Mohon tunggu...
Elvrida Lady Angel Purba
Elvrida Lady Angel Purba Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menuangkan isi pikiran

Mengalir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dia yang Memberi Kesan

12 Maret 2024   21:31 Diperbarui: 12 Maret 2024   21:39 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Karya : Firman Matias Simanjuntak

Ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Kutipan itu dari buku suci Si Bontar Mata, seorang barat yang datang ke Tapanuli Utara. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Silindung, kehadirannya tidak diinginkan. Tidak bagi rajanya, tidak bagi masyarakatnya.

"Siapa dia?", Gumamku dalam hati sembari menatap langit gelap menangis.

Pertanyaan itu teramat jelas terpatri dalam pikiranku. Ia bagian dari Eropa, namun tutur dan tindaknya berbeda dengan bangsanya.

"Apa tingkahnya hanya sandiwara? Tidaklah mungkin ada manusia Eropa yang berbudi luhur." Sambungku dalam hati, sampai akhirnya dihentikan oleh suara hatoban (pelayan).

"Permisi, Tuan. Raja Panalangkup berada di ambang."

"Sambut dan persilakan masuk." Sahutku yang masih dalam kebingungan.

Tidak biasanya Raja Panalangkup singgah ke rumah orang lain. Pasti ada sesuatu yang menggusarkannya sekarang.

"Horas!" Serak Panalangkup bergaung di dalam rumah, mengawali langkahnya yang lebar sambil memegang sebilah pisau.

"Apa tujuanmu, Opung? Untuk apa benda itu?"

"Pisau ini? Hanya sekadar menjaga diri dari Si Bontar Mata."

"Dia?" Tanyaku.

"Tentu. Manusia itu sama saja dengan kaumnya, manusia hina." Sahutnya sembari menduduki tikar.

"Tampaknya dirimu sangat membenci orang ini." Kukerutkan kulit dahi tanda serius.

"Itulah tujuanku bertemu denganmu, Tuan. Aku butuh dukunganmu."

"Maksudnya? Dukungan macam apa?"

"Dukungan untuk melenyapkan dia." Panalangkup menyahut dengan sedikit senyum.

"Orang asing itu akan membawa pegaruh buruk bagi kita. Dia seperti  kulit raru yang dimasukkan dalam nira. Jika dibiarkan semakin lama, bisa mengubah warna dan rasa aslinya." Sambungnya.

Sudah kuduga manusia yang satu ini memang punya tujuan khusus. Entah rencana buruk apa saja yang terlintas di benak dukun ini. Semua ditujukan untuk menyakiti orang lain, terutama Si Bontar Mata.

"Bukankah raru dipakai untuk mengubah nira menjadi tuak? Jika kita menganggap raru membawa citra buruk, buat apa menikmati tuak yang adalah hasil dari pengaruhnya?" Kubalas ucapan si tua itu.

"Jangan berbelit dalam berbicara! Apa maksud ucapanmu?"

"Perubahan tidaklah selalu ke arah yang buruk. Mungkin saja terasa hina dari luar, namun sebenarnya baik jika dinikmati."

"Jadi?" Panalangkup bertanya.

"Aku tidak mau membantumu. Tidak, sebelum aku mengetahui sifat asli dari dirinya. Aku masih menunggu." Kucoba mendominasi.

"Kalau begitu, aku undur diri. Tuan, kau akan menyesali keputusanmu." Ucapnya seraya mencoba berdiri dengan tongkat sebagai penopang dan secepat mungkin bergerak keluar, Terlihat raut wajahnya menunjukkan kekesalan terhadap jawabanku.

Berselang beberapa hari setelah kedatangan Raja Panalangkup, kesibukan terjadi di sekitaran Silindung. Mataku tertuju pada ramainya manusia yang berkumpul di sidang desa. Rasa penasaraan akhirnya melangkahkanku dekat pada keramaian.

