Mohon tunggu...
Ema Riyanawati
Ema Riyanawati Mohon Tunggu... Freelancer - Pecinta Film

Hobi menonton film dan series. Tertarik belajar menulis skenario film. Tepatnya baru belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akhir Penantian Panjang

18 Agustus 2024   17:20 Diperbarui: 18 Agustus 2024   17:20 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pertama kali melihatnya berdiri di jendela, jantungku hampir copot. Bahkan kata-kata kasar sudah keluar dari mulutku. Rumah kami berhadapan. Dengan pagar yang hanya setinggi dada, aku bisa melihat jelas. Wanita itu selalu berdiri di sana. Di sore hari dan malam hari pada jam yang tidak bisa diprediksi. 

Belakangan aku tahu, dia tinggal di rumah itu seorang diri. Sudah lima tahun suaminya tidak kembali. Bapak bilang Pak Yuli, suami Bu Dina hilang. Tapi mamah menyanggahnya dengan kuat kalau suami wanita itu pasti pergi dengan perempuan lain. 

"Sengaja menghilang?" Aku tidak habis pikir. Kadang-kadang dunia semakin gila saja. "Kenapa tidak minta bercerai saja?"

"Keluarga Bu Dina itu keluarga terpandang. Kaya raya. Perceraian sama saja dengan aib."

"Jangan sok tahu, mah!" bapak mengaduk kopi sambil memperhatikan kami.

"Jaman sekarang teknologi serba canggih, pak" protes mamah. "Semua yang hilang bisa ditemukan. Walau sudah jadi mayat tetap bisa ditemukan. Kecuali uang negara."

"Kok bawa-bawa uang negara?" 

"Nggak tahu tuh, mamahmu!" 

Aku membawa segelas kopi keluar rumah. Duduk di kursi depan sambil merokok. Lagi dan lagi. Aku melihat Bu Dina berdiri di jendela. Di bawah sorot lampu, penampakan Bu Dina sedikit menakutkan. Aku mengganti posisi duduk agar tidak melihat ke arahnya. Sampai penjual nasi goreng lewat. 

"Pak, satu pedas telurnya diceplok."

"Oke mbak," aku segera mengambil piring dan uang. Aroma perpaduan bumbu itu sampai ke rumah. 

"Mbak, itu rumah depan," penjual nasi goreng membuka perbincangan sembari mengaduk nasi. "Kasihan, ya. Suaminya belum ditemukan."

"Iya, pak." Jawabku singkat. Aku melihat ke arah rumah Bu Dina. Tidak ada siapa-siapa. Mungkin sudah masuk ke kamar. Ini juga sudah larut malam.

"Padahal sudah dicari kemana-mana. Sampai Bu Dina datang ke rumah sakit. Lihat daftar jenazah siapa tahu, ada suaminya di sana. Tapi tidak ada hasil."

"Sampai sebegitunya, pak?"

"Namanya kehilangan suami, gimana ya mbak. Nanti mbak kalau sudah nikah, deh. Tahu rasa sakitnya gimana. Kalau sudah tahu mati, bisa di kuburkan dengan baik. Lha ini," nasi itu di pindah ke piringku. "Tidak tahu bagaimana nasibnya. Kalau masih hidup ada dimana, kalau sudah mati tubuhnya ada dimana? Berduka setiap hari itu."

"Saya juga nggak mau kalau suami saya hilang pak."

Saat aku membayar, Bu Dina keluar dari rumah membawa piring. Aku dan penjual nasi goreng segera mengakhiri pembicaraan kami.

"Bu Dina, nasi goreng juga bu?" Sapaku basa-basi.

"Iya, Mbak Hazel."

Meski sudah tidak lagi muda. Namun wajahnya tetap terlihat cantik. Mungkin karena pola makan dan perawatan saat masih muda. 

Saat Bu Dina kembali ke rumah, penjual nasi goreng itu mendorong gerobaknya masuk ke halaman rumah. Apa lagi yang akan di bahas? 

"Mbak, lupa mau ngomong." Penjual itu melepas topinya. "Minggu lalu saya pernah masuk ke rumah Bu Dina waktu mengantar nasi goreng. Katanya Bu Dina sibuk mencuci di belakang. Ah, serem banget rumahnya mbak."

"Soalnya jarang di buka juga, pak."

"Iya, tapi mbak. Saya lihat pria duduk di depan kamar. Apa ada orang lain yang tinggal di sana?" 

"Bu Dina tinggal sendiri, pak." Aku mulai tertarik dengan obrolan ini. 

"Saya tanya nasinya di taruh mana tapi cuma diam saja, mbak. Terus Bu Dina datang dan ngasih uang. Ya sudah, saya keluar."

Setelah malam itu, semua berlalu seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Aku tetap kaget setiap kali melihat Bu Dina berdiri di jendela dan mengumpat kata-kata kasar. 

"Hazel, bisa antar bingkisan ini ke rumah Bu Dina." Mamah menyerahkan satu plastik berisi kue bolu dan lauk. Rumah baru saja mengadakan arisan.

"Takut, mah."

"Takut apa, to?"  

"Rumahnya kan lima tahun enggak nerima tamu mah, cuma Bu Dina saja di sana. Apa nggak serem?"

"Mamah kemarin mampir baik-baik saja kok. Ya namanya rumah selalu tertutup. Pasti pengap. Tapi bersih kok, nduk. Sana cepet!" Dari pada kena marah aku beranjak dengan malas ke rumah Bu Dina.

Pagarnya tidak pernah di kunci. Sejak menginjakkan kaki di halaman rumah aku selalu memanggil nama Bu Dina. Berharap agar segera keluar dan aku tidak perlu masuk ke rumah itu. 

"Bu Dina, ada titipan dari mamah,"

"Iya, masuk mbak."

"Permisi, Bu Dina." Ruang tamunya masih bergaya vintage. Orang kaya sejak lama.  Bersih dan wangi. Hanya saja memang sepi. 

"Eh, Mbak Hazel. Kok repot-repot, mbak?"

"Tidak, bu." Aku menyerahkan bingkisan itu. Aku ingin segera kabur. 

"Kok ada piringnya juga? Saya cuci dulu, ya?"

"Tidak apa-apa, bu. Mamah bilang biar di sini dulu tidak apa-apa."

"Jangan, piring bagus ini. Tunggu dulu ya, saya cuci dulu."

Terpaksa aku menunggu di ruang tamu. Setelah Bu Dina pergi, udara menjadi sedikit panas. Tapi perasaanku semakin was-was. Tiba-tiba tercium aroma busuk. Apa ada tikus mati? Aku mencoba melihat sekitar. Bersih. Sampai aku merasa jantungku tiba-tiba berhenti saat aku bertatapan dengan pria tua yang sedang membuka pintu. Wajahnya benar-benar pucat. Apa dia keluarga Bu Dina? 

"Ini mbak," Bu Dina menyerahkan piring yang sudah bersih. "Sampaikan terima kasih saya buat mamah Mbak Hazel, ya?"

"Iya, bu. Saya pamit." 

Saat aku menoleh ke arah pintu, pria itu sudah menghilang. Aku baru menyadari tidak ada satu pun foto yang terpajang di dinding ruang tamu Bu Dina. 

"Bu Dina?" Aku berhenti di depan pagar rumah. "Bapak yang di dalam kamar itu siapa? Maaf kalau saya lancang."

"Ba-pak?" Cara bicara Bu Dina menjadi terbata-bata. "Ah, Mbak Hazel salah lihat mungkin, saya tinggal sendiri mbak."

"Maaf ya, bu."  Apa mungkin itu arwah Pak Yuli? Ah, aku bergidik ngeri. 

"Tidak apa-apa. Mungkin suami saya pulang." Senyum Bu Dina mengembang. Aku merasa aneh dengan senyuman itu.

Malam harinya aku tidak bisa tidur. Wajah pria itu terus menghantuiku. Aku mencoba mencari informasi melalui internet tentang hilangnya Pak Yuli. Benar saja. 

Aku membaca berita itu dengan perasaan campur aduk.

: Manajer perbankan yang tersangkut kasus korupsi menghilang tanpa jejak. Sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, keberadaan Y seperti ditelan bumi. Meninggalkan seorang istri. Setelah menghilang mulai bermunculan fakta bahwa Y juga diduga berselingkuh dari istrinya "D". Dugaan sementara Y sengaja menghilang bersama selingkuhannya ke luar negeri.

Aku mengamati foto pria yang tersenyum gagah pada berita. Aku mencoba memperhatikan dengan benar. Itu Pak Yuli. Wajah yang sama seperti yang aku lihat di rumah Bu Dina. Jangan-jangan, Pak Yuli hanya bersembunyi saja agar lolos dari hukuman. Aku menyalakan satu batang rokok dan membuka jendela.

Aku kembali mengumpat karena Bu Dina berdiri di depan pagar rumah sambil membawa rantang makanan. Itu sangat menakutkan.  Senyumannya aneh. Sama persis seperti senyuman yang aku lihat sore tadi. 

"Jangan dimakan, mah!" 

"Pak, kenapa to anakmu?" Mamah membiarkanku menyingkirkan lauk dari Bu Dina. 

Aku menceritakan semua yang terjadi sore tadi di rumah Bu Dina. Meski terlihat mendengarkan dengan baik. Aku tahu bapak dan mamah ragu. Lebih tepatnya tidak percaya.

"Pokoknya, jangan dimakan. Aku buang saja." 

Rantang itu aku bawa masuk ke kamar. Mamah pun sepertinya tidak masalah karena di dapur banyak makanan. Aku mengintip dari balik jendela kamar. Aku bisa melihat Bu Dina berjalan ke arah pagar rumah. Apa yang akan dia lakukan? Apa dia membawa senjata tajam? Aku yakin, Bu Dina dan suaminya bekerja sama.  

Bu Dina kembali masuk ke halaman rumahnya. Yang membuatku semakin bergidik ngeri adalah wanita itu terus menari. Sesekali melompat. Seolah tanpa beban. Aku akan berjaga sampai besok pagi. 

"Hazel, bangun!" Bentak mamah. "Sudah segede ini kok tidur di lantai. Ayo bangun, terus ke bawah ada banyak polisi di sana."

"Kenapa, mah? Mereka menemukan Pak Yuli masih hidup?"

"Ini anak kok bodohnya semakin hari semakin bertambah!" 

Aku berlari ke bawah. Rumah Bu Dina sudah ramai. Dari bapak aku tahu bahwa Bu Dina bunuh diri. Ditemukan racun pada masakannya. Aku teringat rantang makanan. Polisi juga menemukan dua jasad yang dicor di kamar tamu, dan dipastikan itu adalah jasad Pak Yuli yang selama ini dilaporkan menghilang dan jasad seorang perempuan. Kedua lututku serasa melemas.  Bu Dina adalah tersangka utama. Masalahnya adalah perselingkuhan dan kasus Pak Yuli yang memalukan. Bu Dina bahkan dibenci oleh keluarganya sendiri karena menikahi seorang koruptor. Bu Dina sakit hati dan menyelesaikannya sendiri. 

"Rantang makanannya dimana?" Bapak terlihat panik. Aku menunjuk ke arah kamar. Aku melihat ke arah rumah Bu Dina. Ramai. Tapi tak seorang pun menyadari, Bu Dina dan Pak Yuli berdiri di jendela. Mungkin setelah ini aku harus terbiasa melihat pemandangan seperti ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun