‘paman patih,
biarlah desir ini merintih
walau tanah tergenang darah-
akupun masih tegakkan kedhiri-
negeri kita – kedhaton kita . . . ‘
malam ini,
di pecah pikir kalut pasi
dan soko-soko penopang istana-
ditinggal wahyu-
kelap mengucap-
selamat jalan-
pakuwon kedhaton . . .
V
Desa Ganter,
di terang hari tanpa memendung ,
kaki arjuna sebelah timur-
yang pasukanpun larut bertakut-
tombak panah melesat-lesat-
irisan keris digaris tubuh-
dan pepedangpun sudah menunggu-
siapa lekas mengejal nyawa . . . .
‘ha ha ha ha ini aku si Arok-
penukarmu
ke pijak rompal tanah . . .
ini lihat keris cundrikku-
menelan tiga nyawa-
menuju empat kepala . . .
kepalamu, Kertajaya “
“ Hai keparat Arok ,
aku adalah singa-
kau bangunkan aku dari tidurku
kini nyawamu lekas melesat
biar seribu gandring kau bawa . .
pantang lantang langkahku tertebang
hai pemimpi Arok ! “
“Hoi Kertajaya -
Lakumu lakune danyang !
tak tahu aturan-
ra ngerti paperangan-
lihat ! kejatan kejat para krocomu
tatap ! getaran getar para coromu
nyawamu kini menenggak kalah ! “
‘Keparat Arok !
biar nadiku putus meretas
walau leherku pisah meregang
aku tetap Kertajaya –
aku tetap Singa –
andai Ganter ini pun banjir darah –
aku tetap aku –
Singa Kertajaya . . . Hiaaat !‘
hari ini,
yang terang hari tanpa bemendung,
itu sayatan kucurkan darah
itu luka – itu luka
Kertajaya merebah dalam akhir
dalam kemenangan dharma Ksatria
dan kedhatonpun . . .
hanya mampu menangis duka
VI
Rajapati Singhasari 1227,
pikir yang dipijak-
ternyata mendiam kata
serapah Gandring di ngiang hati
kelak teriak tujuh nyawa-