Menuju Pembangunan Hukum Pro-Keadilan Rakyat
Berdasarkan pengamatan terhadap kegagalan pembangunan hukum di masa yang lalu, banyak pembelajaran yang dapat kita jadikan pijakan untuk membangun paradigma pembangunan hukum baru. Model pembangunan hukum yang dibutuhkan adalah "Rule of Law Pro-Keadilan Rakyat", sebagaimana ditawarkan dalam naskah ini. Cirinya adalah, pertama, program diintegrasikan dengan pembangunan di sektor-sektor lain, dan secara langsung dikaitkan dengan upaya pengentasan kemiskinan. Kedua, dirancang secara bottom up, melibatkan para ahli, pemerintah, dan masyarakat sipil yang memahami persoalan hukum dari perspektif kemasyarakatan. Ketiga, ditujukan secara khusus kepada kelompok terpinggirkan (orang miskin, perempuan dan anak), serta melibatkan partisipasi aktif dan dukungan publik.
Hal penting yang lain adalah perlunya pengintegrasian program pembangunan hukum dengan program pembangunan dalam sektor apapun. Upaya pengentasan kemiskinan harus diiringi dengan upaya pemberdayaan hukum, agar warga masyarakat terpinggirkan memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang adanya hukum yang melindungi dan menjamin aksesnya terhadap keadilan.
Korupsi Di Indonesia Yang Terdesentralisasi
Desentralisasi & Korupsi. Korupsi memiliki sejarah lebih panjang dibanding sistem pemerintahan, entah sentralisitik atau desentralisitik. Korupsi lebih seperti bayangan yang selalu mengikuti kemanapun pendulum kekuasaan berayun; di mana ada kekuasaan, korupsi duduk tak jauh dari situ. Yang terjadi seiring dengan dimulainya kebijakan desentralisasi adalah peningkatan jumlah pengungkapan kasus dugaan korupsi di daerah. Dengan demikian, yang bisa ditarik dari fenomena ini bukanlah untuk menjawab apakah korupsi semakin tinggi atau semakin rendah tapi untuk mencermati di mana locus dan apa modus korupsi di daerah. Lermbaga eksekutif di daerah memegang dominasi kekuasaan yang sangat besar dan menjadi 'locus' korupsi di daerah yang sangat subur selama puluhan tahun. Dengan kata lain, terjadi pergeseran 'locus' korupsi ke tubuh legislatif, namun dengan 'modus' yang relatif sederhana. Sementara, ruang-ruang korupsi eksekutif untuk sesaat sedikit berkurang namun 'modus' masih lebih kompleks. Perubahan UU 22/1999 menjadi UU 32/2004 (UU tentang Pemerintahan Daerah) tampaknya masih mengikuti pola yang sama; yang terjadi sekedar perubahan 'locus' dan 'modus' dan tidak berarti bahwa praktik korupsi di daerah semakin berkurang.
Peluang Penguatan Inisiatif Anti Korupsi di Tingkat Lokal. Yang lebih penting untuk dicermati adalah bahwa desentralisasi membawa implikasi terhadap penguatan inisiatif anti korupsi di tingkat lokal yang ditandai dengan dua hal. Pertama, penguatan kelompok masyarakat sipil yang secara aktif mulai mengambil peran untuk berpartisipasi dan melakukan pengawasan terhadap jalannya roda pemerintahan. Kedua, meski demikian, kelompok masyarakat mesti menyadari bahwa terungkapnya dugaan kasus dan berjalannya proses hukum atas sejumlah dugaan korupsi yang mereka suarakan belum berarti bahwa telah terjadi penguatan posisi tawar dan posisi politik masyarakat di tingkat lokal.
Lembaga pemerintahan, partai politik (tak terkecuali pejabat-pejabat instansi penegak hukum di daerah) terlibat dalam proses tarik menarik kekuasaan sehingga memungkinkan munculnya kelompok-kelompok oposisi dan barisan yang menebar informasi tentang adanya indikasi korupsi. Atau, kelompok inilah yang mensuplai data-data dan dokumen untuk memperkuat dugaan korupsi dalam kajian/investigasi yang dilakukan oleh aktor pendorong.
Penegakan Hukum Berjalan Lebih Baik. Konsolidasi para pelaku korupsi sebetulnya dapat dicegah jika saja proses penegakan hukum bisa berjalan dengan lebih baik. Dukungan dari Tingkat Nasional Jejak-jejak keberhasilan aktor pendorong dalam menangani kasus dugaan korupsi di tingkat lokal masih menyisakan satu soal penting yakni faktor dukungan di tingkat nasional. Jika mencermati anatomi korupsi yang ada di daerah akan terlihat bahwa sumber sumber korupsi tidak melulu berasal dari para pemangku kepentingan di tingkat lokal melainkan melibatkan para pelaku di tingkat pusat yang memiliki kepentingan politik dan ekonomi di tingkat lokal. Fakta lain yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa proses penegakan hukum masih sangat tersentralisasi di tingkat pusat. Betapa cemerlangnya pun Kejaksaan dan Pengadilan Negeri di daerah menuntaskan sebuah kasus, hasil akhir lebih sering ditentukan oleh proses hukum di tingkat yang lebih tinggi, di mana jangkauan kontrol aktor pendorong sangat tidak seimbang jika dibandingkan jaringan politik dan ekonomi para tersangka korupsi.
 Kisah Orang Dalam : Sisi Empirik dalam Pemberantasan Korupsi
Pemikiran bahwa korupsi merupakan tindak kejahatan yang membawa kerugian bagi orang banyak dan akibatnya sangat berpengaruh dalam struktur masyarakat, sebagaimana terkandung dalam konsep tentang korupsi yang dirumuskan masing-masing narasumber. kerugian ini tidak selalu disadari masyarakat karena pelakunya biasanya menggunakan beragam cara untuk menutupi hal tersebut. Pemberian hadiah, tawaran kesempatan, melibatkan pihak ketiga yang dapat melakukan intimidasi dilakukan pelaku untuk menutupi perbuatannya.
Cara pandang terhadap pemberantasan korupsi juga harus diubah. Tidak lagi dapat bersifat temporer dan kasuistis. Melainkan harus holistik, mencakup tindakan preventif, represif, dan preemptif. Sekedar pembuatan aturan saja tidak cukup. Termasuk di dalamnya sosialisasi kepada generasi muda. Pemberantasan korupsi juga harus melibatkan semua unsur dalam masyarakat. Narasumber juga optimis, bahwa masih ada anggota masyarakat yang mau berpartisipasi aktif dalam membantu upaya pemberantasan korupsi.
Persoalan Agraria Dalam Konteks Kajian Sosio-Legal
kebijakan pengelolaan HGU terkait dengan tanggung jawab sosial yang diberikan dapat disimpulkan:
a. Pendekatan persoalan konflik pertanahan yang berkisar pada masalah landreform khususnya redistribusi tanah pertanian (landrefom sempit) melalui sosio-legal merupakan suatu keniscayaan.
b. Dalam konteks filsafat hukum sebagai pendirian atau penghayatan kefilsafatan (yang paling fundamental) yang dianut orang at masyarakat atau negara tentang hakikat, ciri-ciri hakiki serta landasan berlakunya hukum.
c. Daya dukung hukum positif pada kebijakan pengelolaan HGU (perkebunan) tampak belum mampu menjawab persoalan secara memadai yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan.
d. Dalam implementasi pengelolaan HGU didapati ketidakjelasan bila dikaitkan dengan konsep landreform, karena redistribusi tanah kepada warga masyarakat dilandasi oleh adanya konflik/ tuntutan warga atas tanah yang dianggap miliknya.
e. Pengawasan pemerintah terhadap pengelolaan HGU (perkebunan) digantungkan pada dinas perkebunan. Untuk kepastian hukum terkait hak dan kewajiban pemegang HGU dilakukan oleh kantor pertanahan dan instansi terkait seperti Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten, Dinas Lingkungan dan Perkebunan,
f. Realisasi tanggung jawab sosial pemegang HGU (perkebunan) terhadap pekerja dan masyarakat sekitar perkebunan sudah dilaksanakaN.