Sebuah persiapan besar. Entah kenapa diriku bisa lupa bahwa besok adalah hari untuk martonggo pada sembahan Siatas Barita, ilah yang diagungkan oleh rakyat kampung. Kejanggalan mulai terasa karena tak melihat kurban persembahan untuk upacara. Sudah kutanya, namun tak seorangpun bisa memberi kepastian.

"Tunggulah sampai besok. Semuanya akan terlihat jelas di Onan Sitahuru." Jawaban ini membuatku kembali, menunggu waktu menjawabnya.

Matahari kian menunjukkan wajah di hari pelaksanaan upacara. Ribuan orang datang ke Onan Sitahuru, tempat partonggoan. Masih sama, tetap tidak menemukan yang kucari. Perlahan, suara dari gondang sabangunan kian menggema, pertanda upacara akan dimulai. Semua sudah siap pada posisinya, mengitari pohon hariara di tengah Sitahuru.

"Horas!" Sekumpulan pria berteriak, bergerak seirama dengan musik gondang.

Terdiam. Kurbannya bukan kambing, lembu, ataupun kerbau. Seorang pria tampak diseret masuk dengan posisi terikat layaknya binatang. Itu Si Bontar Mata. Setelah sekian lama, hari ini kurban luar biasa diberikan lagi pada sembahan kami. Pria itu diikat pada pohon besar, di tengah masyarakat yang siap berdoa. Nahas nasib yang diterima Si Bontar Mata ini. Pikirku ini akan menjadi akhir kisahnya.

"Sembah kami pada Ompu yang maha kuasa. Dengarlah doa kami, kabulkanlah hajat kami." Ucap pemimpin ritual memulai partonggoan.

"Terimalah persembahan kami!" Pemimpin itu menyambung dengan mengeluarkan sebilah parang.

Langkahnya pasti walau tertatih, memnghampiri pria yang tidak berdaya. Kulihat matanya yang tertutup dengan mulut yang sedang berkata-kata. Apa yang diucapkannya? Dia tak gentar dengan parang yang mendekat.

Ketika parang itu diangkat, duar!... petir menggelegar dari langit. Suara itu menjadi pembuka hujan badai yang membubarkan kerumunan. Bagaimana mungkin? Langit yang tadinya tersenyum, mengapa kini menjadi murka hanya dalam hitungan menit? Upacara terhenti, sajen persembahan berserakan dimana-mana. Masyarakat yang takut petaka pontang-panting menyelamatkan diri. Tiada yang mengingat kawannya, seakan kiamat sudah didepan mata. Sekali lagi, apa yang sebenarnya sedang terjadi?

"Dengarlah hai manusia! Leluhurmu tidak akan mengkehendaki keturunannya bengis dan tidak beradat! Setanlah yang sudah berbicara pada kepalamu sehingga menjadi brutal. Jangan sampai kalian jatuh lagi seperti mereka yang di Lobupining!" Sebuah suara bergaung saat badai mulai mereda.

Mataku terbelalak. Aku mencari-cari sumber suara hingga akhirnya tertuju pada satu sosok yang tidak asing. Itu Si Bontar Mata. Diriku tertegun memandang dari kejauhan. Sosok itu pergi, menghilang ditengah derasnya hujan. Tatkala gelap masih menyelimuti Siatas Barita yang kebasahan.

"Siapa dia?" Kembali tanya itu hadir dalam benakku.

Langkah demi langkah kutapakkan melintasi lumpur yang tercipta karena derasnya hujan. Hanya sendirian, bergerak ditengah keramaian. Masih terpatri jelas ucapan dari mulutnya. Siapa gerangan begu yang disebut Setan ini? Dia juga menyiratkan tragedi Lobupining, persekusi dua orang seperti dia. Kejadian itu memang mengerikan. Cukup untuk memberikan pengalaman tak terlupakan.

"Ternyata dirinya mengetahui seluk beluk kami." Gumamku di dalam hati sembari memasuki pelataran rumah.

"Tidakkah engkau lelah?" Tanya Dainang, isteriku dari kejauhan menuju rumah.

