kala pagi di jalan ini
langkah cêtak derap turangga
pak-pak-kêtêpak
pak-kêtêpak
menilap redup debu
dalam titipan-
khas ketakutan . . .
yang pepintu gerbang menatapku-
sang dwarapala
merapal hapal mantera
berpegang gempal gada
dari kejauhan arah Kedhiri
yang mengantar pasukan-
menderit teriak-
menyiap perang . .
di lempang bebatuan
tak seberapa lama
sampai sudah pikatan perang
dalam erang-
mendengus letih
menusuk lawan
Singhasari ditelikung-
kawanan perompak pemberontak
tiba sudah pepintu benteng
menesir raga-
mengerah nyawa . . . .
Gelang-gelang pun terhenti
pepintu kokoh mendegup pasi
bersegera si Ardharaja
putuskan harap membunuh dharma
gerbang barat kini terbuka . . .
‘Penghianat kalian semua-
keparat Jayakatwang
bajingan Ardharaja . .
kesamparan akan menundungmu . . .
hai nyawa-nyawa prajurit Singhasari . .
kibarkan merah putih mu !
memerahlah dalam darah
meleburlah dalam suci . . .
panji kita adalah dharma-
ksatrian kita . . .
mahkota kita-
kejayaan kita . .
wahai ksatria –ksatria Singhasari !
hunus penombakmu !
bentangkan gendhewamu !
melengkinglah-
dalam ringkik kegaranganmu ! ‘
‘hai Kertanegara-
dimana kau ?
bersembunyikah kau ?
tatap mataku ini
mata dewa pencabut nyawa !’
‘jaga mulutmu keparat Jayakatwang !
ini aku Kertanegara
hadapi aku-
biar monyet-monyet pasukanmu tahu-
dengan siapa dia bermain !
dasar pagebluk negeri !’
Ardharaja mundur bermulut jengkang
sembunyi diri di takut luka
kini tiba dalam sejarah
dua singa meregang nyawa . .
Wijaya duduk mengisak tangis
ratapi negeri terporak-porak
ciumi panji menggetak serak
sang merah putih di limpung tanah . . .