o adinda terkasihku
demi bintang-bebintang-
lereng arjuna-mahameru-
ranukumbala-
yang aku pun bersumpah
di parasmu kerapuhanku . .
aku kini menebah kepersisan eyang resi
bila kau lahirkan raja-raja
atas goa garbanmu-
yang bersinar- duhai cintaku-asmaraku . . .
di langgam cinta merdu semata
yang menudung-
merah bibirmu yang-
merisau diri tatapi tiara . . . ‘
ricik air pun masih berdenting
di tatap sejuk menghalau bening
dalam kerling-
dewi cantik di pikat hati
dan kepekatanpun –
hanya bisa tertidur pulas
IV
Kedhiri,
masih di tahun yang sama,
yang para bokor mendesah
dalam resah-
dalam ulah
‘paman patih,
kemarin dalam paningalku
keprabonku sudah pergi-
melesat lari
ke arah timur negeri
apakah arti ini-
akan menukarku
ke pijak rompal tanah . . . ‘
dan patih itu berkata :
‘maafkan hamba kanjeng prabu,
panjenengan janganlah gundah
biarlah keprabon itu retak melantak
tapi . . .
prabu tetap prabu kami-
panjenengan tetap raja kami-
baginda tetap ajengan kami . . .
kanjeng prabu,
kehidupan itu mandhito diri
biar apapun yang terjadi
kita harus bertegap siap
di dharma ksatrian kita
setuhune kelakuan adalah pakaian kita
kalo ngarso agung meminta kita-
hentikan nafas . . .
kitapun akan hentikan nafas
ampuni hamba kanjeng prabu ’