pepintu gerbang menatapku-
sang dwarapala
merapal hapal mantera
berpegang gempal gada
dari kejauhan arah Kedhiri
yang mengantar pasukan-
menderit teriak-
menyiap perang . .
di lempang bebatuan

tak seberapa lama
sampai sudah pikatan perang
dalam erang-
mendengus letih
menusuk lawan

Singhasari ditelikung-
kawanan perompak pemberontak
tiba sudah pepintu benteng
menesir raga-
mengerah nyawa . . . .
Gelang-gelang pun terhenti
pepintu kokoh mendegup pasi
bersegera si Ardharaja
putuskan harap membunuh dharma
gerbang barat kini terbuka . . .

‘Penghianat kalian semua-
keparat Jayakatwang
bajingan Ardharaja . .
kesamparan akan menundungmu . . .

hai nyawa-nyawa prajurit Singhasari . .
kibarkan merah putih mu !
memerahlah dalam darah
meleburlah dalam suci . . .

panji kita adalah dharma-
ksatrian kita . . .
mahkota kita-
kejayaan kita . .

wahai ksatria –ksatria Singhasari !
hunus penombakmu !
bentangkan gendhewamu !
melengkinglah-
dalam ringkik kegaranganmu ! ‘

‘hai Kertanegara-
dimana kau ?
bersembunyikah kau ?
tatap mataku ini
mata dewa pencabut nyawa !’

‘jaga mulutmu keparat Jayakatwang !
ini aku Kertanegara
hadapi aku-
biar monyet-monyet pasukanmu tahu-
dengan siapa dia bermain !
dasar pagebluk negeri !’

Ardharaja mundur bermulut jengkang
sembunyi diri di takut luka
kini tiba dalam sejarah
dua singa meregang nyawa . .

Wijaya duduk mengisak tangis
ratapi negeri terporak-porak
ciumi panji menggetak serak
sang merah putih di limpung tanah . . .

dua singa mendenting sukma
mencabut keris menyayat-nyayat
lengkap sudah satu berkalah
entah siapa bernafas pegat

beribu jiwa tertidur jua
mengerang duka tersayat nyawa
tetapi . .
denting pepedang masih menyata . . .

dewa kematian tergopoh-gopoh
menyibuk diri cabuti titah
kemarin hidup kini memati
dalam robek sayatan ini

bayu menitis di bajra lebat
beriring jatuh kedhaton kebat
kejayaan nyata tinggal sesaat . .
membisu diam mendekam dendam

Kertanegara . . .
Kertanegara . . .
mendekap luka sayatan sayat
melimbung diri bernafas berat

dan . .
dewa kematian menyapanya :
‘Prabu, peganglah erat tangan kananku . . . ‘

Singhasari . . . .
di peraduan merisau diri . . . . .
merisau diri . . . .
Singhasari 2001,
Dalam sapaan Dwarapala –Patirtan Watugedhe –
& Anggun Candi,
Sisi sisa keagungan,
Masa lalu,
Kala itu . . .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun