Mohon tunggu...
Pascalis Muritegar EmbuWorho
Pascalis Muritegar EmbuWorho Mohon Tunggu... Lainnya - Thinking Creature

Menulis adalah Senjata.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merawat Asa Si Pembawa Bahagia

31 Desember 2020   12:33 Diperbarui: 31 Desember 2020   13:12 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Perawat Asa Si Pembawa Bahagia | dokpri

Waktu itu sudah maghrib, kulihat dia berjalan menyeruak gelapnya lorong kampus. Dengan tas gendong di pundak, baju kotak-kotak, dan celana jeans longgar dia berjalan penuh semangat menghadap kami, tim pewawancara anggota baru Lembaga Pers Mahasiswa fakultas.

"Apa yang kamu harapkan dengan bergabung di organisasi ini?" tanya rekanku, sesama pewawancara, sambil memasang wajah garang.

"Saya ingin berkontribusi memajukan organisasi ini, kak!" jawabnya dengan lantang. Tidak terdengar sedikitpun keraguan di suaranya.

"Terus, kamu mau jadi apa kalau sudah bergabung di sini?" tanya temanku dengan nada tinggi.

"Sekarang saya bersedia ditempatkan di divisi manapun, tapi dua tahun lagi, saya ingin jadi ketua kak!" ujarnya.

Mataku setengah memicing ke arahnya. Tidak bergeming sedikitpun pandanganku dari anak perempuan berperawakan kecil ini. Aku berpikir, "Andaikan aku di posisi anak ini mungkin jawabanku tidak akan seperti itu."

"Kalau kamu gagal?" temanku nampak makin penasaran.

"Ya, saya akan berusaha keras agar berhasil," jawabnya lantang.

 "Sorry... nama kamu tadi siapa?" tanyaku menyela percakapan mereka berdua.

"Fira kak," jawabnya.

Sebenarnya hal itu bisa saja aku tanyakan ke temanku setelah selesai wawancara, tapi penasaran yang bersarang di hatiku tidak bisa ditahan lagi. Aku penasaran, sudah setahun aku jadi bagian dari organisasi ini, sudah banyak orang kuwawancarai selama kuliah di Semarang, tapi aku belum pernah melihat anak seperti Fira. Sungguh, suatu pemandangan yang baru.

Wawancara selesai, menjelang malam aku tidak langsung pulang. Kuarahkan tubuhku yang sudah lelah ini ke ruang basecamp organisasi kami. Setelah kulepas sepatu, tumpukan berkas yang berserakan di lantai langsung keserbu.

"Ah, ketemu! Ini berkasnya Fira," ujarku dalam hati.

Baru kuingat, ternyata esai buatan anak ini yang sangat aku kagumi kemarin ketika seleksi berkas. Bukan main, bahasanya baku, mengalir, bernas. Kulihat potensi besar ada dalam dirinya.

Belum selesai sampai di situ, kuserbu curiculum vitae yang ia kumpulkan pada kami. Secara riwayat hidup nampaknya tidak ada yang spesial, hanya lulusan SMA biasa yang sudah sibuk berorganisasi sejak dulu. Tapi tunggu, sampailah mataku pada bagian cita-cita.

"Aku paham sekarang alasan kenapa dia mendaftar ke organisasi ini. Salah besar! Salah besar kalau anak seperti ini tidak diterima," kataku sembari melangkah keluar ruangan.

Si Pembawa Bahagia

Waktu berlalu, aku terpilih menjadi ketua Lembaga Pers Mahasiswa fakultas. Bagaimana dengan Fira? Anak itu sekarang menjadi Pemimpin Redaksi, orang terdepan yang bertanggungjawab atas berbagai produk jurnalistik lembaga persku.

Tak lama berselang, dunia digemparkan dengan virus corona. Maret 2020 COVID-19 ditetapkan sebagai bencana nasional Indonesia. Beberapa hari kemudian aku dipanggil untuk rapat bersama dekan.

Sial, mimpi buruk itu datang. Ucapan dekan bahwa seluruh kegiatan akan dilakukan secara daring tidak berhenti membuatku berpikir, bahkan sampai acara selesai. Aku menggerutu, "Kenapa harus kepengurusanku? Bagaimana kalau aku dianggap pemimpin gagal karena kondisi seperti ini?"

Semangatku patah, idealismeku seketika hilang. Harapan-harapanku tentang Lembaga Pers Mahasiswa ini aku buang di sepanjang perjalananku pulang ke Yogyakarta. Dengan berat hasil rapat itu kusebarkan di grup organisasi.

Beberapa saat kemudian handphone-ku berdering, Fira mengirimkan pesan kepadaku. "Maaf ganggu kak, Fira tahu ini masa yang sulit bagi kakak dan ketua-ketua organisasi yang lain. Fira cuma mau bilang kalau aku siap bantu kakak kalau dibutuhkan. Udah itu aja kak, wkwk. selamat melanjutkan aktifitas lagi," tulisnya dalam pesan singkat itu.

Aku terdiam. Tanganku tak bisa langsung membalas pesan darinya. Terpikir di benakku, "Berkali-kali aku menjadi ketua panitia, ketua divisi, koordinator, tapi belum pernah sekalipun kujumpai ada anggota yang menawarkan dirinya untuk membantu."

"Oya... terimakasih banyak Fira, nanti kamu stay tune saja ya kalo aku hubungi. Semangat ya, rangkul teman-teman anggota yang lain. Aku yakin kita bisa lalui ini bareng," balasku.

"Siap kak," pungkasnya mengakhiri percakapan.

Rasanya, selama tiga tahun berorganisasi di kampus belum pernah aku merasa sebahagia ini. Sebuah chat sederhana tapi mengena di hati. Ah, tidak salah pilihanku dulu, dialah 'pembawa kebahagiaan' organisasi kami.

Kebahagiaan Itu Aku Kirim | dokpri
Kebahagiaan Itu Aku Kirim | dokpri
Berbulan-bulan kemudian aku merencanakan suatu acara. Kegiatan ngobrol-ngobrol internal organisasi secara daring yang membahas tentang pengelolaan Lembaga Pers Mahasiswa. Sebagai hadiah, aku berjanji akan memberi buku gratis kepada peserta terpilih.

Buku yang akan kuberikan secara cuma-cuma ini berjudul "Jangan Takut Mengkritik Pers" dari Aliansi Jurnalis Independen Semarang. Kudapat buku sederhana itu dua tahun yang lalu. Ya, saat aku masih menjadi anggota biasa.

Hari ngobrol-ngobrol online pun tiba. Acara berlangsung meriah, tak terasa sudah berjalan tiga jam. Tiba saatnya aku harus memilih siapa yang layak untuk menerima buku itu.

"Emm... aku sebenarnya agak nggak enak nih kalau harus memilih, karena nanti aku dikira sayang ke satu anak doang, ha ha ha. Tapi aku sudah mengamati ada anak yang selama kita ngobrol tadi nampaknya sangat tertarik dengan pengelolaan Lembaga Pers Mahasiswa..."

"Wah siapa tuh kak? Spill dong spill! Atau jangan-jangan aku nih yang dapat, ha ha ha," potong MC acara.

"Eh, sabar dulu. Menurutku ada satu anak yang layak menerima buku ini. Sepanjang kepengurusan 2019 dan 2020 dia juga menunjukkan kinerja yang baik dan rasa ingin tahunya tentang pers mahasiswa cukup dalam," ujarku sembari tersenyum.

"Ya, buku ini aku persembahkan untuk Fira," ucapku lantang.

Beberapa saat kemudian, terdengar seseorang menyalakan michrophone.

"Kak, jujur aku terharu banget. Gak nyangka bakal dapat buku sebagus itu dari kakak langsung. Terimakasih banyak kak, terimakasih," terdengar suara Fira yang begitu bersemangat.

Seketika peserta riuh, nampaknya mereka sependapat denganku. Fira bukan hanya bagus secara kinerja, namun dia juga menunjukkan keingintahuan mendalam tentang pers dan dunia jurnalistik. Sekali lagi, rasanya aku sudah memilih orang yang tepat untuk menerima buku ini.

Kebahagiaan itu Aku Kirimkan

Pikiranku berputar di pusaran pertanyaan bagaimana buku ini bisa sampai ke tangannya. Apakah harus bertemu Fira untuk menyerahkan buku itu? Tapi kok rasanya terlalu sulit dan riskan untuk direalisasikan ya. Oh, kenapa tidak pakai jasa pengiriman saja.

"Mbak Ita, di dekat sini tuh apa ya ekspedisi yang cepat dan murah?" tanyaku pada kakak di rumah.

"Oh, ini saja dek... JNE saja. Ada kok di dekat sini," jawab kakak.

"Oiya ya, ada JNE ya," aku menimpali.

Kubuka aplikasi peta di telepon genggamku. Benar saja, cabang JNE sangat banyak di sekitar tempat tinggalku. Tapi bagaimana dengan keamanan barang dan harganya ya? Aku takut sekali buku kirimanku malah rusak di perjalanan atau tarifnya terlalu mahal.

Kucari ulasan warganet di media sosial tentang JNE, hasilnya menunjukkan tanggapan yang sangat bagus tentang jasa pengiriman ini. Selain itu, harganya yang ramah di kantong juga membuat hatiku tenang. Bulat sudah keputusanku untuk mengirim buku itu pada Fira melalui JNE.

Keesokan harinya, Fira menghubungiku. Dia sampaikan dengan penuh semangat bahwa buku dan surat kecil yang kukirim padanya telah tiba. Tersentuh aku membaca pesannya.

"Leganya hati. Terimakasih JNE, meskipun sekarang masih pandemi, kesempatanku untuk berbagi dan merawat harapan bisa tetap kujalankan," pikirku sambil tersenyum.

Bulan november tiba. Selesai sudah pengabdianku sebagai pemimpin di organisasi ini. Kabar baiknya adalah, Fira yang akan memimpin perjuangan memajukan Lembaga Pers Mahasiswa fakultasku pada tahun 2021.

Serah terima jabatan tinggal menghitung hari. Sebenarnya aku ingin sekali memberi selempang kebanggan bertulis "Pemimpin Umum" yang setahun lalu menggantung di pundakku itu. Tapi pandemi yang tak kunjung reda ini menggugurkan mimpiku. Akhirnya, JNE kupercaya kembali untuk mengirimkan selempang tersebut.

"Kak, selempang dan surat yang kakak tulis sudah tiba. Aku mau nangis tau gak sih kak, ha ha ha. Aku masih gak nyangka bisa sampai di tahap ini. Dengan hadirnya pandemi ini tadinya aku sudah mempertanyakan kemampuanku untuk bertahan menjadi jurnalis mahasiswa, tapi ternyata teman-teman masih percaya sama aku. Terimakasih sekali lagi atas bimbingannya kak." Tulisnya bahagia.

Pesan Dari Si Pembawa Bahagia | dokpri
Pesan Dari Si Pembawa Bahagia | dokpri
"Fira, jaga selempang itu baik-baik ya. Mungkin itu cuma seonggok kain yang bagi orang lain biasa saja, atau bahkan bisa saja tidak berguna. Tapi aku tahu seberapa berarti itu buatmu. Aku tahu fir. Sukses ya pelantikan besok dan ke depannya," kataku dalam chat.

"Amin kak," tutupnya.

Sehari kemudian, sampailah hari dimana Fira akan dilantik untuk menempati posisi yang dia idamkan sejak pertama kali mendaftar di organisasi ini. Suasana terasa begitu syahdu. Tak terasa aku hanyut, dibawa pergi kenangan dan perasaan.

Aku tidak ingat jam berapa dia dilantik. Aku bahkan juga tidak ingat sumpah yang dia ucapkan saat pelantikan. Satu-satunya yang kuingat adalah ada seorang pendaftar organisasi kami dua tahun lalu menulis dua kata di curiculum vitae bagian cita-citanya, yaitu, "Menjadi Wartawan".

Dari sini aku belajar dua hal tentang kebahagiaan. Pertama, bahwa berbagi kebahagiaan bukan cuma tentang memberi, tapi juga mempertemukan dua asa. Tanpa harapan hidup tidak akan bermakna, tanpa adanya pertemuan kedua harapan segala peristiwa kosong.  

Diibaratkan anak yatim piatu mengharap ada orang yang membantunya dan seseorang berharap dirinya bisa membantu orang lain. Tanpa harapan, orang itu tidak akan ikhlas menyantuni si anak. Tanpa harapan pula, anak itu pun tak akan senang menerima santunan. Namun, bila keduanya menyimpan pengharapan, akan ada tempat untuk kebahagiaan.

Kedua, cepat atau lambat kebahagiaan pasti akan datang. Dia tidak akan salah alamat. Selama ini aku menantikan si 'pembawa kebahagiaan' di organisasiku, sosok bersemangat dan tekun dalam berproses. Dalam penantian juga Fira mengharapkan ada orang yang bisa memfasilitasi ia untuk semakin dekat dengan mimpinya, menjadi seorang wartawan.

Layaknya JNE, selama tiga dekade mengantar kebahagiaan ke pelosok negeri. Tapi rasanya kalimat "cepat atau lambat kebahagiaan pasti akan datang" tidak berlaku bagi JNE, sebab ia menjamin kebahagiaan itu sampai dengan cepat dan utuh sampai ke tangan penerimanya. Siapakah penerima itu? Ribuan atau mungkin jutaan Fira-Fira lain di seluruh Indonesia. (***)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun