"Dia?" Tanyaku.
"Tentu. Manusia itu sama saja dengan kaumnya, manusia hina." Sahutnya sembari menduduki tikar.
"Tampaknya dirimu sangat membenci orang ini." Kukerutkan kulit dahi tanda serius.
"Itulah tujuanku bertemu denganmu, Tuan. Aku butuh dukunganmu."
"Maksudnya? Dukungan macam apa?"
"Dukungan untuk melenyapkan dia." Panalangkup menyahut dengan sedikit senyum.
"Orang asing itu akan membawa pegaruh buruk bagi kita. Dia seperti  kulit raru yang dimasukkan dalam nira. Jika dibiarkan semakin lama, bisa mengubah warna dan rasa aslinya." Sambungnya.
Sudah kuduga manusia yang satu ini memang punya tujuan khusus. Entah rencana buruk apa saja yang terlintas di benak dukun ini. Semua ditujukan untuk menyakiti orang lain, terutama Si Bontar Mata.
"Bukankah raru dipakai untuk mengubah nira menjadi tuak? Jika kita menganggap raru membawa citra buruk, buat apa menikmati tuak yang adalah hasil dari pengaruhnya?" Kubalas ucapan si tua itu.
"Jangan berbelit dalam berbicara! Apa maksud ucapanmu?"
"Perubahan tidaklah selalu ke arah yang buruk. Mungkin saja terasa hina dari luar, namun sebenarnya baik jika dinikmati."