"Ya. Aku pergi ke rumahnya, mengendap-endap ke dapur saat ia sedang tidak di tempat."
"Lalu?" Sambutku dengan tanya.
"Kuracuni makanannya, kemudian bersembunyi. Aku menunggu dirinya bersantap lalu mati."
Kusodorkan badan tanda serius mendengar kisahnya. Bukan main nyalinya. Bersama usia yang tak lagi muda, dirinya masih sanggup melaksanakan siasat licik itu. Â Sudah tabiat! Itulah yang bisa disematkan pada pria tua ini.
"Si Bontar Mata juga memberikan makanan itu pada peliharaannya. Anehnya ia baik-baik saja, padahal anjingnya mati setelah memakan itu. Aku  tetap menunggu, berharap orang itu akan mati. Namun tidak ada, dia masih bugar saat ini." Panalangkup melanjutkan ceritanya.
"Kau tidak bergurau kan?" Aku tak percaya.
"Benar, Tuan. Kuikuti dia karena takut akan mati, tapi dengan sembunyi-sembunyi. Hingga suatu kali setelah ia berkhotbah, aku datang lalu bertanya, apakah dia akan mengampuni orang lain walau sudah disakiti berulang kali?"
"Jadi?" Aku semakin mengorek kisah orang ini.
"Ia bilang siapapun berhak atas ampunan, bahkan berkali-kali ampun baginya. Jadi, kau tahu lanjutannya." Panalangkup mulai malu.
Aku tertawa sebentar diiringi hujan dan angin lembut yang melayangkan daun-daun kering. Persis seperti hari itu, ketika Panalangkup membawa serta siasatnya ke rumah ini. Diriku tertegun sejenak, menatap wajah Panalangkup yang masih bercerita. Belum pernah kujumpai sosok manusia yang sanggup menundukkan orang tua ini. Dia bukan orang sembarangan. Apapun yang berhubungan dengannya selalu menimbulkan kesan.
"Siapa dia?" Gumamku dalam keheningan.