Mohon tunggu...
Emilianus Elip
Emilianus Elip Mohon Tunggu... Human Resources - Direktur Yayasan Nawakamal Mitra Semesta (https://nawakamalfoundation.blogspot.com)

Berlatar pendidikan Antropologi. Menulis....supaya tidak gila!!! Web: https://nawakamalfoundation.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ibu Dini, dari Dendam Menuju Pengabdian

2 Mei 2023   23:43 Diperbarui: 3 Mei 2023   09:22 1162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para kader "Luhur Jiwo" dan anggotanya termasuk ODDP dan keluarganya mulai berkumpul/Dok Pribadi

Seri Kisah Kader Kesehatan Jiwa: "Ibu Dini: Dari Dendam Menuju Pengabdian"
Oleh: Emilianus Elip dan Kuni A. Habibah

***

Sekitar 7 tahun lalu, ibu ini hatinya terpuruk. Jiwanya penuh dendam. Keluarganya seakan-akan tertimpa musibah yang teramat berat. Anak lelakinya yang kala itu masih SMP, oleh karena suatu kejadian bersama teman-temannya, entah karena apa penyebabnya salah satu temannya terbunuh. Anak lelaki ibu ini, dituduh membunuh. 

Si ibu yakin anaknya tidak terlibat, seperti diucapkan anak lelakinya bahwa dia sama sekali tidak terlibat. "Saya waktu itu tak mampu menyewa pengacara," kata si ibu. Anak lelaki ini akhirnya dinyatakan bersalah. Dan dipenjara khusus untuk anak-anak. 

Dia terpaksa keluar dari sekolah. Beban psikologi yang dipikul terlalu berat. Bayangkan saja, seorang anak laki-laki masih remaja, dituduh membunuh dan dipenjara. 

Depresi berkepanjangan, tak tertahankan. Akhirnya secara medis si anak ini dinyatakan mengalami gangguan jiwa, yang sering disebut sebagai ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) atau ODDP (orang dengan disabilitas psikososial).

Itulah kisah Ibu Dini, lengkapnya Wardani (59). Ibu Dini adalah seorang perempuan desa yang aktif. Namun oleh karena kasus itu, dia meminta berhenti jadi kader desa dan bermacam kegiatan sosial lainnya di desa. 

Ibu Dini memilih hanya mau mengurus anak lelakinya saja. Perlu pembaca ketahui bahwa orang dengan gangguan jiwa memang membutuhkan perhatian yang ekstra, hampir sepanjang hidupnya. 

Perhatian tersebut menyangkut berbagai segi dalam kehidupan seseorang misalnya, perhatian untuk merasa diterima, perhatian agar jangan sampai merasa kecewa yang mendalam, perhatian untuk disiplin minum obat yang disarankan, perhatian untuk selalu melakukan activity daily living (seperti mandi, berganti pakaian, merawat diri) dan masih banyak yang lain.

Untung saja ibu Dini adalah seorang kader desa sehingga sedikit banyak dia tahu apa yang harus dilakukan untuk merawat anak lelakinya itu.

Namun bagaimanapun, sebagai bagian dari kehidupan sosial masyarakat desa pada umumnya, ibu Dini dan keluarganya, tidak lepas dari stigma sosial masyarakat yang cenderung bernuansa negatif. 

Inilah kebiasaan, atau bisa disebut bagian dari kebudayaan kita, bahwa orang dengan gangguan jiwa dan keluarganya dipandang, dianggap, di-cap, diberi-label (labeling) yang buruk. 

Labeling itu berbeda-beda di setiap kelompok kebudayaan masyarakat kita, namun makna kulturalnya hampir sama saja. Kalau di Jawa mereka di labeli "wong edan" (orang gila), "wong ora genep" (orang yang jiwanya tidak utuh), "wong ngengleng" (orang yang bicara, berpikir, bertindak tidak jelas), dianggap kena tulah jin atau setan, bahkan dianggap orang yang memiliki dosa keturunan keluarga yang tidak atau beleum terselesaikan di masa lalu. Pembahasan rada rinci soal ini lihat artikel kami "Stigma Sosial, Emang Menyakitkan".

Namun amat kebetulan bahwa kira-kira dua tahun setelah kasus itu, di desa ibu Dini, salah satu desa yang berlokasi di wilayah Kec. Godean, Kabupaten Sleman-Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), sedang dimulai program kesehatan jiwa masyarakat. Kegiatan-kegiatan awal berupa sosialisasi dan pelatihan-pelatihan dasar untuk kader desa. 

Sudah cukup lama provinsi DIY memberikan perhatian kepada program kesehatan jiwa masyarakat. Bahkan sebelum diundangkannya UU No. 8/2016 tentang Disabilitas, DIY sudah mengeluarkan Perda No. 81/2014 tentang Penanggulangan Bebas Pasung, kemudian diikuti dengan Perda-Perda lain yang berupaya mensukseskan atau melancarkan kegiatan tentang kesehatan jiwa masyarakat dan dukungan untuk ODDP.

Para kader desa yang paham dan sangat tahu keaktifan ibu Dini sewaktu menjadi kader, akhirnya mencoba mendekati ibu Dini dan keluarganya. Para kader ini ingin mengajak ibu Dini untuk aktif kembali, dan memperkirakan bahwa program kesehatan jiwa yang sedang dimulai di desa ini pasti punya manfaat untuk keluarganya. 

Dikisahkan oleh para kader tersebut, tidak mudah mendekati dan membujuk ibu Dini "keluar" dari sarang kepasrahannya. Namun mereka tidak putus asa.

Para kader ini merasa bahwa mereka tidak mampu atau tidak bisa memberi apa-apa kepada ibu Dini dan keluarga, namun mereka seakan percaya bahwa ibu Dini dan keluarga akan mendapatkan manfaat dan barokah yang berarti jika aktif kembali menjadi kader.

Ibu Dini perlahan-lahan bangkit, begitupun suaminya. Keduanya aktif kembali dalam kegiatan-kegiatan sosial desa, khususnya sebagai kader desa. Ibu Dini dan suaminya seperti merasakan oase baru atas diri dan hidup anak lelakinya. 

Merasa mencapai titik kepasrahan, bercampur semangat membara, seakan-akan bahwa mungkin inilah "jalan dan barokah" Tuhan. Jalan untuk bangkit lepas dari penyesalan, keputusasaan, dan keterpurukan keluarga, dan berubah menjadi jalan untuk mengabdi bagi orang lain yang senasib dengan anak lelakinya. Ibu Dini berikrar untuk mengabdi melayani ODDP di desanya.

Gayung bersambut, sesungguhnya setelah dua tahun seluruh waktu dan perhatian ibu Dini tercurah dan hanya untuk anak lelakinya, si anak ini menjadi ODDP yang cukup pulih. 

Ada refleksi dan pembelajaran yang sangat baik yang ditemukan ibu Dini seperti misalnya jangan menyakiti, jangan menganggap rendah dan tak berguna, selalu berupaya membuka hati untuk berdiskusi berdialog, harus disiplin kontrol dan minum obat, harus sabar yang seakan tanpa batas, dan masih banyak lagi yang lain. 

Perlu diketahui oleh khalayak pembaca, bahwa semakin sering ODDP mengalami kekambuhan, maka semakin berat proses pemulihan serta dosis obat yang harus diberikan pada masa perawatan di periode selanjutnya. Maka mulailah ibu Dini mengikuti berbagai training tentang kesehatan jiwa dan pelayanan dasar untuk ODDP. 

Semakin hari kian aktif dia berkiprah menjadi Kader Kesehatan Jiwa di desanya. Kegiatan aksi pertama di desanya yaitu memastikan berapa jumlah ODDP. Tanpa data pasti kita mau berbuat apa, bagaimana kondisi mereka, apa targetnya. Maka dilakukanlah identifikasi terhadap semua keluarga di desa tersebut yang didukung oleh Pemerintah Desa.

Terlihat map file-file yang adalah data base ODDP di SHG Luhur Jiwo. Terlihat pula produk hasil pertanian dalam kemasan dan kerajinan para ODDP/Dok Pribadi
Terlihat map file-file yang adalah data base ODDP di SHG Luhur Jiwo. Terlihat pula produk hasil pertanian dalam kemasan dan kerajinan para ODDP/Dok Pribadi

Ditemukan ada 24 ODDP dengan berbagai umur, kondisi, dan ciri gejalanya. Jumlah ini yang cukup tinggi untuk lingkup sebuah desa. Oleh ibu Dini data ini kemudian dibuat semacam file-file "data base" yang disimpan di kantor desa sebagai sekretariat kegiatan kesehatan jiwa di desa tersebut. 

Data base ini selalu diupdate oleh Kader Kesehatan Jiwa melalui Posyandu Jiwa yang juga dikembangkan. Update data itu antara lain tentang kondisi kesehatan umum terkini, kondisi kesehatan jiwa terkini, kedisiplinan minum obat, gejala-gejala psikiatrik terbaru, dan lain-lain. Pada tahap berikutnya kemudian dibentuklah kelompok SHG (self help group) yang mengambil nama Luhur Jiwo (jiwa yang luhur). 

Kelompok ini adalah bersifat inklusi sebab bercampur antara ODDP, non ODDP dan keluarga miskin lainnya. Sehingga total anggotanya menjadi sekitar 44 orang. Saya yakin saudara/saudari bapak/ibu yang berkunjung ke kelompok ini, melihat kegiatannya, niscaya akan bergetar hati Anda dengan nama yang indah tersebut. Suatu nama yang amat menyentuh hati.

SHG Luhur Jiwo memiliki pertemuan rutin setiap bulan sekali. Bertempat di balai desa, sehingga para keluarga harus membawa atau bersama si ODDP datang ke balai desa. 

Fungsi utama SHG ini adalah media sosialisasi, inklusi, bertemua antara ODDP dan non ODDP. Dalam pertemuan dilakukan berbagai hal seperti pendalaman pengetahuan, sekaligus sharing pengelaman, tentang sebab-sebab orang bisa mengalami gangguan jiwa, apa pemicunya, bagaimana ciri-ciri gejalanya, tanda-tanda ODDP akan mengalami kekambuhan, bagaimana menjadi pendamping ODDP atau biasa disebut caregiver, dll. 

Menurut para kader, SHG atau kelompok inklusi ODDP ini merupakan forum sosialisasi ODDP paling mudah dan paling memungkinkan. Mengapa?

Sebab tidak mudah membawa atau mengajak ODDP dan keluarganya untuk keluar rumah bersama-sama, apalagi dalam pertemuan umum cukup banyak orang seperti pertemuan rutin SHG ini. 

Kita tidak bisa tergesa-gesa, apalagi memaksa agar mereka segera mau keluar rumah bersosialisasi. Jika mereka merasa dipaksa dan kemudian tertekan, ini akan menjadi pemicu stressor psikologis yang sangat merugikan.

Para ODDP dan keluarganya kini tidak malu lagi datang ke pertemuan kelompok. Pada tahap-tahap awal hanya 2 atau 3 ODDP yang mau diajak datang ke pertemuan ini.

Kini hampir semua ODDP mau datang bersama keluarganya setiap ada pertemuan. Anak laki-laki Bu Dini pun tergabung di dalam kelompok ini dan mendapatkan dukungan permodalan untuk usahanya. Maklum dia kini sudah cukup dewasa. 

"Saya tidak pernah malu lagi," kata bu Dini, tegas. 

Sudah sekitar 4 tahun belakangan ini sejak 2020, 2021, 2022, dan 2023 pemerintah desa telah memasukkan program kesehatan jiwa dan bantuan untuk ODDP ke dalam APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa).

Maklum, desa ini memiliki anggaran desa yang cukup besar karena wilayahnya luas dan jumlah penduduknya banyak. Melalui persetujuan dan dukungan Pemerintah Desa lantas dilaunching pula Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ), sebagaimana disarankan Kemenkes.

Para kader kesehatan jiwa SHG Luhur Jiwo berseragam biru, dan para ODDP beserta keluarganya (sebelah kanan)/Dok Pribadi
Para kader kesehatan jiwa SHG Luhur Jiwo berseragam biru, dan para ODDP beserta keluarganya (sebelah kanan)/Dok Pribadi

Kegiatan lain yang cukup bagus adalah SHG tersebut juga mendapat suntikan dana dari desa untuk mengembangkan kegiatan income-generating bidang pertanian dan kerajinan (makanan kecil, kain batik, dll.) sejak 4 tahun lalu. 

Bidang pertanian di pilih karena memang sebagian besar anggota SHG adalah keluarga petani dengan tanaman produksi seperti padi dan palawija (terong, lombok, mentimun, tomat, dll).

Sementara itu bagi keluarga yang bukan berbasis pertanian, dikembangkan kerajinan dan makanan. 

Apakah sudah untung? Belum banyak, kata Bu Dini, tetapi adalah yang bisa dibagikan untuk keluarga anggota guna menambah income anggota pada setiap pertemuan akhir tahun.

Lebih dari itu, kegiatan ini sesungguhnya diutamakan sebagai daily therapy, dari pada pikiran mereka "nggrambyang" (melayang) kemana-mana.

Secara pribadi kami mendapatkan hikmah pembelajaran (kalau bahasa kerennya lesson learned) yang amat menarik dan kuat, bahwa kalau "kader desa" dan masyarakat, dengan didukung pemerintah desa "tercerahkan" dan komit, maka semua program yang ada di desa bisa berjalan baik. 

Hampir semua program pemerintah yang besar dan prioritas nasional yang kadang didanai oleh lembaga-lembaga dana multinasional seperti WHO dan UNICEF.

