Definisi Tarekat
Kata "tarekat" berasal dari bahasa Arab, yakni (tariqah), bentuk mashdar dari kata (tarq) yang berarti "jalan," "cara," "metode," "madzhab," dan "keadaan." Istilah ini memiliki dua makna utama dalam konteks tasawuf. Pertama, sebagai metode atau sistem untuk mengembangkan jiwa dan moral individu dalam konteks suluk dan ibadah. Kedua, sebagai sistem pelatihan roh yang dilaksanakan dalam kelompok persaudaraan Islam. Definisi ini menciptakan dua makna tarekat: sebagai metode pengembangan diri dan sebagai sistem pelatihan roh dalam konteks persahabatan Islam.
Abu Bakar Aceh mengartikan tarekat sebagai panduan untuk menjalankan ritual ibadah sesuai dengan ajaran Nabi, sahabat, dan generasi penerus mereka. Mursyid, guru yang memberikan bimbingan, mengajarkan murid-murid setelah menerima izin dari guru mereka. Tarekat, menurut penganut Tasawuf, memungkinkan implementasi peraturan Syari'at dalam praktik keagamaan. Dengan demikian, tarekat memiliki dua makna: sebagai pendidikan akhlak dan jiwa pada abad ke-9 dan ke-10 Masehi, dan sebagai gerakan komprehensif yang memberikan latihan rohani dan jasmani pada kaum muslim sesuai ajaran tertentu setelah abad ke-11 Masehi.
Definisi awal tarekat bersifat teoritis, sebagai panduan untuk memahami dan mendalami ajaran agama melalui tahap-tahap pendidikan seperti maqamat dan ahwal. Tarekat juga dilihat sebagai usaha individu mendekatkan diri kepada Allah melalui jalur tertentu. Ini sejalan dengan pandangan Syekh Muhammad Nawawi al Banteni al Jawi, di mana tarekat mencakup pelaksanaan kewajiban dan sunnah, menghindari larangan, menjauhi perilaku berlebihan, dan menjaga hati melalui mujahadah dan riyadhah.
Dalam definisi kedua, tarekat diartikan sebagai sebuah kelompok persaudaraan yang didirikan sesuai dengan aturan dan perjanjian khusus. Fokus kelompok ini adalah pelaksanaan ibadah dan zikir bersama, diatur oleh aturan tertentu baik di dunia maupun akhirat. Secara sederhana, tarekat adalah hasil pengalaman seorang sufi yang diikuti oleh murid-muridnya sesuai aturan dan metode tertentu, dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pengalaman sufi ini mencakup tata cara zikir, riyadhah, dan doa-doa, diorganisir menjadi aturan dan tata cara baku yang diikuti oleh murid-murid dalam tarekat tersebut.
Dalam praktik sufisme, setiap individu memiliki pendekatan unik, menghasilkan perbedaan di antara sufi-sufi. Salah satu contohnya adalah Syekh Abdul Qadir al Jailani, pendiri tarekat Qadiriyah, yang menekankan pentingnya penyucian diri dari nafsu dunia. Panduan yang diberikannya untuk mencapai kesucian diri termasuk taubat, zuhud, tawakal, syukur, ridha, dan jujur.
Tarekat ini mengadopsi praktik spiritual seperti zikir, terutama melantunkan nama-nama Allah berulang-ulang dengan tingkatan dan intensitas yang berbeda. Zikir dapat dilakukan secara bersama-sama, diikuti dengan praktik "pas al anfas" untuk mengatur napas sehingga asma' Allah beredar dalam tubuh secara otomatis. Selanjutnya, dilakukan praktik muraqabah (pengawasan diri) dan kontemplasi.
Definisi tarekat dalam konteks ini mencerminkan suatu metode atau pendekatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pada intinya, tarekat melibatkan aturan-aturan tertentu yang mencakup pemahaman syariah, pengendalian nafsu, praktik zikir dan doa, serta pelaksanaan amaliah ibadah dengan tekun dan kesadaran. Pendekatan ini sejalan dengan pandangan sufi bahwa tarekat membantu individu dalam perjalanan rohani mereka menuju Allah, seperti yang dikonfirmasi oleh Rasulullah SAW dalam hadis. Oleh karena itu, tarekat dianggap sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui zikir yang tekun dan pengalaman spiritual pribadi, tanpa batasan tertentu karena setiap individu memiliki jalan mereka sendiri sesuai dengan bakat, kemampuan, dan kebersihan hati masing-masing.
Unsur-Unsur Tarekat
Dalam suatu tarekat, peran seorang guru tarekat, yang umumnya disebut sebagai sheikh atau murshid, memiliki peranan penting dan bahkan mutlak dalam hierarki tarekat tersebut. Para ulama fikih, yang dianggap sebagai pewaris nabi Muhammad SAW, bertanggung jawab mengajarkan ilmu lahir, sementara murshid tarekat menjadi pewaris nabi dalam mengajarkan penghayatan keagamaan yang bersifat batin. Oleh karena itu, dalam struktur silsilah tarekat, posisi Nabi Muhammad SAW ditempatkan di puncak hierarki setelah Allah SWT dan Malaikat Jibril. Seorang murshid memiliki otoritas dan legalitas dalam kesufian, yang mencakup tugas membimbing, mengawasi, dan mengajarkan kehidupan tasawuf kepada murid-muridnya. Otoritas ini diperoleh melalui pembelajaran dan latihan intensif dari Murshid pendahulunya, dan murshid dianggap mampu menjadi seorang murshid tarekat setelah memperoleh izazah, bentuk pelantikan atau pengesahan resmi sebagai murid yang telah mencapai kedudukan murshid. Seorang murshid harus memiliki pemahaman yang mendalam dan komprehensif tentang ilmu syari'at dan ilmu hakikat, dengan perilaku dan akhlaq yang mencerminkan keutamaan. Tugas seorang murshid dalam tarekat sangat menuntut, terutama jika ia memiliki banyak murid yang tersebar di lokasi yang berjauhan, sehingga sering dibantu oleh wakil yang disebut khalifah atau badal, seperti dalam tradisi tarekat Qadiriyah-Naqshbandiyah dengan istilah wakil talkin. Muhammad Amin al Kurdi menekankan beberapa kualifikasi yang dibutuhkan untuk menjadi seorang murshid, termasuk pemahaman mendalam dalam berbagai bidang pengetahuan, kecerdasan emosional, kepedulian terhadap kesempurnaan hati, dan kemampuan menjaga rahasia para murid.
Sebelum menjadi anggota tarekat, seseorang harus menyatakan kesiapannya menjadi murid dan kemudian mengikuti proses baiat yang diberikan oleh guru. Baiat adalah komitmen untuk tunduk kepada petunjuk guru dan mengamalkan ajaran tarekat, dan dalam upacara ini, murid juga diajarkan tentang praktik zikir yang harus dilakukan setiap hari.