Sosiologi hukum, sebagaimana tertuang dalam tulisan ini, ternyata dapat pula memanfaatkan pendekatan ekonomi terhadap hukum sebagai kerangka berpikir tatkala hendak mendeskripsikan, menjelaskan, dan mengevaluasi hukum. Tentu saja pendekatan inipun memiliki kelebihan dan kekurangan. Pendekatan ekonomi terhadap hukum dapat dipandang sebagai bentuk perjuangan kaum Utiliarian untuk memperkuat klaim-klaim mereka terkait tujuan-tujuan hukum yang lebih pragmatis. Pendekatan ekonomi dapat menjadi sarana analisis yang berguna karena ia memang mampu menawarkan parameter-parameter secara kuantitatif. Di mata mereka, apa yang bermanfaat barulah dipandang berkepastian (demikian pula sebaliknya), apabila tersedia parameter yang terukur. Kalkulus "pain and pleasure" sebagaimana disampaikan oleh Bentham, misalnya, menjadi jauh terelaborasi dengan menggunakan pendekatan ini. Jerih payah demikian layak diapresiasi, khususnya oleh peminat sosiologi hukum yang selama ini lebih terbiasa menggunakan pendekatan-pendekatan kualitatif dalam mencermati fenomena hukum di masyarakat.
Implikasi Label(Perspektif teori Jorgen Habermas)
Apa yang dipaparkan oleh Gustav Radbruch dengan menyebut tiga tujuan hukum, yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, pada akhirnya membutuhkan elaborasi yang dapat didekati dari berbagai posisi dan sudut pandang. Ilmu hukum dogmatis selama ini dipersepsikan sangat cenderung mengutamakan kepastian hukum di atas tujuan-tujuan lainnya. Sementara itu, filsafat hukum cenderung lebih mendahulukan tujuan keadilan. Di sisi lain, sosiologi hukum yang berkedudukan sebagai salah satu ilmu-ilmu empiris tentang hukum, diasumsikan lebih dekat pada tujuan kemanfaatan. Namun, ulasan di atas menunjukkan bahwa pada akhirnya ketiga tujuan hukum ini akan menemukan titik temunya.
Sosiologi hukum memang bukan berada dalam tataran ilmu hukum dogmatis. Kendati demikian, keberadaan dan hasil kerjanya dapat diman- faatkan oleh setiap pengemban hukum pada semua tataran, untuk lebih meng- hayati dimensi multifaset dari suatu fenomena sosial yang disebut hukum.
Sosiologi hukum, sebagaimana tertuang dalam tulisan ini, ternyata dapat pula memanfaatkan pendekatan ekonomi terhadap hukum sebagai kerangka berpikir tatkala hendak mendeskripsikan, menjelaskan, dan mengevaluasi hukum. Tentu saja pendekatan inipun memiliki kelebihan dan kekurangan. Pendekatan ekonomi terhadap hukum dapat dipandang sebagai bentuk perjuangan kaum Utiliarian untuk memperkuat klaim-klaim mereka terkait tujuan-tujuan hukum yang lebih pragmatis. Pendekatan ekonomi dapat menjadi sarana analisis yang berguna karena ia memang mampu menawarkan parameter-parameter secara kuantitatif. Di mata mereka, apa yang bermanfaat barulah dipandang berkepastian (demikian pula sebaliknya), apabila tersedia parameter yang terukur. Kalkulus "pain and pleasure" sebagaimana disampaikan oleh Bentham, misalnya, menjadi jauh terelaborasi dengan menggunakan pendekatan ini. Jerih payah demikian layak diapresiasi, khususnya oleh peminat sosiologi hukum yang selama ini lebih terbiasa menggunakan pendekatan-pendekatan kualitatif dalam mencermati fenomena hukum di masyarakat.
Hukum Sebagai Teks
Ketuhanan Yang Maha Esa (monoteisme) menjadi nilai yang menentukan keadilan yang direpresentasikan oleh hukum. Bagaimana dengan kepercayaan atau agama yang mendasarkan dirinya pada politeisme atau panteisme misalnya. Tatanan keadilan yang dibangun ('order') adalah tatanan yang begitu monoteistik. Politeisme dan panteisme berada dalam situasi negativitas yang murni (the pure negativity of the excluded). Penanda yang kosong dalam sistem penandaan keberadaan hukum (sistem hukum) dihegemoni oleh nilai monoteistik. Yang politeistik dan panteistik sudah ditolak atau dieksklusikan dalam sistem "keadilan" negara ini. Karena itu identitas yang monoteistik memang dinyatakan dengan pengeksklusian mereka yang bukan monoteistik. Dalam diskontinuitas yang berupa pengasingan yang politeistik dan panteistik itu, keberadaan keadilan yang monoteistik diafirmasi. Afirmasi ini tidak hanya sekadar permukaan saja tetapi juga telah menjadi hegemoni dalam sistem pemaknaan. Kesamaan di hadapan hukum dimengerti dalam hegemoni nilai yang begitu monoteistik.
Dalam penjelasan yang sedemikian, sulit untuk tetap melihat keadilan bukan sebagai tatatan atau 'order'. Keadilan adalah 'order' sebuah penanda yang kosong (the empty signifier). Keadilan ditentukan sifat dan nilainya oleh yang mengehegemoninya. Keadilan yang tidak berpihak dapat dimengerti dengan baik apabila yang dimaksud dengan tidak berpihak adalah kekosongan makna, sehingga kekosongan itu mungkin diisi oleh nilai-nilai yang dapat mengisi kekosongan itu, seperti keadilan yang monoteistik misalnya. Ke- adilan semacam itu telah melakukan hegemoni terhadap tatanan kosong yang memang dimiliki oleh hukum. Dalam hegemoni keadaan memang tidak stabil dan selalu dipenuhi oleh ambiguitas (kemenduaan). Ambiguitas itu misalnya terlihat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Di pasal 28 E, di bawah bab XA tentang Hak Asasi Manusia, ayat (1)
Selain keadilan yang monoteistik yang mengeksklusi secara total (pure negativity), kita juga dapat menemukan fenomena lain yang memperlihatkan betapa hukum menjadi penanda yang kosong dalam "Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 14/PUU-VI/2008 Tentang Permohonan Uji Materi Pasal 310 ayat (1), Pasal 310 ayat (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal 316, dan Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)". Dalam Putusan ini terlihat bagaimana Mahkamah Konstitusi menggunakan logika yang tidak kontradiktif mengafirmasi sebuah hegemoni dari nilai tertentu terhadap nilai yang lain. Permohonan uji materi diajukan oleh dua orang wartawan yang divonis bersalah telah melakukan pencemaran nama baik dan penghinaan.
Pemohon menggunakan (diantaranya) pasal 28 E ayat (2) dan Pasal 28 FUUD 1945 sebagai dasar bagi permohonannya. Kedua pasal itu memberikan dasar bagaimana seorang warga negara memiliki hak untuk menyatakan pendapat sesuai dengan hati nuraninya. Kata hati nurani dirujukkan pada sebuah nalar atau logika publik yang menjadi ukuran. Diandaikan seorang manusia memiliki dan mengetahui hal ini. Dalam kedua pasal ini diungkapkan pula hak dari warga masyarakat untuk mengetahui informasi, terlebih lagi ketika informasi tersebut berkaitan dengan perihal penyelenggaraan pelayanan publik, atau moralitas publik.
Kedua pasal itu kemudian dinegasikan dan diekslusikan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai sesuatu yang berbeda sama sekali atau di luar dari nilai yang nenghegemoni; yang terkandung dalam Pasal 28 G UUD 1945 ayat (1).