Post Pornografi (Paradoks Hukum dengan Mengatur Grafis Seks)
Pada abad ke-18. Istilah ini muncul bersamaan dengan represi agama dan moralitas Victorian terhadap seksualitas. Saat itu seksualitas dan hubungan seksual dimurnikan hanya demi tujuan menghasilkan keturunan, bukan demi memenuhi kenikmatan tubuh dan seksual.
Namun pemurnian seksualitas dan relasi seksual ini akhirnya memuncul- kan berbagai diskurus tentang seks. Salah satunya adalah pornografi. Maka tak mengherankan kalau - dalam suatu masyarakat Barat yang patriarkal -karya-karya yang dikategorikan sebagai porno adalah gambar, film atau narasi yang merendahkan martabat dan seksualitas wanita. Itu sebabnya para feminis menganggap pornografi sebagai bentuk kekerasan terhadap wanita: "pornografi adalah teori, perkosaan adalah prakteknya". Carol Smart menyebut mereka sebagai kelompok yang mengkategorikan pornografi sebagai-kekerasan. Namun ada kelompok lain yang oleh Carol Smart feminis dianggap sebagai feminis yang mengkategorikan pornografi-sebagai-representasi. Bagi kelompok feminis ini pornografi adalah sebuah teks yang tidak dengan sendirinya merendahkan martabat dan seksualitas wanita. Mereka membedakan analisis pornografi terhadap relasi seksual dan representasi seksual. Tak setiap karya yang secara ekplisit merepresentasikan relasi seksual adalah wujud dari obyektivasi tubuh dan seksualitas.
Para penentang RUU Pornografi di Indonesia, walaupun sangat kritis terhadap perspektif moral pemurnian seksualitas dan hubungan seksual di balik RUU Pornografi yang mereka anggap potensial merendahkan martabat wanita dan mengancam keberagaman budaya Indonesia, tidak kritis terhadap perspektif pornografi sebagai sebuah teks atau pornografi-sebagai- representasi.
Kontrak Dan Kolonialisme Di IndonesiaÂ
Bahwa segenap uraian dalam tulisan ini direfleksikan dari perspektif sejarah sejak awal era kolonisasi. Untuk itu dapat disimpulkan hal-hal pokok sebagai berikut, Pertama, kontrak sebagai perjanjian tertulis tidak semata hadir dalam konsep hukum tetapi lebih mengakar pada konsep eksistensi manusia Indonesia karena hukum hadir untuk mengatur masyarakat dan hukum diciptakan untuk manusia serta bukan manusia diciptakan untuk hukum; Kedua, selama setengah milenium sejak kedatangan kaum kolonialis Barat maka kontrak telah menjadi alat dan legitimasi kolonisasi bagi monopoli perdagangan dan eksploitasi kekayaan Nusantara demi kepentingan modal; Ketiga, Bahwa trauma atas kontrak sebagai ujung tombak kolonisasi Belanda telah membuat masyarakat Indonesia bersikap a priori terhadap kontrak dan berdampak pada suburnya tradisi lisan dalam hukum adat masyarakat Indonesia.Â
Realitas penindasan kolonial membuat masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang tidak berorientasi pada hukum (Non-Law Minded Society) dan bertradisi lisan atau oral; Keempat, langkah antisipasi kontrak sebagai pintu gerbang rekolonisasi secara konkret dimulai dari ketekunan untuk senantiasa membaca kontrak dan memahami makna kontrak yang hendak ditandatangani baik secara tekstual, kontekstual maupun konseptual dari perspektif hukum sebagai aturan masyarakat yang tidak diorientasikan total demi kepentingan pihak penguasa dan pemilik modal; Kelima, hukum adalah bahasa dari kompromi sekaligus menyediakan jalur-jalur bagi ekspresi yang tidak saling merugikan.
Catatan terakhir yang penting adalah bahwa perjuangan memahami sejarah adalah perjuangan melawan lupa dan biasanya bangsa yang bertradisi lisan atau oral mudah sekali lupa karena enggan untuk belajar dari sejarah. Semua cerita dan kisah berlalu seperti fragmen-fragmen yang terpisah-pisah. Yang utama adalah generasi penerus tidak meninggalkan pelajaran yang diberikan oleh generasi-generasi sebelumnya karena jika demikian maka sang penerus akan dihukum untuk mengulang kegetiran yang pernah terjadi di bumi Indonesia sejak setengah milenium silam.
Ekonomi Pembangunan Dan Hukum
Kajian hukum dan pembangunan merupakan kajian multidisipliner di mana pilar-pilar ilmu yang mendukungnya harusnya bisa memperkaya. Hal utama yang harus diingat ialah bahwa pilar-pilar yang mendirikan bangunan kajian ini bukan pilar yang statis karena melibatkan pergulatan pemikiran dan perebutan posisi dominan dalam menjadi mazhab keilmuwan. Pergulatan pemikiran dan perebutan dominasi mazhab ini sering diklaim lahir murni secara ilmiah dan para akademisi yang terlibat ialah para profesional yang independen terhadap politik dan kekuasaan. Pada kenyataannya, pergeseran dari suatu orientasi teoritis menjadi orientasi teoritis lainnya melibatkan kekuasaan dan modal. Seringkali suatu posisi teoritis diperlukan untuk mempermudah cengkeraman suatu kubu politik terhadap pengelolaan sumber daya negara.
Negara berkembang harus menyadari bahwa resep yang digembar gemborkan oleh negara-negara maju dan lembaga-lembaga keuangan internasional juga merupakan klaim ideologis yang "dilabeli" dengan penuh kepentingan sebagai resep yang sudah teruji dan ilmiah dengan menafikan pergulatan dan peminggiran yang terjadi pada masa lalu.
Negara berkembang memang mempunyai opsi yang lebih sedikit untuk menolak resep-resep tersebut dan kemudian menyetir perekonomian sesuai dengan keperluannya. Namun keberhasilan suatu negara berkembang untuk bisa keluar dari kondisi yang terbatas juga tergantung pada kemampuannya secara inovatif menata penggunaan berbagai sumber daya domestik di satu sisi dan menangkap peluang baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri di sisi lainnya. Kemampuan ini tergantung juga pada melepaskan wacana yang melatarbelakangi pemahaman ilmu dari dominasi pandangan yang diinjeksikan oleh negara-negara maju dan lembaga-lembaga internasional. Di sinilah perlunya kajian hukum dan pembangunan yang menghormati tradisi pengkayaan intelektual dengan membuka kesempatan para penggiatnya untuk membuka wacana sejauh mungkin demi mengenali peluang-peluang pengelolaan perekonomian dan sumber daya dengan cara yang menguntungkan pembangunan nasional dan terciptanya keadilan sosial.
Hukum Dalam Senjakala Ideologi
Dalam masyarakat kapitalis yang relatif demokratis, pendekatan hukum represif mulai ditinggalkan dan beralih ke tatanan hukum yang lebih responsif dan humanis. Oposisi dalam masyarakat tidak dicegah atau dibungkam, melainkan di-"biayai" untuk terus mengkritik kelemahan-kelemahan kapitalisme. Kritik justru dibutuhkan oleh kapitalisme untuk memodifikasi dirinya sedemikian rupa sehingga gelombang protes justru memiliki efek memperbaiki. Kekuatan-kekuatan perlawanan, pada akhirnya diintegrasikan dalam sistem sehingga kehilangan sayap negasinya.
Sebagai kritik-otokritik, pendekatan socio-legal yang semula merupakan pendekatan kritis atas kelemahan Positivisme Hukum (Dogmatika Hukum), dalam perkembangannya juga diserap oleh kapitalisme terutama untuk memodifikasi proyek-proyek mereka sehingga menjadi lebih humanis dan responsif. Kekuatan proyek-proyek hukum humanis dan responsif seperti Justice for The poor, mampu mengintegrasikan resistensi terhadap kapitalisme menjadi masuk dalam sistem.
Dalam senjakala ideologi atau "titik akhir dari evolusi ideologis manusia", kita memang sedang menghadapi jalan buntu, sehingga memilih jalan memutar, yakni sambil menuntun kuda balap tua mengitari jalan lama. Kita menyepakati konsensus mengerjakan proyek hukum humanis dengan meminta sedekah pada para funding. Padahal proyek hukum humanis semacam ini tak jauh beda dengan neo-kolonialisme baru yang berwajah sabar nan menawan, namun bak penyakit flu burung yang siap menjangkiti ke mana ia hinggap.
Keanggotaan Indonesia Di WTO ; Perlukah Dipertahankan?
Sebenarnya dalam praktik transaksi perdagangan internasional, keberhasilan disepakatinya persetujuan-persetujuan yang tercakup dalam persetujuan- persetujuan di bawah payung WTO itu sendiri bukan merupakan hasil yang dapat mengatasi segala masalah, karena rumusan-rumusan yang diwujudkan dalam persetujuan-persetujuan tersebut sebenarnya tidak lain hanyalah merupakan bagian dari proses tawar-menawar yang berkelanjutan. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama dalam beraneka "agreement"-yang tidak jarang bersifat "ambiguity"- maupun komi komitmen yang dinyatakan oleh masing-masing negara anggota, tidak pelak lagi akan menimbulkan penafsiran-penafsiran yang mungkin berbeda. Tidak mustahil bahwa perbedaan-perbedaan penafsiran ini akan menimbulkan permasalahan atau sengketa yang harus diselesaikan di kemudian hari Padahal dalam penyelesaian sengketa melalui Dispute Settlement Mechanism Panel maupun Appelatte Body tidak memiliki kewenangan untuk melakukan interpretasi terhadap isi WTO Agreements. Mereka hanya berwenang untuk melakukan "klarifikasi", karena wewenang untuk melakukan interpretasi adalah hak eksklisif yang hanya dimiliki oleh Ministerial Conference dan General Council.
Diselesaikannya pembentukan suatu produk hukum (nasional maup internasional) bukan berarti menyelesaikan segala permasalahan yang diatur. Justru setelah produk hukum terbentuk, selalu diikuti dengan tanggung- jawab yang lebih berat untuk dilaksanakan daripada proses pembentukan produk hukum tersebut, yaitu bagaimana mengupayakan agar hukum yang ada berlaku secara efektif. Kegagalan untuk memberlakukan produk hukum yang baru justru menimbulkan ketidak-pastian hukum, yang akan berujung pada malapetaka perekonomian. Pada akhirnya pantas untuk mendapat perhatian bahwa:
1. Karena tingkat konsumsi Indonesia selalu meningkat (kecuali di masa krisisi ekonomi 1998)
2. WTO juga mengatur perlindungan HAKI (Hak Atas Kepemilikan Intelektual yang terkait dalam perdagangan internasional/Trade Related Intellectual Property Rights/TRIPS)-a.l
3. Dalam perdagangan internasional pelayanan jasa (berdasarkan General Agreement on Trade in Services/GATS), Indonesia menderita defisit neraca pembayaran yang tidak kecil, karena dalam transaksi internasional bidang jasa negara ini merupakan "net-importing country", Dengan macetnya perundingan WTO pada "Doha Round", di dalam perjuangan melawan penyalahgunaan hukum perdagangan internasional oleh negara maju, Indonesia sebagai ketua negara-negara anggota WTO yang tergabung di dalam G-33 mendapat kesempatan untuk melawan ketidakadilan di dalam WTO System. Misalnya saja dengan menerapkan metode yang biasa dipergunakan oleh aliran Critical Legal Studies, yaitu trashing, deconstruction dan genealogy. Dengan mudah dapat ditunjukkan bukti-bukti nyata bahwa WTO telah gagal memenuhi tujuan utamanya, yaitu: peningkatan standar hidup dan penghasilan; perluasan lapangan kerja; peningkatan produksi dan perdagangan. Data statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan GDP dunia setelah dibentuknya WTO justru turun, yaitu dari 2,64% (1985-1994) menjadi 2,58% (1995-2004). Demikian pula pertumbuhan tingkat perdagangan dunia merosot dari 7,15% (1985-1994) menjadi 6,53% (1995-2004). Dengan dimulainya krisis perekonomian dunia yang diawali dari sistem perekonomian Amerika Serikat di tahun 2008, dapat dipastikan kondisi PDB dunia maupun perdagangan global akan semakin memburuk. Dalam keadaan demikian apabila negara-negara maju tetap pada pendiriannya menolak perubahan WTO rules ke arah yang lebih adil untuk negara berkembang, masihkan Indonesia akan bertahan menjadi "pelengkap penderita" di dalam organisasi perdagangan tersebut? Kenapa tidak dimaksimalkan pemanfaatan pasar dalam negeri dan perdagangan bilateral maupun regional yang lebih adil?
Kajian Sosiologis Tentang Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum
Apa yang dipaparkan oleh Gustav Radbruch dengan menyebut tiga tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, pada akhirnya membutuhkan elaborasi yang dapat didekati dari berbagai posisi dan sudut pandang. Ilmu hukum dogmatis selama ini dipersepsikan sangat cenderung mengutamakan kepastian hukum di atas tujuan-tujuan lainnya. Sementara itu, filsafat hukum cenderung lebih mendahulukan tujuan keadilan. Di sisi lain, sosiologi hukum yang berkedudukan sebagai salah satu ilmu-ilmu empiris tentang hukum, diasumsikan lebih dekat pada tujuan kemanfaatan. Namun, ulasan di atas menunjukkan bahwa pada akhirnya ketiga tujuan hukum ini akan menemukan titik temunya.
Sosiologi hukum memang bukan berada dalam tataran ilmu hukum dogmatis. Kendati demikian, keberadaan dan hasil kerjanya dapat diman- faatkan oleh setiap pengemban hukum pada semua tataran, untuk lebih meng- hayati dimensi multifaset dari suatu fenomena sosial yang disebut hukum.
Sosiologi hukum, sebagaimana tertuang dalam tulisan ini, ternyata dapat pula memanfaatkan pendekatan ekonomi terhadap hukum sebagai kerangka berpikir tatkala hendak mendeskripsikan, menjelaskan, dan mengevaluasi hukum. Tentu saja pendekatan inipun memiliki kelebihan dan kekurangan. Pendekatan ekonomi terhadap hukum dapat dipandang sebagai bentuk perjuangan kaum Utiliarian untuk memperkuat klaim-klaim mereka terkait tujuan-tujuan hukum yang lebih pragmatis. Pendekatan ekonomi dapat menjadi sarana analisis yang berguna karena ia memang mampu menawarkan parameter-parameter secara kuantitatif. Di mata mereka, apa yang bermanfaat barulah dipandang berkepastian (demikian pula sebaliknya), apabila tersedia parameter yang terukur. Kalkulus "pain and pleasure" sebagaimana disampaikan oleh Bentham, misalnya, menjadi jauh terelaborasi dengan menggunakan pendekatan ini. Jerih payah demikian layak diapresiasi, khususnya oleh peminat sosiologi hukum yang selama ini lebih terbiasa menggunakan pendekatan-pendekatan kualitatif dalam mencermati fenomena hukum di masyarakat.
Implikasi Label(Perspektif teori Jorgen Habermas)
Apa yang dipaparkan oleh Gustav Radbruch dengan menyebut tiga tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, pada akhirnya membutuhkan elaborasi yang dapat didekati dari berbagai posisi dan sudut pandang. Ilmu hukum dogmatis selama ini dipersepsikan sangat cenderung mengutamakan kepastian hukum di atas tujuan-tujuan lainnya. Sementara itu, filsafat hukum cenderung lebih mendahulukan tujuan keadilan. Di sisi lain, sosiologi hukum yang berkedudukan sebagai salah satu ilmu-ilmu empiris tentang hukum, diasumsikan lebih dekat pada tujuan kemanfaatan. Namun, ulasan di atas menunjukkan bahwa pada akhirnya ketiga tujuan hukum ini akan menemukan titik temunya.
Sosiologi hukum memang bukan berada dalam tataran ilmu hukum dogmatis. Kendati demikian, keberadaan dan hasil kerjanya dapat diman- faatkan oleh setiap pengemban hukum pada semua tataran, untuk lebih meng- hayati dimensi multifaset dari suatu fenomena sosial yang disebut hukum.
Sosiologi hukum, sebagaimana tertuang dalam tulisan ini, ternyata dapat pula memanfaatkan pendekatan ekonomi terhadap hukum sebagai kerangka berpikir tatkala hendak mendeskripsikan, menjelaskan, dan mengevaluasi hukum. Tentu saja pendekatan inipun memiliki kelebihan dan kekurangan. Pendekatan ekonomi terhadap hukum dapat dipandang sebagai bentuk perjuangan kaum Utiliarian untuk memperkuat klaim-klaim mereka terkait tujuan-tujuan hukum yang lebih pragmatis. Pendekatan ekonomi dapat menjadi sarana analisis yang berguna karena ia memang mampu menawarkan parameter-parameter secara kuantitatif. Di mata mereka, apa yang bermanfaat barulah dipandang berkepastian (demikian pula sebaliknya), apabila tersedia parameter yang terukur. Kalkulus "pain and pleasure" sebagaimana disampaikan oleh Bentham, misalnya, menjadi jauh terelaborasi dengan menggunakan pendekatan ini. Jerih payah demikian layak diapresiasi, khususnya oleh peminat sosiologi hukum yang selama ini lebih terbiasa menggunakan pendekatan-pendekatan kualitatif dalam mencermati fenomena hukum di masyarakat.
Hukum Sebagai Teks
Ketuhanan Yang Maha Esa (monoteisme) menjadi nilai yang menentukan keadilan yang direpresentasikan oleh hukum. Bagaimana dengan kepercayaan atau agama yang mendasarkan dirinya pada politeisme atau panteisme misalnya. Tatanan keadilan yang dibangun ('order') adalah tatanan yang begitu monoteistik. Politeisme dan panteisme berada dalam situasi negativitas yang murni (the pure negativity of the excluded). Penanda yang kosong dalam sistem penandaan keberadaan hukum (sistem hukum) dihegemoni oleh nilai monoteistik. Yang politeistik dan panteistik sudah ditolak atau dieksklusikan dalam sistem "keadilan" negara ini. Karena itu identitas yang monoteistik memang dinyatakan dengan pengeksklusian mereka yang bukan monoteistik. Dalam diskontinuitas yang berupa pengasingan yang politeistik dan panteistik itu, keberadaan keadilan yang monoteistik diafirmasi. Afirmasi ini tidak hanya sekadar permukaan saja tetapi juga telah menjadi hegemoni dalam sistem pemaknaan. Kesamaan di hadapan hukum dimengerti dalam hegemoni nilai yang begitu monoteistik.
Dalam penjelasan yang sedemikian, sulit untuk tetap melihat keadilan bukan sebagai tatatan atau 'order'. Keadilan adalah 'order' sebuah penanda yang kosong (the empty signifier). Keadilan ditentukan sifat dan nilainya oleh yang mengehegemoninya. Keadilan yang tidak berpihak dapat dimengerti dengan baik apabila yang dimaksud dengan tidak berpihak adalah kekosongan makna, sehingga kekosongan itu mungkin diisi oleh nilai-nilai yang dapat mengisi kekosongan itu, seperti keadilan yang monoteistik misalnya. Ke- adilan semacam itu telah melakukan hegemoni terhadap tatanan kosong yang memang dimiliki oleh hukum. Dalam hegemoni keadaan memang tidak stabil dan selalu dipenuhi oleh ambiguitas (kemenduaan). Ambiguitas itu misalnya terlihat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Di pasal 28 E, di bawah bab XA tentang Hak Asasi Manusia, ayat (1)
Selain keadilan yang monoteistik yang mengeksklusi secara total (pure negativity), kita juga dapat menemukan fenomena lain yang memperlihatkan betapa hukum menjadi penanda yang kosong dalam "Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 14/PUU-VI/2008 Tentang Permohonan Uji Materi Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)". Dalam Putusan ini terlihat bagaimana Mahkamah Konstitusi menggunakan logika yang tidak kontradiktif mengafirmasi sebuah hegemoni dari nilai tertentu terhadap nilai yang lain. Permohonan uji materi diajukan oleh dua orang wartawan yang divonis bersalah telah melakukan pencemaran nama baik dan penghinaan.
Pemohon menggunakan (diantaranya) pasal 28 E ayat (2) dan Pasal 28 FUUD 1945 sebagai dasar bagi permohonannya. Kedua pasal itu memberikan dasar bagaimana seorang warga negara memiliki hak untuk menyatakan pendapat sesuai dengan hati nuraninya. Kata hati nurani dirujukkan pada sebuah nalar atau logika publik yang menjadi ukuran. Diandaikan seorang manusia memiliki dan mengetahui hal ini. Dalam kedua pasal ini diungkapkan pula hak dari warga masyarakat untuk mengetahui informasi, terlebih lagi ketika informasi tersebut berkaitan dengan perihal penyelenggaraan pelayanan publik, atau moralitas publik.
Kedua pasal itu kemudian dinegasikan dan diekslusikan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai sesuatu yang berbeda sama sekali atau di luar dari nilai yang nenghegemoni; yang terkandung dalam Pasal 28 G UUD 1945 ayat (1).
Mempertimbangkan Brian.Z TAMANAHA : Sosio Legal Positivis, Anti Esensialisme, dan Pragmatisme.
Untuk mempertajam pemahaman kita terhadap pemikiran Tamanaha tersebut, kiranya perlu membandingkannya dengan pemikiran hukum dan Jrgen Habermas dan Carol Smart.
Jrgen Habermas adalah salah satu tokoh teori kritis Jerman. Ia menawarkan filsafat komunikasi sebagai cara manusia berinteraksi. Menurutnya kekeliruan filsafat dan ilmu sosial Barat modern selama ini adalah merumuskan interaksi antar manusia dalam paradigma kerja. Kerja - sebagai cara manusia menghasilkan (tujuan) sesuatu didasarkan pada rasio instrumental (sarana-tujuan). Memperlakukan relasi antar manusia dalam paradigma kerja hanya akan membuat manusia memperlakukan sesamanya sebagai objek dari tujuan-tujuan yang ia tetapkan secara pribadi. Relasi antar manusia hanya sehat bila komunikatif. Tujuan komunikasi-yang berlangsung tanpa paksaan (dalam situasi ideal)-adalah mencapai pengertian bersama tentang hal-hal yang dipersoalkan, sehingga bisa menghantar para pihak itu ke konsensus.
Karena itu Habermas mengatakan, bahwa sebagai sebuah sistem nilai dalam suatu masyarakat majemuk, keabsahan (legitimasi) hukum tak bisa dibuat berdasarkan filsafat moral tertentu atau salah satu teori positivisme hukum. Hukum yang legitim hanya bisa dibuat dalam komunikasi inter- subyektif antara negara dan para subjek hukum. Proses komunikasi dan konsensus yang dicapainya akan membuat para subjek hukum menyadari sejauh mana hak-hak pribadi dan kepentingan bersama mereka dijamin oleh hukum. Jadi bagi Habermas teori komunikasi akan membuat hukum tidak hanya melindungi kepentingan pribadi para subjek hukum, tapi juga menjamin integrasi sosial.
Jadi tampak ada persamaan dan sekaligus perbedaan mendasar antara Habermas dan Tamanaha. Persamaan mereka adalah menganggap sebuah norma tak bisa disebut hukum hanya berdasarkan perspektif filsafat hukum tertentu. Pendasaran diri pada filsafat hukum tertentu ini akan menimbulkan - seperti yang dikatakan oleh Tamanaha-pandangan esensialisme dan fungsionalisme hukum. Perspektif filsafat komunikasi Habermas (yang juga sudah mengakhiri berbagai bentuk filsafat subjek-Cartesianisme, Kantianisme, Hegelianisme atau Marxisme - sebagai penghasil kebenaran metafisis tertentu) juga memungkinkan berbagai norma sosial diangkat sebagai norma hukum hanya melalui prosedur komunikasi. Komunikasi sebagai dasar pembentukan hukum jelas berbeda dari prosedur 'kaidah sekunder' dari Hart. Komunikasi melibatkan negara dan warga negara. Sementara 'kaidah sekunder' hanya melibatkan pejabat hukum yang professional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H