"Beristirahatlah. Acara itu pasti membuatmu letih." Sambungnya setelah berhasil menggapai pundakku.

"Upacara itu berhenti. Hujan badai menyelimuti Siatas Barita, tatkala kurban hendak disembelih." Kubalas sedikit ucapannya.

"Aku sudah mendengar berita itu dari orang lain."

"Lalu, tidakkah engkau merasa ada yang ganjil?"

"Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Sudahlah, sebaiknya dirimu tidur. Lupakan sejenak apa yang berada di benakmu itu."

Sudah kucoba, namun diriku tetap tidak bisa melupakan kejadian itu. Bahkan sampai hari ini, tiga minggu sejak partonggoan itu diporak-porandakan hujan lebat. Masih terbayang jelas apa yang terjadi saat itu. Entah bagaimana bisa terjadi, seakan hal itu hanyalah mimpi.

Ceritaku berjalan dengan diam sampai beberapa hari. Aku masih di rumah. Kutatap Silindung dari tingkap dan tertuju pada seseorang. Tampak jelas pria tua mendekat dengan pasti.

"Pria itu lagi. Mau apa dia kesini?" Seruku seorang diri yang kemudian bergerak turun menjumpai.

"Horas!" Sapaku menjemput langkahnya dari ambang pintu.

"Horas, Tuan!" Balasnya dengan ekspresi tak biasa.

Ucapannya terlihat sangat tulus, menyuarakan perasaannya yang sedang bahagia. Senyum itu, sudah lama aku tak melihatnya keluar dari sosok Raja Panalangkup. Ada apa gerangan?

"Tak pernah lagi kulihat engkau semenjak kejadian di Onan Sitahuru. Kemana saja dirimu pergi?" Tanyaku membuka pembicaraan di dalam rumah.

"Itulah yang ingin kubagikan denganmu. Bodohlah aku karena mengira dia sama saja dengan kaumnya. Dia bukan orang biasa, dia berbeda." Semangat Panalangkup bercerita.

"Maksdmu Si Bontar Mata?" Kucoba memperjelas.

"Ya. Aku pergi ke rumahnya, mengendap-endap ke dapur saat ia sedang tidak di tempat."

"Lalu?" Sambutku dengan tanya.

"Kuracuni makanannya, kemudian bersembunyi. Aku menunggu dirinya bersantap lalu mati."

Kusodorkan badan tanda serius mendengar kisahnya. Bukan main nyalinya. Bersama usia yang tak lagi muda, dirinya masih sanggup melaksanakan siasat licik itu.  Sudah tabiat! Itulah yang bisa disematkan pada pria tua ini.

"Si Bontar Mata juga memberikan makanan itu pada peliharaannya. Anehnya ia baik-baik saja, padahal anjingnya mati setelah memakan itu. Aku  tetap menunggu, berharap orang itu akan mati. Namun tidak ada, dia masih bugar saat ini." Panalangkup melanjutkan ceritanya.

"Kau tidak bergurau kan?" Aku tak percaya.

"Benar, Tuan. Kuikuti dia karena takut akan mati, tapi dengan sembunyi-sembunyi. Hingga suatu kali setelah ia berkhotbah, aku datang lalu bertanya, apakah dia akan mengampuni orang lain walau sudah disakiti berulang kali?"

"Jadi?" Aku semakin mengorek kisah orang ini.

"Ia bilang siapapun berhak atas ampunan, bahkan berkali-kali ampun baginya. Jadi, kau tahu lanjutannya." Panalangkup mulai malu.

Aku tertawa sebentar diiringi hujan dan angin lembut yang melayangkan daun-daun kering. Persis seperti hari itu, ketika Panalangkup membawa serta siasatnya ke rumah ini. Diriku tertegun sejenak, menatap wajah Panalangkup yang masih bercerita. Belum pernah kujumpai sosok manusia yang sanggup menundukkan orang tua ini. Dia bukan orang sembarangan. Apapun yang berhubungan dengannya selalu menimbulkan kesan.

"Siapa dia?" Gumamku dalam keheningan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun