"Lalu, tidakkah engkau merasa ada yang ganjil?"
"Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Sudahlah, sebaiknya dirimu tidur. Lupakan sejenak apa yang berada di benakmu itu."
Sudah kucoba, namun diriku tetap tidak bisa melupakan kejadian itu. Bahkan sampai hari ini, tiga minggu sejak partonggoan itu diporak-porandakan hujan lebat. Masih terbayang jelas apa yang terjadi saat itu. Entah bagaimana bisa terjadi, seakan hal itu hanyalah mimpi.
Ceritaku berjalan dengan diam sampai beberapa hari. Aku masih di rumah. Kutatap Silindung dari tingkap dan tertuju pada seseorang. Tampak jelas pria tua mendekat dengan pasti.
"Pria itu lagi. Mau apa dia kesini?" Seruku seorang diri yang kemudian bergerak turun menjumpai.
"Horas!" Sapaku menjemput langkahnya dari ambang pintu.
"Horas, Tuan!" Balasnya dengan ekspresi tak biasa.
Ucapannya terlihat sangat tulus, menyuarakan perasaannya yang sedang bahagia. Senyum itu, sudah lama aku tak melihatnya keluar dari sosok Raja Panalangkup. Ada apa gerangan?
"Tak pernah lagi kulihat engkau semenjak kejadian di Onan Sitahuru. Kemana saja dirimu pergi?" Tanyaku membuka pembicaraan di dalam rumah.
"Itulah yang ingin kubagikan denganmu. Bodohlah aku karena mengira dia sama saja dengan kaumnya. Dia bukan orang biasa, dia berbeda." Semangat Panalangkup bercerita.
"Maksdmu Si Bontar Mata?" Kucoba memperjelas.