Sebut saja sejak dulu sampai sekarang seperti program KB (keluarga berencana/family planning), pemberantasan malaria, imunisasi, program kesehatan ibu hamil dan menyusui, program peningkatan gizi anak dan keluarga, program penurunan stanting, program peningkatan ekonomi kelompok perempaun, belum lagi kegiatan simpan-pinjam dan arisan, sampai program-program bantuan pemerintah untuk kaum miskin seperti PKH (Program Keluarga Harapan), Kartus Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dll selalu memakai kader kesehatan desa sebagai ujung tombak (front line) yang sangat penting dan besar sekali peranannya. Kami tidak bisa bayangkan bagaimana nasib program-program itu tanpa adanya kader kesehatan desa.

Kami tahu persis sepak terjang para kader desa tersebut, karena lebih dari 20 tahun saya bergiat di dunia pemberdayaan baik melalui LSM lokal atau menjadi tenag ahli di beberapa program Pemerintah Pusat melalui kementerian. Sementara itu, berkaitan dengan Pemerintahan Desa, maka kunci utama terletak pada Kepala Desa. 

Jika seorang kepala desa mampu mencapai titik "kesadaran tertentu yang positif" tentang pentingnya sebuah program, maka niscaya program ini akan berjalan baik dan didukung oleh semua perangkat keperintahan dan masyarakat. Mengapa?

Karena dia sendiri (si kepala desa) dengan kesadaran pribadi (belum tentu lantaran kesadaran akan posisi jabatannya yang strategis-penting), akan berperan aktif sebagai inspirator, penggerak, dan motivator. 

Mari kita hitung, jika kader desanya aktif bergerak tetapi kepala desanya diam saja, program tidak berjalan baik seperti diharapkan. Jika kepala desanya "ok" katakanlah begitu, tetapi kader desanya melempem, program juga akan berjalan timpang. Jika kedua-duanya bertemu dalam "frekuensi" yang relatif sama, maka yakinlah program di desa itu akan berjalan dengan mulus dan bermanfaat bagi orang banyak.

Desa sekarang ini, secara konstelasi ketatanegaraan dan sosial, sangat berbeda dengan desa 25 atau 30 tahun yang lalu. Dengan berbagai perangkat perundang-undangan dan peraturan Pemerintah Pusat, desa saat ini "lebih otonom". Dia bisa disebut "negara kecil" dalam negara besar Indonesia. 

Desa memiliki anggaran desa, yang bersumber dari 3 aspek, yaitu: Pembagian dari anggaran Pusat dan anggaran Daerah (yang dihitung dan dibagi menurut perhitungan tertentu), anggaran Dana Desa (yang dihitung dengan perhitungan tertentu), dan sumber Pendapatan Asli Desa.

Desa dalam hal ini Pemerintah Desa, boleh memanfaatkan Anggaran Desa itu untuk kepentingan pembangunan masyarakatnya berbasis pada hasil keputusan Musyawarah Desa. Itulah, desa kini lebih otonom, sangat berbeda dengan desa 25-30 tahun yang lalu atau lebih, dimana desa hanya sekedar kaki tangan Pemerintah Pusat.

Namun harus kita ingat, bahwa yang namanya local leadership (kepemimpinan lokal) setingkat desa, meski di era modern saat ini, di sebagian besar masyarakat desa di Indonesia masih hidup model kepemimpinan primus interparest (yang terkuat yang memimpin) atau power center leadership (kepemimpinan terpusat oleh mereka yang memiliki kekuasaan) baik kekuatan golongan, suku, marga, clan, dll. 

Oleh karena itu, tidak banyak juga diantara kepala desa (mewakili kepemerintahan desa) dengan masyarakatnya yang mampu matching, klop, satu frekuensi, yang dapat membangun mengembangkan program menjadi lebih baik di desanya. Selalu saja, dan banyak, yang amburadul tidak karuan arahnya.

Sodara/sodari bapak/ibu para pembacana, kembali kepada program untuk kesehatan jiwa dan pelayanan ODDP, mau tidak mau kader desa, masyarakat, dan didukung oleh pemerintahan desa, adalah basis utama dari Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat untuk isu kesehatan jiwa dan pelayanan ODDP.

Ini adalah kenyataan, dan harus kita sadari bersama, bahwa infrastruktur kesehatan jiwa, rehabilitasi, dan pelayanan untuk ODDP masih sangat terbatas dan belum merata di Indonesia. 

Di Jawa saja masih kualahan, bayangkan apalagi di luar Jawa di daerah terpencil, kepulauan, dan di ujung-ujung batas wilaya antar negara. Belum lagi, bahwa peraturan BPJS, hanya bisa menanggung seorang ODDP di rawat di rumah sakit rehabilitasi pemerintah selama 14 minggu (+ 3 bulan 2 minggu). Setelah itu si pasien mau tidak mau harus kembali ke keluarganya, ke masyarakatnya. 

Sementara di panti atau rumah sakit rehabilitasi ODDP milik swasta, selain sangat jarang, tentu biayanya selangit. Keluarga ODDP yang rata-rata adalah miskin pasti tidak mampu membayar. Kalau si pasien kembali ke keluarga dan masyarakatnya, apakah keluarga dan masyarakat sudah siap?! Inilah yang memungkinkan bahwa si ODDP sering mengalami kekambuhan kembali, secara berulang.

Akhirnya masyarakat desa, melalui penggeraknya yaitu kader kesehatan desa, difasilitasi oleh Pemerintah Desa, adalah tempat dimana ODDP dan keluarganya harus diberdayakan.

Itulah sebabnya pentingnya pendekatan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat. Namun isu ini masih dianggap remeh-temeh. Isu kecil. Target grupnya sedikit. Isu tidak "menggelegar". Bukan isu prioritas internasional. Isu kurang laris "dijual". Kami mengenal secara dekat semua pihak yang saya sebutkan tadi. 

Mereka itu tidak paham, mungkin mendengar sih pernah, konsep-konsep besar seperti Disability Rights Convention, SDGs-30, inclusion, gender mainstreaming, human rights, people centre development and movement, good-governance, climate change, dll yang sering di dimusyawarohkan oleh "para pembesar" dan "orang penting" pendekar perubahan pembangunan. 

Sepertinya masyarakat, para kader desa, dan para perangkat desa itu cukup familiar jika dengar atau dihadapkan pada istilah musyawarah, kesepakatan kerja, peran dan tugas, kelompok usaha ekonomi, manajemen dan pembukuan kelompok, persamaan hak dan kesempatan, pemberdayaan perempuan, migrasi kekota, ketimpangan kemiskinan, gizi buruk, dan lain-lain yang sederhana-sederhana saja.

Ibu Dani dan para kader kesehatan jiwa di desanya, semakin berkembang kegiatannya, dan sudah 1 tahun terakhir mengembangkan kegiatan "Jumat Berkat".

Setiap sebulan sekali, tim SHG dan ODDP yang sudah pulih, berkeliling desa menawarkan makanan, kerajinan, dan hasil pertanian untuk dibeli oleh penduduk sekalian menyumbang atau memberi bantuan. "Untuk apa bu", tanya saya suatu saat. "Ya untuk usaha promosi pak....juga penyadaran, sosialisasi, sekaligus mengurangi pandangan negatip itu lho...apa itu stigma ya...", jawabnya sederhana.

Kami bisa menghubungkan semua yang dilakukan ibu Dini dan teman-teman kadernya, SHG-nya, dukungan Anggaran Desa, musyawarah masyarakat yang menyetujui program untuk kesehatan jiwa dan ODDP, kesungguhan kepala Desa dan perangkat kepemerintahannya dengan semua konsep serta istilah "para dewa" yang saya sebutkan tadi. Kami pun bisa menjelaskan semua konsep dan istilah "para dewa" itu kepada mereka. Tapi, apa perlu?! Sebegitu pentingkah mereka tahu persis?! Kami takut mereka jadi mumet, pusing!

Tidak ayal lagi, Kelompok Luhur Jiwo ini, dengan segala kegiatannya yang beragam dan bersemangat. Tahun 2021 pernah dinobatkan oleh Kemenkes sebagai kelompok kader paling inspiratif se-Indonesia.

Ibu, hormat taklim saya bu! Kami merefleksi dalam diri: "Apa ya kita perlu mengalami seperti ibu Dini, untuk perhatian dan respek terhadap ODDP dan isu kesehatan jiwa masyarakat?"

***

Catatan: Jika Anda ingin mengetahui lebih banyak tentang ODDP dan program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat untuk mereka, silahkan kunjungi website kami atau kontak nawakamalfoundation@gmail.com kami akan menerima dengan senang hati.

Emilianus Elip: Direktur Yayasan Nawakamal Mitra Semesta. Berlatar belakang pendidikan Antropologi. Lama bergiat dalam bidang pemberdayaan masyarakat dan penelitian di bidang sosial-budaya.

Kuni Aisyah Habibah: Berlatar belakang pendidikan S-1 Psikologi. Aktif mengembangkan pendidikan karakter untuk kaum muda. Koordinator program di Yayasan Nawakamal Mitra Semesta sejak 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun