"Mbak, itu rumah depan," penjual nasi goreng membuka perbincangan sembari mengaduk nasi. "Kasihan, ya. Suaminya belum ditemukan."
"Iya, pak." Jawabku singkat. Aku melihat ke arah rumah Bu Dina. Tidak ada siapa-siapa. Mungkin sudah masuk ke kamar. Ini juga sudah larut malam.
"Padahal sudah dicari kemana-mana. Sampai Bu Dina datang ke rumah sakit. Lihat daftar jenazah siapa tahu, ada suaminya di sana. Tapi tidak ada hasil."
"Sampai sebegitunya, pak?"
"Namanya kehilangan suami, gimana ya mbak. Nanti mbak kalau sudah nikah, deh. Tahu rasa sakitnya gimana. Kalau sudah tahu mati, bisa di kuburkan dengan baik. Lha ini," nasi itu di pindah ke piringku. "Tidak tahu bagaimana nasibnya. Kalau masih hidup ada dimana, kalau sudah mati tubuhnya ada dimana? Berduka setiap hari itu."
"Saya juga nggak mau kalau suami saya hilang pak."
Saat aku membayar, Bu Dina keluar dari rumah membawa piring. Aku dan penjual nasi goreng segera mengakhiri pembicaraan kami.
"Bu Dina, nasi goreng juga bu?" Sapaku basa-basi.
"Iya, Mbak Hazel."
Meski sudah tidak lagi muda. Namun wajahnya tetap terlihat cantik. Mungkin karena pola makan dan perawatan saat masih muda.Â
Saat Bu Dina kembali ke rumah, penjual nasi goreng itu mendorong gerobaknya masuk ke halaman rumah. Apa lagi yang akan di bahas?Â