"Mbak, lupa mau ngomong." Penjual itu melepas topinya. "Minggu lalu saya pernah masuk ke rumah Bu Dina waktu mengantar nasi goreng. Katanya Bu Dina sibuk mencuci di belakang. Ah, serem banget rumahnya mbak."
"Soalnya jarang di buka juga, pak."
"Iya, tapi mbak. Saya lihat pria duduk di depan kamar. Apa ada orang lain yang tinggal di sana?"Â
"Bu Dina tinggal sendiri, pak." Aku mulai tertarik dengan obrolan ini.Â
"Saya tanya nasinya di taruh mana tapi cuma diam saja, mbak. Terus Bu Dina datang dan ngasih uang. Ya sudah, saya keluar."
Setelah malam itu, semua berlalu seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Aku tetap kaget setiap kali melihat Bu Dina berdiri di jendela dan mengumpat kata-kata kasar.Â
"Hazel, bisa antar bingkisan ini ke rumah Bu Dina." Mamah menyerahkan satu plastik berisi kue bolu dan lauk. Rumah baru saja mengadakan arisan.
"Takut, mah."
"Takut apa, to?" Â
"Rumahnya kan lima tahun enggak nerima tamu mah, cuma Bu Dina saja di sana. Apa nggak serem?"
"Mamah kemarin mampir baik-baik saja kok. Ya namanya rumah selalu tertutup. Pasti pengap. Tapi bersih kok, nduk. Sana cepet!" Dari pada kena marah aku beranjak dengan malas ke rumah Bu Dina.