Sebagai kritik-otokritik, pendekatan socio-legal yang semula merupakan pendekatan kritis atas kelemahan Positivisme Hukum (Dogmatika Hukum), dalam perkembangannya juga diserap oleh kapitalisme terutama untuk memodifikasi proyek-proyek mereka sehingga menjadi lebih humanis dan responsif. Kekuatan proyek-proyek hukum humanis dan responsif seperti Justice for The poor, mampu mengintegrasikan resistensi terhadap kapitalisme menjadi masuk dalam sistem.
Dalam senjakala ideologi atau "titik akhir dari evolusi ideologis manusia", kita memang sedang menghadapi jalan buntu, sehingga memilih jalan memutar, yakni sambil menuntun kuda balap tua mengitari jalan lama. Kita menyepakati konsensus mengerjakan proyek hukum humanis dengan meminta sedekah pada para funding. Padahal proyek hukum humanis semacam ini tak jauh beda dengan neo-kolonialisme baru yang berwajah sabar nan menawan, namun bak penyakit flu burung yang siap menjangkiti ke mana ia hinggap.
Keanggotaan Indonesia Di WTO ; Perlukah Dipertahankan?
Sebenarnya dalam praktik transaksi perdagangan internasional, keberhasilan disepakatinya persetujuan-persetujuan yang tercakup dalam persetujuan- persetujuan di bawah payung WTO itu sendiri bukan merupakan hasil yang dapat mengatasi segala masalah, karena rumusan-rumusan yang diwujudkan dalam persetujuan-persetujuan tersebut sebenarnya tidak lain hanyalah merupakan bagian dari proses tawar-menawar yang berkelanjutan. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama dalam beraneka "agreement"-yang tidak jarang bersifat "ambiguity"- maupun komi komitmen yang dinyatakan oleh masing-masing negara anggota, tidak pelak lagi akan menimbulkan penafsiran-penafsiran yang mungkin berbeda. Tidak mustahil bahwa perbedaan-perbedaan penafsiran ini akan menimbulkan permasalahan atau sengketa yang harus diselesaikan di kemudian hari Padahal dalam penyelesaian sengketa melalui Dispute Settlement Mechanism Panel maupun Appelatte Body tidak memiliki kewenangan untuk melakukan interpretasi terhadap isi WTO Agreements. Mereka hanya berwenang untuk melakukan "klarifikasi", karena wewenang untuk melakukan interpretasi adalah hak eksklisif yang hanya dimiliki oleh Ministerial Conference dan General Council.
Diselesaikannya pembentukan suatu produk hukum (nasional maup internasional) bukan berarti menyelesaikan segala permasalahan yang diatur. Justru setelah produk hukum terbentuk, selalu diikuti dengan tanggung- jawab yang lebih berat untuk dilaksanakan daripada proses pembentukan produk hukum tersebut, yaitu bagaimana mengupayakan agar hukum yang ada berlaku secara efektif. Kegagalan untuk memberlakukan produk hukum yang baru justru menimbulkan ketidak-pastian hukum, yang akan berujung pada malapetaka perekonomian. Pada akhirnya pantas untuk mendapat perhatian bahwa:
1. Karena tingkat konsumsi Indonesia selalu meningkat (kecuali di masa krisisi ekonomi 1998)
2. WTO juga mengatur perlindungan HAKI (Hak Atas Kepemilikan Intelektual yang terkait dalam perdagangan internasional/Trade Related Intellectual Property Rights/TRIPS)-a.l
3. Dalam perdagangan internasional pelayanan jasa (berdasarkan General Agreement on Trade in Services/GATS), Indonesia menderita defisit neraca pembayaran yang tidak kecil, karena dalam transaksi internasional bidang jasa negara ini merupakan "net-importing country", Dengan macetnya perundingan WTO pada "Doha Round", di dalam perjuangan melawan penyalahgunaan hukum perdagangan internasional oleh negara maju, Indonesia sebagai ketua negara-negara anggota WTO yang tergabung di dalam G-33 mendapat kesempatan untuk melawan ketidakadilan di dalam WTO System. Misalnya saja dengan menerapkan metode yang biasa dipergunakan oleh aliran Critical Legal Studies, yaitu trashing, deconstruction dan genealogy. Dengan mudah dapat ditunjukkan bukti-bukti nyata bahwa WTO telah gagal memenuhi tujuan utamanya, yaitu: peningkatan standar hidup dan penghasilan; perluasan lapangan kerja; peningkatan produksi dan perdagangan. Data statistik menunjukkan bahwa pertumbuhan GDP dunia setelah dibentuknya WTO justru turun, yaitu dari 2,64% (1985-1994) menjadi 2,58% (1995-2004). Demikian pula pertumbuhan tingkat perdagangan dunia merosot dari 7,15% (1985-1994) menjadi 6,53% (1995-2004). Dengan dimulainya krisis perekonomian dunia yang diawali dari sistem perekonomian Amerika Serikat di tahun 2008, dapat dipastikan kondisi PDB dunia maupun perdagangan global akan semakin memburuk. Dalam keadaan demikian apabila negara-negara maju tetap pada pendiriannya menolak perubahan WTO rules ke arah yang lebih adil untuk negara berkembang, masihkan Indonesia akan bertahan menjadi "pelengkap penderita" di dalam organisasi perdagangan tersebut? Kenapa tidak dimaksimalkan pemanfaatan pasar dalam negeri dan perdagangan bilateral maupun regional yang lebih adil?
Kajian Sosiologis Tentang Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum
Apa yang dipaparkan oleh Gustav Radbruch dengan menyebut tiga tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, pada akhirnya membutuhkan elaborasi yang dapat didekati dari berbagai posisi dan sudut pandang. Ilmu hukum dogmatis selama ini dipersepsikan sangat cenderung mengutamakan kepastian hukum di atas tujuan-tujuan lainnya. Sementara itu, filsafat hukum cenderung lebih mendahulukan tujuan keadilan. Di sisi lain, sosiologi hukum yang berkedudukan sebagai salah satu ilmu-ilmu empiris tentang hukum, diasumsikan lebih dekat pada tujuan kemanfaatan. Namun, ulasan di atas menunjukkan bahwa pada akhirnya ketiga tujuan hukum ini akan menemukan titik temunya.
Sosiologi hukum memang bukan berada dalam tataran ilmu hukum dogmatis. Kendati demikian, keberadaan dan hasil kerjanya dapat diman- faatkan oleh setiap pengemban hukum pada semua tataran, untuk lebih meng- hayati dimensi multifaset dari suatu fenomena sosial yang disebut hukum.