Lebih dari itu, kegiatan ini sesungguhnya diutamakan sebagai daily therapy, dari pada pikiran mereka "nggrambyang" (melayang) kemana-mana.
Secara pribadi kami mendapatkan hikmah pembelajaran (kalau bahasa kerennya lesson learned) yang amat menarik dan kuat, bahwa kalau "kader desa" dan masyarakat, dengan didukung pemerintah desa "tercerahkan" dan komit, maka semua program yang ada di desa bisa berjalan baik.Â
Hampir semua program pemerintah yang besar dan prioritas nasional yang kadang didanai oleh lembaga-lembaga dana multinasional seperti WHO dan UNICEF.
Sebut saja sejak dulu sampai sekarang seperti program KB (keluarga berencana/family planning), pemberantasan malaria, imunisasi, program kesehatan ibu hamil dan menyusui, program peningkatan gizi anak dan keluarga, program penurunan stanting, program peningkatan ekonomi kelompok perempaun, belum lagi kegiatan simpan-pinjam dan arisan, sampai program-program bantuan pemerintah untuk kaum miskin seperti PKH (Program Keluarga Harapan), Kartus Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dll selalu memakai kader kesehatan desa sebagai ujung tombak (front line) yang sangat penting dan besar sekali peranannya. Kami tidak bisa bayangkan bagaimana nasib program-program itu tanpa adanya kader kesehatan desa.
Kami tahu persis sepak terjang para kader desa tersebut, karena lebih dari 20 tahun saya bergiat di dunia pemberdayaan baik melalui LSM lokal atau menjadi tenag ahli di beberapa program Pemerintah Pusat melalui kementerian. Sementara itu, berkaitan dengan Pemerintahan Desa, maka kunci utama terletak pada Kepala Desa.Â
Jika seorang kepala desa mampu mencapai titik "kesadaran tertentu yang positif" tentang pentingnya sebuah program, maka niscaya program ini akan berjalan baik dan didukung oleh semua perangkat keperintahan dan masyarakat. Mengapa?
Karena dia sendiri (si kepala desa) dengan kesadaran pribadi (belum tentu lantaran kesadaran akan posisi jabatannya yang strategis-penting), akan berperan aktif sebagai inspirator, penggerak, dan motivator.Â
Mari kita hitung, jika kader desanya aktif bergerak tetapi kepala desanya diam saja, program tidak berjalan baik seperti diharapkan. Jika kepala desanya "ok" katakanlah begitu, tetapi kader desanya melempem, program juga akan berjalan timpang. Jika kedua-duanya bertemu dalam "frekuensi" yang relatif sama, maka yakinlah program di desa itu akan berjalan dengan mulus dan bermanfaat bagi orang banyak.
Desa sekarang ini, secara konstelasi ketatanegaraan dan sosial, sangat berbeda dengan desa 25 atau 30 tahun yang lalu. Dengan berbagai perangkat perundang-undangan dan peraturan Pemerintah Pusat, desa saat ini "lebih otonom". Dia bisa disebut "negara kecil" dalam negara besar Indonesia.Â
Desa memiliki anggaran desa, yang bersumber dari 3 aspek, yaitu: Pembagian dari anggaran Pusat dan anggaran Daerah (yang dihitung dan dibagi menurut perhitungan tertentu), anggaran Dana Desa (yang dihitung dengan perhitungan tertentu), dan sumber Pendapatan Asli Desa.
Desa dalam hal ini Pemerintah Desa, boleh memanfaatkan Anggaran Desa itu untuk kepentingan pembangunan masyarakatnya berbasis pada hasil keputusan Musyawarah Desa. Itulah, desa kini lebih otonom, sangat berbeda dengan desa 25-30 tahun yang lalu atau lebih, dimana desa hanya sekedar kaki tangan Pemerintah Pusat.